MOJOK.CO – Kota Yogyakarta memiliki puluhan kampung. Nama yang melekat pada kampung-kampung itu sarat akan sejarah dan memori kolektif masyarakatnya. Di antara nama kampung tersebut ada yang berasal dari nama pohon.
Kraton sebagai simpul budaya memang banyak berpengaruh terhadap nama-nama kampung di Jogja. Beberapa nama kampung berkembang berdasar nama bangsawan, pangeran, dan abdi dalem. Namun, ternyata ada juga nama kampung yang berasal dari pohon atau tanaman yang dahulunya tumbuh di wilayah itu.
Buku “Toponim Kota Yogyakarta” karya Nur Aini Sulistyowati dan Heri Priyatmoko pada 2019. Setidaknya ada 12 nama kampung di Jogja yang terinspirasi dari tanaman atau pohon tertentu. Mojok sudah merangkumnya untuk kalian, berikut ini di antaranya:
Kampung Ngasem
Kampung yang berada di sisi barat daya Kraton Yogyakarta itu berasal dari kata “asem”. Kamus Bausastra Jawa mendefinisikan “asêm” sebagai aran wit sarta wohe (rasane kêcut). Artinya, nama pohon dan buah yang rasanya asam.
Tradisi lisan warga setempat, di sisi kiri dan kanan jalan-jalan di kampung ini dahulunya terdapat pohon-pohon asam. Pohon asam memang biasa di tanam di sekitar lingkungan Kraton. Pohon ini memiliki makna filosofis “sêngsêm” atau menyenangkan hati. Sayangnya, pohon-pohon itu kini sudah tidak ada lagi.
Kampung Dukuh
Kampung Dukuh asal namanya dari pohon dukuh. Kemunculan kampung ini tidak terlepas dari sosok Pangeran Arya Puger, putra Sri Sultan Hamengkubuwono IV. Pada saat itu ia bersama abdi dalemnya melakukan perjalanan ke Kampung Gedongkiwo.
Saat sedang beristirahat sejenak di salah satu sisi yang masih berada di wilayah Gedongkiwo, Pangeran Puger melihat pohon buah duku yang tumbuh subur. Ia kemudian berinisiatif memberi nama Kampung Dukuh. Ia juga berkeinginan pada suatu saat makamnya berada di kampung tersebut.
Gunung Ketur
Kampung Gunung Ketur asal namanya dari dua kata. Pertama, “gunung” yang menurut tradisi lisan mengambil dari geografis wilayah yang dulunya merupakan tanah tinggi mirip gunung. Kedua, “ketur” berasal dari bahasa kawi yang artinya candhana.
Kamus Bausastra Jawa menjelaskan, candhana merupakan pohon yang kulitnya harum. Dalam Bahasa Indonesia, pohon ini terkenal dengan nama cendana. Di tradisi kejawen, pohon ini berguna sebagai perangkat ritual. Bisa juga sebagai pengharum ruangan seperti arca cendana, kipas, dan wadah-wadah sesajian.
Sumber lain menjelaskan, Gunung Ketur berarti tanah yang tinggi atau tanah yang ditinggikan. Sementara penambahan kata “ketur” berarti suatu tempat yang keramat. Dengan kata lain, Gunung Ketur adalah tempat tinggi yang keramat.
Sagan
Kampung yang masuk dalam Kelurahan Terban itu berasal dari kata “saga” karena banyak pohon saga tumbuh di sekitar wilayah itu. Sementara dalam buku Tembang Kawi Mawi Tegesipun (1928), sagan memiliki arti “woh saga, sebuah kata yang berkaitan dengan flora.
Selain terinspirasi dari pohon, ada kemungkinan penamaan kampung ini terinspirasi dari nama timbang (ukuran). Di zaman kuno, masyarakat memiliki ukuran-ukuran yang berbeda dengan saat ini, salah satunya adalah “sagan”.
Karangwaru
Kampung Karangwaru terdiri atas dua nama yakni Karang dan Waru. Dalam konteks pemukiman, “karang” berarti “pomahan” atau “panggonan” yang berarti perumahan atau tempat. Sementara Waru merujuk pada penyebutan tumbuhan yang berjenis hibiscus tiliaceus. Pohon tropis ini bermanfaat sebagai peneduh di tepi jalan, sungai, pemayang, maupun pantai.
Terdapat dua kampung Karangwaru di Yogyakarta, yakni Karangwaru Lor dan Karangwaru Kidul. Kampung itu dilalui oleh Sungai Buntung. Bukan tidak mungkin, dahulu banyak tumbuhan waru di tepi sungai itu.
Glagah
Kampung ini asal namanya dari pohon glagah atau gelagah. Dalam Bahasa Inggris tanaman itu namanya Wild Cane atau Kans Drass. Tidak hanya di Jawa, tanaman ini juga ada di di Batak (elinamai galoga), Minangkabau (galagah, kalagah), Sunda (kaso), di Bali (glagah).
Glagah biasanya tumbuh di dataran rendah hingga kurang lebih 1.500 mdpl dan dapat beradaptasi dengan berbagai jenis tanah. Tumbuhan ini bermanfaat sebagai pengendali erosi dan reklemasi bekas tambang. Daunnya yang sudah kering bisa berguna sebagai atap gubuk. Batang dan bagian lainnya bisa menjadi bahan pembuat kertas.
Gambiran
Di masa lalu, banyak pohon gambir tumbuh di wilayah ini. Pohon gambir telah lama ada di Pulau Jawa karena berguna sebagai kelengkapan nginang alias makan sirih. Ekstrak gambir yang merupakan getah dari remasan daun dan ranting yang berguna untuk nginang. Warnanya kuning kehitaman.
Kinang adalah makanan atau ramuan tradisional untuk dikunyah di mulut, tidak ditelan, dan seperti menikmati permen karet. Kinang terdiri atas campuran tembakau kering, daun sirih, gambir, jambe, injet (kapur sirih), dan kembang kanthil. Campuran tersebut dibungkus dengan conthong (kerucut) yang terbuat dari daun pisang.
Kampung Tegal Kemuning
Kampung yang masuk ke dalam Kelurahan Tegal Panggung itu berasal dari kata “kategal” dan “kemuning”. Dengan kata lain, tanaman kemuning banyak tumbuh di area pategalan itu.
Masyarakat Jawa banyak memanfaatkan daun kemuning untuk obat diare dan disentri. Bagian lain yang dimanfaatkan adalah akar dan kulit batangnya. Akar kemuning rasanya pedas, pahit, dan hangat. Konon bagian ini bisa digunakan sebagai obat penenang, obat anti radang, menghilangkan bengkak, anti rematik, dan melancarkan peredaran darah.
Kampung Lempuyangan dan Tegal Lempuyangan
Dua nama kampung yang termasuk Kelurahan Bausasran itu berasal dari tumbuhan lempuyang. Tumbuhan ini mudah tumbuh di hutan, kebun, atau pekarangan dengan intensitas matahari yang cukup.
Tumbuhan lempuyang banyak dimanfaatkan sebagai jamu, salah satunya cabe lempuyang. Jamu ini biasa dikonsumsi oleh perempuan yang sedang menstruasi. Sementara itu, rimpang lempuyang dalam bentuk seduhan digunakan sebagau obat asma, merangsang nafsu makan, mengurangi rasa nyeri, pembersih darah, penambah nafsu makan, menurunkan kesuburan pada wanita, pencegah kehamilan, dan pereda kejang.
Sosromenduran
Sosromenduran terdiri atas dua kata yakni “sasra” dan “mandura”. Sasra berarti “lema sasra” atau “sewu” yang berarti seribu. Sementara “meduran” berarti jenis pohon tertentu dengan bunga-bunganya. Masyarakat jaman dahulu kemungkinan melihat pepohonan mendura dengan bunganya yang rimbuh tumbih di kawasan ini.
Versi lain menjelaskan, seorang abdi dalem keraton bernama Kanjeng Raden Tumenggung Sasramendura tinggal di wilayah ini. Namun, belum diketahui dengan jelas sosok ini di lingkungan kraton, begitu pula dengan tanggung jawabnya di kraton.
Kampung Kepuh
Kampung Kepuh yang termasuk dalam Kelurahan Kliteran dipercaya banyak ditumbuhi pohon kepuh di masa lalu. Pohon yang sudah tergolong langka itu biasa tumbuh di daerah-daerah yang dianggap angker oleh masyarakat, seperti kuburan, sumber air, dan tepian sungai. Oleh karenanya, masyarakat setempat jarang memanfaatkan pohon kepuh. Kalaupun dimanfaatkan, kayu pohon kepuh biasanya digunakan untuk membuat biduk, peti pengemas, dan batang korek api. Sementara biji kepuh dimanfaatkan sebagai sebagai jamu.
Kelurahan Muja Muju
Muja Muju memang bukan kampung di Jogja, secara administratif Muja Muju adalah kelurahan yang menaungi Kampung Miliran dan Kampung Balirejo. Muja Muju berarti berasal dari kata “moedja moedjoe”, “mêgatsih”, dan “mungsi”. Kata-kata itu memiliki sinonim “jemuji” yang berarti biji-bijian yang bentuknya seperti jintan dan mungsi, biasanya untuk makanan burung dan digunakan pula sebagai campuran keju.
Daun jintan yang memiliki nama latin Plectranthus Amboinicus atau Coleus Amboinicus ini terbilang mudah tumbuh di Pulau Jawa dengan suhu lingkungan sekitar 20 derajat celcius. Nama lain daun jintan adalah daun jinten, bangun-bangun, daun hati-hati, Sukan (Melayu), Aceran (Sunda), daun Kucing dan daun Kambing (Jawa), Majha Nereng (Madura), Iwak (Bali), Golong (Flores)
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi