Soal 5.000 Pucuk Senjata, Panglima TNI Menolak Dipanggil Presiden

Jika tahun lalu Mojok menahbiskan Ahok sebagai Bapak Air Mata DKI Jakarta dan SBY sebagai Duta Twitter Indonesia, 2017 memberikan Mojok tokoh baru dengan gelar gelar baru: Gatot Nurmantyo, Bapak Quote Indonesia.

September ini saja, dua minggu berturut-turut ia jadi bintang di media dengan quote-nya, “Ini perintah saya, mau apa?” dan “Emang gue pikirin.” Mojok sampai harus menurunkan esai khusus untuk membahas quote Pak Gatot ini saking urhennya. Jika saja puisi yang ia bacakan di Munas Golkar bukan milik Denny JA melainkan Saut Sitor Situmorang, bukan tidak mungkin ia kami didaulat sebagai Bapak Penyair Indonesia.

Oke, sudahi basa-basinya. Setelah namanya dikaitkan dengan geger pemutaran kembali film G 30 S PKI, tiga hari lalu Pak Gatot bikin headline lagi dengan menyatakan bahwa ada institusi di luar TNI-Polri yang membeli 5.000 pucuk senjata dengan cara mencatut nama Presiden Jokowi.

Siapa yang membeli? Siapa yang mencatut? Itu pertanyaan publik. Tapi clear kalau ini bukan ulah Setya Novanto lagi. Beliau kan lagi sakit.

Informasi intelijen itu disampaikan Pak Gatot di acara “Silaturahmi Panglima TNI dengan Para Purnawirawan TNI” di Aula Gatot Subroto, Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. Ya jelas gempar, itu bukan jumlah senjata yang sedikit. Dua hari kemudian, Menkopolhukam Pak Wiranto menanggapi: bukan 5.000, tapi 500. Bukan ilegal, tapi BIN yang beli.

Berikut komentar netizen soal 5.00(0) pucuk senjata Pak Gatot.

***

Josef H. Wenas: 500 pucuk senjata atau 5.000 pucuk senjata? Apakah data Jenderal (Purn.) Wiranto yang benar? Ataukah data Jenderal Gatot yang benar?

Dua forum tempat data jumlah senjata tersebut disampaikan bukanlah forum “nyantai ketawa-ketawa” yang mana salah ucap apalagi salah data bisa ditolerir. Bila terjadi selip lidah pun, pasti akan segera dikoreksi.

Kedua forum itu sifatnya serius dan berwibawa. Versi “5.000 pucuk senjata” disampaikan Panglima TNI di hadapan para senior militer yang berbobot di Mabes TNI, Cilangkap pada 22 September. Ada mantan wapres, mantan pangab, bahkan menteri di sana. Begitu juga versi “500 pucuk senjata” disampaikan Menkopolhukam Wiranto di hadapan wartawan media massa nasional dalam jumpa pers resmi di kantor Kemenkopolhukam pada 24 September.

Tegasnya, ini bukan konteks abal-abal yang mana 500 ribu orang bisa semena-mena diklaim jadi 7 juta orang.

Pengadaan senjata api diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010. Nomenklaturnya terang-benderang. Pengadaan “alutsista” itu urusan TNI (AD, AL, AU) di bawah kendali Menteri Pertahanan dengan masukan dari Panglima TNI; pengadaan “almatsus” itu urusan Polri di bawah kendali kapolri.

Pengadaan senjata untuk BIN melalui siapa? Menkopolhukam Wiranto dalam konferensi pers tadi, seperti dikutip Tempo, bilang, “Pengadaan 500 senjata laras pendek buatan PT Pindad itu bukan termasuk standar TNI sehingga untuk pembeliannya hanya memerlukan izin dari Mabes Polri. Dengan demikian prosedur pengadaannya tidak secara spesifik memerlukan kebijakan Presiden.”

Apa yang bisa ditangkap dari pernyataan Wiranto tersebut ialah: 1) ini bukan domain “alutsista”, tetapi domain “almatsus”; 2) apa yang disinggung Panglima TNI bahwa ada oknum yang mengelabui pengadaan dengan mencatut nama presiden dinetralisir; 3) dan pengadaannya oleh BIN, jumlahnya hanya 500, bukan 5000 pucuk senjata.

Dari konstruksi komunikasi Wiranto, terkesan bahwa Jenderal Gatot semborono dalam menyampaikan datanya. “Tone” di dunia maya saat ini memang habis-habisan sedang mendiskreditkan Gatot, ditambah rica-rica politis seolah-olah dia punya agenda ambisius di Pilpres 2019.

Benarkah Jenderal Gatot sesembrono itu? Gatot sudah menegaskan, data intelijennya akurat, sebab jika tidak, tidak akan disampaikan di forum tersebut. Juga ketika ditemui CNN Indonesia (24 September) dalam berita “Panglima soal Rekaman 5.000 Senjata: 1.000 Persen Suara Saya” memberitakan, tidak ada bantahan Gatot, juga tidak ada koreksi data darinya.

Pertanyaannya, siapa sih user yang butuh senjata sampai 5.000 pucuk? Banyak sekali, itu kekuatan 5 sampai 6 batalion.

Berdasar riset media yang saya lakukan, kebutuhan persenjataan Polri sudah disinggung sejak dua bulan lalu. Misalnya Detik (28/7), “Bekali Polantas Lawan Teroris, Polri Beli 5 Ribu Pistol Pindad.” Atau, Kompas (25/7): “Antisipasi Teroris, Polantas dan Sabhara Akan Dilengkapi Senjata Api.”

Berbagai pemberitaan di akhir Juli 2017 itu merupakan bagian dari konteks pembahasan DPR dan Kapolri. Jadi sama sekali tidak ada rahasia. Key issues Kapolri dalam konstruksi media message-nya juga sangat gamblang, antara lain:

1) petugas di lapangan rentan diserang oleh kelompok teroris, mereka perlu dilengkapi senjata api. Jenderal Tito mencontohkan anggota Sabhara yang jadi korban bom Kampung Melayu dan polisi lalu lintas yang diserang di Tuban;

2) untuk pengadaannya, Polri telah berkoordinasi dengan PT Pindad untuk menjadi mitra. Sementara itu, penganggarannya akan dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). “Ada budget untuk itu sekaligus juga untuk mendorong industri senjata dalam negeri,” kata Kapolri;

3) senjata yang digunakan nantinya jenis G2 laras pendek. Tito mengatakan, saat ini PT Pindad memiliki stok 5.000 unit senjata jenis G2. Namun, kebutuhan senjata baru untuk petugas di lapangan sekitar 20.000 unit. Jadi, ada kekurangan yang belum bisa dipenuhi PT Pindad; dan

4) Tito mengatakan, kekurangannya bisa ditambahkan dari senjata produksi luar negeri yang harganya tidak jauh dengan produk Pindad.

Jadi, jelas yang punya kebutuhan besar pengadaan senjata saat ini adalah Polri, bukan BIN. Terutama poin nomor 4 barangkali menjadi perhatian beberapa pihak yang berkepentingan, apalagi fakta bahwa anggaran dari APBN-P yang tersedia tidak bersifat multiyears, jadi harus direalisasikan pada tahun berjalan.

Maka, tidak masuk akal kalau Jenderal Gatot “menyerang” Kapolri perihal wewenang konsitusionalnya dalam hal pengadaan senjata. Kapolri memang berwenang dan legal melakukan hal itu, dan nyatanya Gatot memang menyatakan bahwa institusi yang melakukan pengadaan senjata tersebut diluar TNI-Polri.

Lalu siapa dong pihak ilegal di luar TNI-Polri yang dimaksud Gatot? Apakah ada pihak yang sedang “bermain” diatas kebutuhan pengadaan persenjataan Polri?

Bisa dipahami juga kalau Wiranto sebagai bapak asuh dari berbagai otoritas keamanan negeri ini secara subtil mengonstruksikannya menjadi “itu kebutuhan BIN, tetapi hanya 500 pucuk saja” dan “ini hanya soal komunikasi yang belum tuntas saja.”

Wiranto memang the mind of a strategist: tenang, sabar, tetapi menghanyutkan—jadi ingat boss-nya yang ceking itu.

Apakah gejala keresahan-keresahan ini berarti Presiden Jokowi kini sedang memelototi pembenahan soal “alutsista” dan “almatsus”, menyusul pembenahan di sektor-sektor lain seperti migas, perikanan, perdagangan, dan perhubungan?

Berapa besar anggaran yang disiapkan untuk berbagai keperluan persenjataan TNI dan Polri kita? Berapa puluh, eh, ratus triliun?

 

Putut Tedjo Saksono: Panglima TNI menolak dipanggil Presiden. Buntut dari polemik 5.000 pucuk senjata.

Informasi terbaru, suasana negara memanas karena Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo secara terang-terangan menolak dipanggil Presiden malam ini. Hal ini tentu saja bisa membuat semakin panasnya suhu politik nasional di tengah banyaknya persoalan bangsa yang belum terselesaikan.

“Apakah ini artinya Anda sedang merencanakan tindakan makar dengan tidak mau dipanggil Presiden, Jenderal?” tanya wartawan dari berbagai media yang mewawancarai Panglima TNI di kediamannya.

“Oh, bukan begitu. Saya ini kan Panglima TNI , bukan Presiden. Presiden Indonesia tetap Bapak Jokowi, makanya saya menolak di panggil ‘Presiden’, lebih tepatnya panggil saya Panglima TNI saja ya. Jangan Presiden, itu tidak tepat,” tegasnya.

Exit mobile version