Menyambangi Stasiun Kediri, Bergaya Indische Empire ala Daendels, Dulu Jadi Pusat Ekonomi

stasiun kediri mojok.co

Stasiun Kediri (heritage.kai.id)

MOJOK.COAda beberapa stasiun di Pulau Jawa yang bangunannya masih mempertahankan gaya arsitektur khas masa kolonial Hindia Belanda. Salah satunya adalah Stasiun Kediri.

Stasiun yang terletak di Jalan Dhoho, Kota Kediri, ini merupakan salah satu stasiun besar dan tertua di Jawa Timur yang masih kokoh berdiri. Ia merupakan stasiun tipe C yang saat ini menjadi tempat pemberhentian wajib bagi jalur Kertosono-Blitar.

Stasiun Kediri berdiri sejak 1881 dan dibangun oleh perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Staad Spoorwegen. Pembangunannya sendiri diperkirakan bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Sembung-Kertosono-Kediri sepanjang 36 kilometer.

Bangunan seluas 991 meter persegi ini sekarang terdaftar sebagai aset PT Kereta Api Indonesia (Persero). Ia berada di Daerah Operasi (Daop) VII Madiun.

Meskipun sudah berusia hampir 150 tahun, gaya arsitektur khas masa kolonial di Stasiun Kediri masih tampak orisinil, utuh, karena belum pernah direnovasi dalam skala besar. Hanya beberapa bagian yang ditambahkan sebagai bentuk perawatan bangunan dan penambahan fasilitas. Namun, secara umum nuansa lawasnya masih terasa.

Gaya arsitektur Indische Empire

Secara desain, Stasiun Kediri punya model arsitektur gaya imperial. Gaya imperial atau Indische Empire sendiri merupakan model arsitektur yang berkembang di Eropa pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19.

Denah bangunannya terdiri atas tiga bagian utama, yakni teras depan (voor galerij), teras belakang (achter galerij), dan central room yang terdiri dari kamar tidur dan terhubung langsung ke dua teras tadi.

Di samping tiga bagian utama tersebut juga ada paviliun yang terpisah dari induk bangunan. Paviliun ini terdapat kamar yang biasanya digunakan untuk tamu menginap.

Jika skala rumah besar, biasanya juga ada bidang tanah di bagian samping dan belakang yang difungsikan sebagai kebun. Sementara karakteristik konstruksinya yang khas adalah atap yang berbentuk perisai.

Di Indonesia, gaya arsitektur Indische Empire dipopulerkan oleh Herman Willem Daendels saat dia bertugas sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda pada 1808-1811. Gaya arsitektur ini pada mulanya muncul di daerah pinggiran kota Batavia. Namun, ia akhirnya menyebar dan modelnya diterapkan dalam desain stasiun-stasiun yang memang masif dibangun pada masa 1800-an.

Pemerhati sejarah Kota Kediri, Imam Mubarok melalui laman resmi kedirikota.go.id, menjelaskan bagian mana saja yang menunjukkan bahwa Stasiun Kediri menggunakan gaya indische empire.

“Gaya arsitektur ini, terlihat dari bangunan tembok tinggi kokoh yang pada pinggiran atapnya dengan ornamen besi tempa. Serta, ada juga penggunaan jendela yang besar-besar dan memakai jalusi besi,” tutur pria yang akrab disapa Gus Barok itu.

“Gaya arsitektur yang megah namun mistis ini menjadi pertanda zaman, bukti sejarah yang kuat, bahwa inilah atribut kebanggaan Kediri sebagai ibu kota karesidenan yang tua dan disegani,” sambungnya.

Halaman selanjutnya…

Pusat ekonomi terpenting di masanya

Pusat ekonomi terpenting di masanya

Pada masa kolonial, Stasiun Kediri menjadi pusat ekonomi yang vital. Khususnya di wilayah Karesidenan Kediri yang terdiri dari beberapa kota dan kabupaten, yaitu Kabupaten Kediri, Nganjuk, Tulungagung, Blitar, dan Trenggalek.

Menurut Gus Barok, saat itu Stasiun Kediri tak hanya berfungsi sebagai tempat keberangkatan dan kedatangan kereta api saja. Namun, lokasi ini sekaligus menjadi pusat perekonomian dan perkantoran.  Beberapa perusahaan pengangkutan barang atau ekspedisi ada di sini.

Selain itu, pembangunan stasiun yang ditempatkan persis di pusat kota, menjadi sebuah barometer arah perkembangan Kota Kediri.

“Sebab, hal itu menjadi pertanda sedemikian pentingnya moda transportasi bagi masyarakat Kota Kediri sejak zaman dahulu,” katanya.

Kala itu, Stasiun Kediri memiliki enam jalur dengan satu jalur lurus yang menuju ke Stasiun Ngadiluwih di sebelah selatan, dan Stasiun Susuhan di sebelah utara.

Selain jalur aktif tersebut, pada 1897 dibangun lagi jalur kereta milik Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM) yang bercabang dari jalur dua menuju Pesantren. Dari Stasiun Pesantren ini, jalur kereta api bercabang lagi menjadi dua.

“Yang satu satu menuju arah tenggara sampai ke Wates. Sedangkan yang satu lagi menuju ke timur laut maupun utara, menuju ke Gurah, Pelem, Pare, Pulorejo, dan Jombang. Kesemuanya itu merupakan jalur rel kereta api Jombang-Pulorejo-Pare-Pelem-Gurah-Pesantren-Kediri sepanjang 50 kilometer,” jelas Gus Barok.

“Jalur ini masih aktif hingga tahun 1972,” tandasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA PO Mahkota, Bus Asal Kediri yang Menawarkan Sensasi Nongkrong di Kafe Sepanjang Perjalanan

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version