Mengingat Sumodiningrat lewat AMUK, Panglima Era Sultan HB II yang Terpinggirkan

Festival AMUK di Ngadinegaran (Ardhias Nauvaly/Mojok.co)

MOJOK.COPada 2017, Historia pernah menulis, “Kini, warga setempat tidak ada lagi yang merawat ingatan mengenai tragedi yang menimpa Sumodiningrat itu.” 

Lima tahun kemudian, festival AMUK membuktikan sebaliknya. Salah satunya lewat pawai Sepehi Njebol Beteng yang menampilkan teatrikal Geger Sepehi, penyerbuan Keraton Yogyakarta oleh pasukan Inggris dan Legiun Mangkunegaran.

Pawai ini adalah bagian dari festival Amanat Mulia Usaha Kampung (AMUK) yang berlangsung sejak 23 Juli-29 Juli 2023. Festival yang diinisiasi oleh Kedai Kebun Forum ini menjadikan Sumodiningrat sebagai topik sentralnya.

Sekilas Sumodiningrat

Sumodiningrat adalah Panglima Pasukan Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono II. Pada masa baktinya, tepatnya 20 Juni 1812, Geger Sepehi terjadi. Dinamakan Sepehi sebab pasukan Inggris berasal dari Sepehi (India).

Sebagai panglima, Sumodiningrat jadi incaran. Kediamannya dibombardir dan dirinya diberondong peluru dan ditebas klewang. Belum cukup, Pangeran Prangwedono (Mangkunegoro II) menatap lekat pada jasad bangsawan berjanggut itu dan berkata, “Makane aja kemethus!” (‘Makanya, jangan belagu!’). Semua itu terekam dalam Babad Panular yang diperagakan dalam beberapa babak teater jalanan sepanjang pawai.

Sumodiningrat jadi tema bukan saja karena bekas ndalem-nya hanya berjarak belasan rumah dari Kedai Kebun Forum. “Dalam konteks sejarah, Sumodiningrat dipakai untuk menggambarkan situasi terpinggirkan,” tulis Tim Humas AMUK dalam rilis persnya.

Jejak keterpinggrian Sumodiningrat masih tampak hingga sekarang. Tidak ada kampung Keraton yang menggunakan namanya. Bahkan, situs resmi Keraton Yogyakarta tidak mencantumkan namanya dalam artikel tentang Geger Sepehi.

festival amuk mengingat sumodiningrat mojok.co
Warga mengikuti Festival AMUK (Ardhias Nauvaly/Mojok.co)

Warga diajak dan menyambut

“Atas nama ‘kebudayaan’, warga Yogyakarta dihadapkan dengan situasi homogen dan penyeragaman,” masih dalam rilis pers yang sama. Oleh karenanya, budaya warga kampung dianggap tidak penting. Dari situlah, AMUK, dengan seni sebagai medium kreatif, berupaya menjadi ruang temu dan ekspresi warga kampung.
Dan warga menyambut.

Sepanjang 1,8 km rute pawai, ratusan warga tersedot atensinya. Ada yang ikut berjalan sedari awal seperti Lisistrata, seorang pekerja seni, yang sekalian jalan sore bersama anjingnya. Ada pula yang menonton dari pinggir jalan dan sesekali merekam. Bahkan, sekelompok perempuan paruh baya sampai menggelar tikar di depan kediamannya di pinggir Jalan Parangtritis.

Antusiasme warga bukan keajaiban. Sebab, sejak jauh hari mereka memang dilibatkan dalam perencanaan festival. “Bukan hanya meramaikan, namun juga diajak rapat dan sosialisasi,” ungkap Budi, Ketua RW 01 Kampung Ngadinegaran tentang keterlibatan warga dalam festival AMUK.

Selain merencanakan, para warga pun terlibat dalam eksekusinya. Pasukan Sepehi, Prajurit Yogyakarta, hingga tokoh-tokoh perorangan seperti Sumodiningrat itu sendiri, semua diperankan oleh warga setempat.
Bukan kacangan, penampilan mereka memang mengesankan. “Yang jadi Sumodiningrat, dapet betul ekspresinya pas ditebas klewang,” celetuk Suvi Wahyudianto, peraih UOB-South East Asian Painting of the Year Award, selepas arak-arakan.

Penasaran dan Ingin ng-AMUK Lagi

Betapa Sumodiningrat dilupakan sampai Yuni, warga Ngadinegaran sejak 1979, tidak pernah mendengar namanya. “Saya hanya tau Hadinegoro karena rumah saya berdiri di atas pekarangan bekas ndalem-nya,” tutur Yuni.

Setelah mengikuti beberapa kegiatan AMUK di hari-hari sebelumnya, Yuni jadi penasaran dengan sejarah Sumodiningrat. Terlebih setelah menyaksikan arak-arakan meski dirinya hanya menonton saat pawai memasuki babak akhir di Balai Kampung Ngadinegaran.

Tidak hanya orang tua, anak-anak pun turut meramaikan pawai. Iko (10) mengiringi pawai dari titik mula hingga berakhir. Beberapa kawannya pun demikian; ada yang berjalan, ada pula yang bersepeda. Menurutnya, bagian paling menarik dari semuanya adalah instalasi kinetik—bambu, yang ternyata kerangka besi, merah seperti yang saya lihat dari kejauhan di awal.

“Semoga aja pawai kayak gini terus ada, ya, sampai saya SMP lah,” kata Iko, bocah yang mengaku masih kelas 3 SD ini.

Penulis: Ardhias Nauvaly
Editor: Iradat Ungkai

BACA JUGA Intip Pendapatan Pengemis di Jogja yang Bisa Lebihi Gaji Bulanan PNS

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version