MOJOK.CO – Kasus ujaran kebencian yang menimpa Alfian Tanjung gara-gara twit “PDIP berisi 85% kader PKI” tidak membuahkan hukuman. Sebelumnya, ia juga melempar tuduhan PKI yang membuatnya terseret UU ITE dan diganjar penjara dua tahun. mengapa vonisnya berbeda-beda?
Apabila Anda mengikuti kasus ujaran kebencian Alfian Tanjung berupa twitnya yang berbunyi “PDIP yang 85% isinya kader PKI mengusung cagub Anti Islam”, mungkin Anda bertanya-tanya mengapa ia divonis lepas. Padahal, di saat yang sama ia juga terlibat kasus ujaran kebencian (menyebut Jokowi dan orang China sebagai PKI serta mengatakan bahwa Kapolda Metro Jaya diindikasi PKI dalam sebuah ceramah) dan divonis bersalah dengan hukuman bui dua tahun.
Menurut kutipan media, di kasus twit tersebut Alfian Tanjung divonis bebas. Menurut kutipan media juga, polisi menyebut vonis putusan Alfian Tanjung itu adalah lepas (onslag van recht vervolging) dan bukan bebas (vrijspraak). Secara hukum, diksi lepas dan bebas adalah dua hal yang berbeda.
Secara singkat, putusan bebas berarti perbuatan yang disangkakan penuntut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Sementara itu, putusan lepas berarti perbuatan tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan, tapi bukan merupakan tindak pidana. Bingung? Ambil kuliah hukum pidana saja. 🙂
Masih menurut kutipan media, pertimbangan hakim untuk memvonis lepas adalah karena terdakwa hanya melakukan copy paste informasi dari media online.
Saya tidak bermaksud mengomentari putusan hakim yang dikutip media. Saya sendiri tidak terlalu yakin dasar pertimbangan putusan lepas hanya karena perkara copy paste. Sebab, di banyak kasus ITE, postingan hasil copy paste hanya akan menjadi dasar bagi hakim untuk meringankan vonis terdakwa. Bahkan di beberapa kasus, terdakwa yang meng-copy paste konten ilegal dianggap turut serta (medepleger) melakukan tindakan melawan hukum. Tentu dengan catatan pelaku utamanya (pleger) ada.
Dengan demikian, jangan pernah berasumsi apabila kita hanya meng-copy paste ujaran kebencian atau konten ilegal dari sumber lain, kita tidak bisa dipidana. Itu salah besar.
Pada kasusnya yang diputus lepas, Alfian Tanjung didakwa menggunakan UU ITE Pasal 28 ayat 2 yang isi pasalnya adalah “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” Mari kita urai berdasarkan masing-masing unsur UU ITE Pasal 28 ayat 2 tersebut.
Alfian Tanjung adalah orang perseorangan sebagai subjek hukum dalam UU ITE Pasal 28 ayat 2. Tindakannya mengepos twit yang berada di dalam pengusaannya pribadi adalah contoh bentuk tindakan kesengajaan dengan sadar akan maksud (opzet als oogmerk). Mengunggah konten di Twitter yang bisa diakses terbuka oleh publik adalah bentuk perbuatan “menyebarkan”. Narasi dalam Twitter adalah contoh bentuk “informasi”.
Unsur penting dalam pasal ini ialah apakah narasi yang disebarkan oleh Alfian Tanjung ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)?
Unsur pokok tersebut biasanya dinilai berdasarkan pendapat ahli bahasa, ahli pidana, ahli sosial/komunikasi, dan ahli hukum ITE. Namun, jika dilihat menggunakan pemahaman gramatikal, mungkin semua sepakat bahwa twit Alfian Tanjung bisa saja menimbulkan kebencian terhadap kelompok masyarakat (partai berlogo banteng).
Namun… apakah ujaran kebencian tadi berdasarkan suku tertentu? Tidak. Berdasarkan agama tertentu? Jelas tidak. Berdasarkan ras? Tidak juga. Lalu berdasarkan golongan? Nah, ini dia kata kuncinya.
Apakah partai masuk dalam definisi “antargolongan”? Jika tidak salah ingat, merujuk pada sejarah pembentukan UU ITE Pasal 28 ayat 2, “antargolongan” mengacu pada KUHP Pasal 156 dengan konteks yang berbeda. Menurut R. Soesilo (beliau ahli yang menjadi rujukan penting para pakar pidana dalam mendefinisikan KUHP), “golongan” adalah “tiap-tiap bahagian dari penduduk Negara Indonesia, yang berbedaan dengan sesuatu atau beberapa bahagian dari penduduk itu lantaran bangsanya (ras), agamanya, tempat asalnya, keturunannya, kebangsaannya atau keadaan hukum negaranya.”
Jika merujuk pada definisi tersebut, partai tidak masuk kriteria “golongan” yang terkandung dalam kata SARA.
Selesai? Belum.
Putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017 tanggal 29 Maret 2018 terkait gugatan ketidakjelasan rumusan frasa “antargolongan” dalam UU ITE Pasal 28 ayat 2 justru meluaskan makna “antargolongan” menjadi tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras. Menurut putusan tersebut, istilah “antargolongan” bisa dipakai untuk menyebut semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras (lihat uraian pertimbangan 3.14.2). Nah, lho!
Menariknya, pemohon gugatan , yakni Habiburokhman (salah seorang pengurus DPP Partai Gerindra) dan Asma Dewi (tersangka UU ITE Pasal 28 ayat 2), mereferensikan kasus Alfian Tanjung sebagai dasar permohonannya.
Sudah selesai? Masih belum.
Apakah dengan adanya putusan MK tersebut berarti Alfian Tanjung yang diduga menyebarkan kebencian terhadap PDIP bisa dikenai UU ITE Pasla 28 ayat 2? Tidak juga. Sebab, perbuatan Alfian Tanjung di Twitter terjadi pada 23 Januari 2017 atau sebelum putusan MK diketok.
Lalu, jika kasus ini diajukan kembali di tingkat kasasi, apakah bakal tetap dimenangkan Alfian Tanjung?
Kalau ini mah kewenangan penuh ada pada hakim kasasi. Bisa saja hakim memutus bersalah dengan membuat dasar pertimbangan lain yang tidak kita ketahui.