Tugu Pagoda Wates dan Kisah Membaurnya Etnis Tionghoa dan Jawa di Kulon Progo

Tugu Pagoda dan Kisah Membaurnya Etnis Tionghoa dan Jawa di Wates MOJOK.CO

Tugu Pagoda (Instagram/Panorama Kulon Progo)

MOJOK.COTugu Pagoda Wates kerap terabaikan keberadaannya. Padahal, tugu ini menyimpan sejumput kisah toleransi antara etnis Tionghoa dan Jawa. Seperti apa kisahnya?

Kota Wates memiliki sebuah tugu bersejarah. Tugu tersebut terletak di sebelah utara rel kereta api, di tengah pertigaan antara Jalan Perwakilan, Sutijab, dan Kweni, Wates, Kulon Progo. Orang mengenalnya dengan Tugu Pagoda.

Tugu ini berbentuk persegi panjang meruncing bersusun ke atas seperti sebuah bangunan Pagoda. Sebagai informasi tambahan, Pagoda di China dan sejumlah negara di sebelahnya menjadi tempat ibadah umat Buddha. Lantas mengapa tugu bebentuk Pagoda berdiri di Wates?

Tugu Pagoda Wates, persembahan warga Tionghoa kepada Paku Alam VII

Tugu Pagoda Wates berdiri pada 23 Desember 1931. Bangunan ini merupakan ucapan terima kasih warga etnis Tionghoa kepada Paku Alam VII. Sekaligus menjadi peringatan 25 tahun bertahtanya sang penguasa Adikarto dan 100 tahun usia Kabupaten. Bagi yang belum tahu, Paku Alam VIII penguasa Kadipaten Pakualaman, salah satu dari empat kerajaan pecahan Kerajaan Mataram Islam.

Beliau memiliki nama asli BRMH Sularso Kunto Suratno. Pada 13 April 1937, beliau menggantikan ayahnya menjadi penguasa Adikarto dan menyandang gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo. Pada 30 Oktober 1945, ia besama Sri Sultan Hamengku Buwana IX sepakat menggabungkan Daerah Kasultanan dan Kadipaten dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Beliau pernah menjabat di sejumlah posisi strategis. Antara lain Wakil Gubernur DIY (1950-1988), Gubernur Militer DIY berpangkat Kolonel (1949 setelah agresi militer II), hingga Gubernur DIY (1988-1998).

Representasi hubungan baik etnis Tionghoa dan Jawa

Tugu Pagoda Wates merupakan representasi hubungan baik antarkelompok etnis Tionghoa dan Jawa. Pembangunan tugu ini sejatinya berkaitan dengan perkembangan dan pembangunan Kota Wates. Pendirian tugu ini sejatinya Paku Alam VI yang mengawali, beliau mendapat dukungan penuh dari para warga diaspora Tionghoa kala itu.

Sejarawan dan budayawan Kulon Progo, Ahmad Athohillah mengatakan ada perjanjian yang dilakukan oleh Pakualam VII dan Perwakilan Tionghoa. Momentum awal di mana warga Tionghoa diiizinkan mengontrak tanah di Wates.

“Yaitu sejak 1912-1987, penandatanganan tersebut dilakukan oleh Paku Alam VII dan Perwakilan Tionghoa di Temon yang difasilitasi oleh Demang Surontani,” ujarnya, melansir dari Liputan6.com.

Setelah itu, warga Tionghoa kemudian satu per satu bermukim di Wates. Mereka berkelompok dan membentuk kampung Pecinan di Wates. Bisnis perdagangan mereka sukses semenjak Paku Alam VII memberi izin Tionghoa mengelola lahan, perdagangan, dan perkebunan.

Menjadi bangunan cagar budaya

Ketika pertama kali berdiri, Tugu Pagoda Wates berwarna putih. Seiring berjalannya waktu, tugu ini sempat berganti cat beberapa kali, warna kuning kombinasi hijau sebelum kembali ke warna awal dengan tambahan warna emas.

Tugu ini memiliki tinggi keseluruhan 4,3 meter dengan lebar 1 meter. Di tengah bangunan berbentuk kubus ini terdapat ornamen geometris yang tiap sisinya berjumlah 5 buah. Di salah satu dindingnya terdapat prasasti marmer bertuliskan aksara cina. Inti dari dari tulisan aksara cina tersebut adalah ucapan terima kasih kepada Paku Alam VII. Di sisi lainnya terdapat juga tulisan berbahasa Indonesia dengan ejaan lama.

Kendati terkesan sederhana, tugu ini merupakan salah satu bangunan bersejarah di Kota Wates. Keberadaannya sejajar dengan Sembilan bangunan kolonial lainnya. Antara lain gedung pegadaian, stasiun kereta api, kawasan rumah di Jogoyudan-Mutihan, Wakapan dan depan Pasar Wates, Kantor Panwaslu, SD Percobaan, Media Centre, Bangunan Polres Kulonprogo lama, dan Bale Agung.

Bangunan yang menjadi simbol toleransi dan kerukunan antaretnis ini termasuk ke dalam bangunan cagar budaya. Kuntadi, warga Wates, menceritakan bagaimana dulu kerukunan antara etnis Tionghoa dengan warga sekitar terbangun.

“Dulu zaman kakek saya, puluhan tahun lalu, ketika Imlek pasti orang Tionghoa selalu mengundang tetangganya untuk makan bersama. Tapi saat ini tradisi itu berangsur menghilang dengan berkurangnya etnis Tionghoa di Kulon Progo,” ujarnya dalam wawancara dengan kulonprogo.sorot.co.

Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Tugu Pensil Kulon Progo dan Kisah Panjang Pemberantasan Buta Huruf di Baliknya
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version