MOJOK.CO – Tumpukan kantong sampah di beberapa titik Kota Jogja akhir-akhir ini jadi pemandangan yang umum. Adit “Doodleman” lantas meresponnya jadi karya seni jalanan.
Sabtu pagi (5/8/2023), tumpukan kantong sampah di sebelah timur Terminal Ngabean tidak terlihat seperti biasanya. Kantong-kantong itu ditingkahi doodle dengan semprotan pylox; macam memural tembok. Inilah buah tangan dan pikiran Adit “Doodleman“, seniman jalanan berbasis di Yogyakarta.
Menyentil semua pihak
Lewat karya ini, jelas tema yang Adit angkat adalah sampah. Meski begitu, ia tak lantas asal-asalan dalam memilih medium dan lokasi spesifik.
Dirinya enggan membuat karya dari olahan sampah, sekalipun itu bisa dikatakan upaya daur ulang. “Setelah selesai dipamerkan, terus apa? Bakal jadi ‘sampah’ lagi. Malah menambah persoalan,” ungkapnya soal pilihannya merespon tumpukan sampah sebagaimana adanya; tidak diolah dan dipamerkan.
Selain pengingat kepada sesama seniman, dia turut menyentil pihak pemerintah. Terbukti, setelah dimural, tumpukan sampah pertama yang diresponnya pada malam hari langsung diangkut siangnya. Selain di Terminal Ngabean, pada Sabtu (5/8/2023) Adit kembali menebar doodle-nya, kali ini di area Purawisata dan Pojok Benteng Kidul Wetan.
Sebenarnya, kritik Adit bukan soal diangkut atau tidak diangkut. “Ini tentang sistem tata kelola sampah yang buruk. Ditambah, pun bila memang sebenarnya mereka sudah punya rencana, tidak pernah disosialisasikan secara menyeluruh,” tekannya.
Masyarakat pun tidak luput dari sentilannya. Lewat doodle ini, Adit mengajak masyarakat berpikir tentang sampahnya. “Menumpuknya sampah di jalanan dan Piyungan itu ya sebagian karena kita [masyarakat] juga,” ujarnya.
Halaman selanjutnya…
Bukan pertama kali
Bukan pertama kali
Adit memang tertarik dengan seni di ruang publik. Sebelum tumpukan sampah, puing-puing bangunan korban gusuran Benteng Keraton Wetan jadi habitat mural doodle-nya. Satu hal yang menghubungkan adalah keduanya merupakan protes sosial.
Selain nada protes, sampah sebagai media juga bukan barang baru bagi Adit. “Sekitar 2011 saya pernah mengumpulkan sampah poster di jalanan Yogyakarta untuk diolah jadi karya seni,” tuturnya. Meski memang, sambungnya, belum setajam sekarang pesan yang disampaikan.
Mengenai sampah dalam bentuk tumpukan di jalan juga bukan media yang benar-benar baru dalam skena seni jalanan. Adit mengakui bahwa dirinya, selain memang merasakan sendiri kenyataan sampah yang menumpuk, terinspirasi dari banyak seniman jalanan mancanegara.
Street logos
“Buku Street Logos jadi pemantik sekaligus rujukan saya tentang media-media mural selain tembok kota,” ungkap Adit tentang proses sebelum berkaryanya. Street Logos sendiri merupakan karya Tristan Manco, akademisi sekaligus pekerja agensi kreatif asal Inggris, yang berbicara tentang perkembangan seni mural lintas negara di abad 21 ini.
Memang, seperti kata Adit, seniman mancanegara sudah pernah menciptakan kesenian seperti yang dilakukannya saat ini. Terbaru, Marcel Delaville alias Bisk yang membuat tumpukan sampah di sudut Kota Paris jadi macam monster di film kartun. Memang demikianlah karya ini dinamainya: Les Monstres atau ‘monster’.
Lebih lampau lagi, karya sejenis ini bahkan sudah muncul pada dekade lalu. Adalah Francisco de Pájaro, muralis asal Spanyol, yang menggubah tumpukan sampah di beberapa titik jalanan London menjadi instalasi seni dengan bentuk-bentuk yang juga macam makhluk kartun. Judulnya: “Art is Trash”
Dalam wawancaranya bersama Global Street Art, Francisco bilang bahwa sampah adalah satu-satunya titik di ruang publik yang pasti legal untuk dikreasikan. Yang namanya kreasi–seni–pasti mengundang perhatian dan itulah yang terjadi pada “karya” Francisco, “Kali ini, sampah yang biasanya tidak dilirik malah menyedot atensi, bukan sekadar lirikan,” tulis John Metcalfe dalam Bloomberg.
Dan itulah yang terjadi pula pada doodle-nya Adit “Doodleman” di atas tumpukan kantong sampah di sudut Kota Yogyakarta.
Penulis: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Editor: Purnawan Setyo Adi