Fahri Hamzah memang nggak ada matinya. Mulutnya, eh, twitnya, selalu bisa bikin heboh netizen. Masih ingat soal rencana Jokowi bikin Hari Santri yang menurut Fahri “sinting”? Nah, itu salah satu contoh kesaktian twit Fahri Hamzah.
Selain itu, kita mengenal kiprah Fahri yang terus-menerus mengkritik, memprotes, bahkan mencaci-maki KPK hampir sepanjang karier politiknya di Senayan. Baru-baru ini, Fahri bikin “sesuatu” lagi tentang KPK. Apa itu? Simak selengkapnya dalam status berikut ini. Masuk tuh barang ….
Seorang teman di fesbuk menyebarkan twit dari salah seorang politisi DPR yang membanding-bandingkan pencapaian BPK dan KPK dalam penanganan korupsi. Pada intinya twit tersebut menganggap hasil operasi tangkap tangan (OTT) KPK adalah “recehan” dibandingkan dengan temuan audit BPK yang nilainya trilyunan. Di bagian akhir rangkaian twit-nya politisi ini juga mengomentari hasil OTT suap seorang jaksa di Bengkulu. Katanya, “10 juta hasil OTT recehan itu bukan uang negara, kenapa heboh?”
Saya tidak ingin berpolemik di bulan ramadhan, ketika orang seharusnya menjaga mulut, pikiran dan tindakan. Tapi saya percaya bahwa menyebarkan kebodohan untuk tujuan politik adalah kejahatan yang harus dilawan. Semoga logika berikut ini membantu menjelaskan mengapa peran BPK dan KPK tidak seharusnya dipertentangkan.
Pertama, pendekatan yang dipakai oleh BPK dan KPK dalam memberantas korupsi sangat berbeda. Tugas utama BPK adalah melakukan pemeriksaan keuangan negara. Jika dalam auditnya ditemukan indikasi korupsi, BPK dapat menindaklanjuti temuan tersebut dengan proses investigasi. Tentu, sebagai auditor, BPK bisa memperkirakan besarnya kerugian negara sejak awal dan menentukan kasus mana yang perlu diprioritaskan berdasarkan materialitas ataupun urgensinya.
KPK, di lain pihak, mengandalkan surveillance dan pengaduan masyarakat. Berbeda dengan audit, petunjuk awal yang didapat melalui metode ini bisa sangat terbatas. Bisa jadi nilai suap baru akan diketahui ketika OTT dilakukan. Yang jelas, apabila kasusnya melibatkan penegak hukum atau auditor negara KPK perlu memberikan prioritas. Kenapa? Ya karena keduanya adalah “the last line of defense” dalam sistem pemberantasan korupsi. Bahwa mereka yang terkena OTT ternyata menjual idealisme-nya untuk ditukar dengan “recehan” tentu sudah lain perkara.
Kedua, Fah… eh, politisi DPR tadi membandingkan besarnya uang hasil OTT KPK dengan besarnya kerugian negara hasil audit BPK. Bener-bener, orang ini bukan cuma perlu piknik, tapi juga asupan gizi yang lebih baik. Auditor boleh saja menetapkan besarnya kerugian negara, tapi pada akhirnya jaksa lah yang harus mempertahankannya di dalam sidang dan hakim yang akan memutuskan. Jadi terlalu dini untuk menganggap angka dalam laporan audit adalah nilai uang negara yang diselamatkan. Di sisi lain, ngga fair kalo kinerja KPK diukur hanya dari besarnya uang suap yang disita. Lah, gimana dengan harta koruptor yang dikejar dan disita melalui mekanisme pelacakan aset? Juga dengan aset hasil tuntutan perdata kepada para pelaku?
Ketiga, dia mengatakan “10 juta hasil OTT recehan itu bukan uang negara, kenapa heboh?”. I rest my case. Pantas aja dia gagal memahami seluruh logika yang saya utarakan di atas. Lah, wong memahami moral hazard-nya suap aja dia nggak bisa. Saya menyerah.
Intinya, audit dan surveillance adalah dua metode deteksi korupsi yang dirancang untuk saling melengkapi, bukan untuk dipertentangkan. Demikian juga keberadaan BPK dan KPK. Sedihnya, beberapa profesional audit yang ada di wall saya justru menyebarkan dan mengompori logika aneh ini sambil mem-bully KPK, entah dengan dasar apa.
Mestinya mereka belajar dari Mark Twain, “It is better to keep your mouth closed and let people think you are a fool, than to open it and remove all doubts”.