5 Fakta Selokan Mataram Jogja, Akal-akalan Sultan HB IX Menghindari Romusha

Fakta Selokan Mataram Jogja MOJOK.CO

Fakta Selokan Mataram Jogja (jogjaprov.go.id)

MOJOK.COSelokan Mataram bukan sekadar saluran irigasi untuk persawahan. Kanal air yang membelah Yogyakarta itu merupakan siasat Sultan HB IX untuk menyelamatkan warga dari Romusha atau kerja paksa. 

Siapa pun yang pernah tinggal di Jogja pasti tidak asing dengan Selokan Mataram. Kanal air sepanjang 30,8 kilometer (km) itu membentang dari sisi barat ke timur Yogyakarta. Kanal air ini menghubungkan Sungai Progo yang berada di sisi barat dan Sungai Opak yang berada di sisi timur.

Menilik sejarahnya, kanal air ini tidak sekadar menjadi irigasi sawah warga. Pembangunan Selokan Mataram pada 1942-1944 adalah siasat Sultan HB IX agar Jepang tidak memanfaatkan warganya untuk Romusha.

Siasat Sultan HB IX

Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, menjadi sosok yang menyarankan pembangunan kanal air ini. Rencana pembangunan ini sengaja ia ajukan ke Jepang agar rakyatnya terhindar dari Romusha yang terkenal kejam. Sultan HBX meyakinkan Jepang bahwa Yogyakarta memerlukan kanal air karena daerahnya yang kering. Adanya saluran irigasi yang baik bisa mengerek setoran hasil bumi ke penjajah. Jepang pun menyetujui rencana itu.

Akhirnya, tenaga rakyat pada waktu itu banyak terserap untuk pembangunan Selokan Mataram. Walau rakyat menerima imbalan yang sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali, kondisi itu masih lebih baik daripada ikut Romusha. Kerja paksa ala Jepang itu memang terkenal kejam. Bahkan, bukan tidak mungkin pekerja Romusha bisa kehilangan nyawa.

Menelan dana 1,6 juta gulden

Tidak hanya menyetujui rencana pembangunan kanal air, Jepang juga turut mendanainya. Perkiraan dana yang Jepang gelontorkan untuk pembangunan ini mencapai 1,6 juta gulden. Jumlah yang tidak sedikit pada saat itu.

Dana jutaan gulden itu salah satunya untuk mengupah pekerja yang sangat banyak. Setidaknya ada 1,2 juta buruh yang terlibat dalam pembangunan Selokan Mataram. Mereka diupah 0,35 gulden hingga 0,45 gulden. Jutaan buruh itu belum termasuk 68.000 pekerja sukarela yang tidak mendapat imbalan. Mereka hanya mendapat jatah makan satu kali sehari.

Selokan Mataram punya beragam sebutan

Sebelum terkenal dengan nama Selokan Mataram. Kanal air ini memiliki beberapa sebutan, salah satunya Kali Malang. Nama itu terinspirasi dari latar belakang pembangunan yang bertujuan mencegah warga Jogja dari kemalangan Romusha. Sumber lain menyebutkan, Kali Malang terinspirasi dari lokasinya yang “malang” atau  melintang dalam Bahasa Indonesia.

Selain bernama Kali Malang, Selokan Mataram juga terkenal sebagai kanal Yoshihiro di kalangan penjajah Jepang. Penamaan itu diambil dari Jenderal Perang Shimazu Yoshihiro (1535-1619), sosok yang dianggap penting oleh orang Jepang. Jenderal itu berhasil mengalahkan 3.000 pasukan hanya dengan 300 pasukan.

Ada dalam ramalan

Pembangunan selokan mataram sesuai dengan ramalan Raja Joyoboyo dari Kediri. Ramalan itu menyebut, adanya penyatuan suda sungai di tanah Mataram akan mendatangkan kemakmuran pada rakyatnya.

Adapun saluran irigasi ini memang mampu mengairi 15.734 ha persawahan di Yogyakarta. Kali ini mengairi seluruh kecamatan di sisi utara kecuali Tempel , Pakem, Turi, dan Ngaglik. Di wilayah barat kali ini mengairi kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Mlati. Sementrara di sisi selatan mengairi persawahan Kabupaten Bantul dan sekitarnya serta daerah Prambanan, Kalasan, di wilayah timur.

Jalur Selokan Mataram dibelokan karena makam kiai

Salah satu titik Selokan Mataram konon ada yang sengaja dibelokan untuk menghindari makam keramat. Mojok pernah menelusuri makam ini, terletak tidak jauh dari Kantor Kelurahan Margokaton, Seyegan, Sleman. Tempat keramat itu adalah makam Kiai dan Nyai Baedhowi.

Cerita secara temurun yang Mojok peroleh dari warga setempat, Kiai Baedhowi banyak berjasa saat Perang Jawa sekitar 1825-1830. Pangeran Diponegoro sempat mengirim beberapa utusannya untuk meminta bantuan logistik berupa beras pada Kiai Baedhowi. Padahal, Kiai Baedhowi bukan dari kalangan berada.

Uniknya, Kiai Baedhowi justru para utusan Pangeran Diponegoro untuk mengisi karung dengan pasir yang ada di sekitar kali. Para utusan menurut saja, mereka mengisi penuh karung-karung itu lalu mengangkatnya ke atas gerobak. Dalam perjalanan pulang, mereka memerika karung-karung tadi sudah berubah menjadi beras.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kanal Van Der Wijck, Alasan Mengapa Masakan di Yogya Memiliki Rasa Manis
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version