Menelusuri Sejarah Kelenteng Liong Hok Bio, Bangunan Indah di Jantung Kota Magelang

Menelusuri Sejarah Kelenteng Liong Hok Bio, Bangunan Indah di Jantung Kota Magelang MOJOK.CO

Ilustrasi kelenteng (unsplash.com)

MOJOK.COKelenteng Liong Hok Bio Magelang viral akhir Mei 2023 lalu. Bangunan ini menjadi tempat singgah 32 biksu dari Thailand yang melakukan tradisi Thudong atau berjalan kaki dari negerinya menuju Candi Borobudur.

Di kawasan Pecinan Magelang yang indah, kelenteng Liong Hok Bio berdiri megah. Tepat di Jalan Alun-alun Selatan No. 2 Magelang. Tempat peribadatan Khonghucu atau Taoisme ini terbilang istimewa sebab berkaitan dengan sejarah Magelang dan keberadaan etnis Tionghoa di Kota Bunga ini.

Menurut Pengurus Kelenteng Liong Hok Bio Gunawan, bangunan ini berdiri pertama kali pada 1864 oleh Kapiten Be Koen Wie atau Be Tjok Lok. Sejarah pendirian kelenteng ini tak terlepas dari peristiwa kelam Geger Pecinan.

Peristiwa Geger Pecinan

Menarik diri ke tahun 1740, pemerintah Belanda pernah melarang kedatangan para imigran dari Tiongkok. Mereka yang tak punya izin kerja dideportasi ke Ceylon dan Semenanjung Harapan. Peraturan ini semakin bikin resah orang-orang Tionghoa lantaran mereka juga sering terkena pungli dari pejabat Belanda.

Mereka yang tinggal di Batavia bersatu dan memberontak. Banyak orang Tionghoa yang terbunuh karena Belanda melawan dengan persenjataan yang lebih lengkap. Peristiwa ini lalu terkenal dengan sebutan Geger Pecinan.

“Sebagai akibatnya, sekitar 10.000 orang Tionghoa di Batavia dibunuh dan dianiaya,” ujar Gunawan, melansir dari Liputan6.

Mereka yang tak terbunuh kemudian menyelamatkan diri dengan kabur ke sejumlah kota, dari Semarang, Jepara, Lasem, Rembang, hingga ke Surakarta untuk meminta perlindungan ke Kasunanan. Ada pula rombongan kecil yang mengungsi sampai ke daerah Kedu Selatan dan bermukim di Desa Klangkang Jono–sebuah desa di selatan Kutoarjo.

Kala mengungsi orang-orang Tionghoa yang masih taat kepada keyakinannya turut membawa Twa Pek Kong, patung Dewa Bumi atau Hok Tek Tjen Sin (Tho Tee Kung). Kehidupan di desa tersebut berlangsung tentram dan damai. Masyarakat bekerja dengan berbagai mata pencaharian, seperti membikin terasi, menenun kain, dan berdagang.

Asal muasal etnis Tionghoa di Magelang

Pada 1825, Perang Diponegoro pecah. Huru-hara menjalar sampai ke wilayah Kedu Selatan dan berdampak buruk terhadap keberadaan masyarakat Tionghoa di Desa Jono. Keonaran terjadi, warga desa menjadi korban perampokan di mana-mana.

Pemimpin masyarakat Tionghoa di desa bernama The Ing Sing dan bergelar Bu Han Lim dari Tiongkok sempat melakukan perlawanan. Namun, perlawanan tersebut lambat laun membuat keberadaan mereka semakin terdesak hingga akhirnya mereka meninggalkan desa menuju arah timur laut.

Mereka kemudian menembus benteng pegunungan Menoreh Salaman Magelang yang kala itu masih berwujud hutan belantara. Sebagian menetap di Magelang dan tinggal di wilayah Ngarakan (sebelah barat Pecinan, kini sekitar Rumah Makan Pancoran Jl. Daha). Sebagian yang lain melanjutkan perjalanan sampai Parakan, Temanggung.

Kala Perang Diponegoro usai pada 1830, Pemerintah Belanda mengeluarkan Peraturan Wijkenstelsel yang mengatur agar orang-orang keturunan Tionghoa bermukim di suatu kawasan–kemudian populer dengan sebutan Pecinan. Orang Tionghoa tak boleh lagi membuka usaha di luar Pecinan agar tak bersatu dengan orang Jawa sebab bisa menjadi ancaman.

Kelenteng Liong Hok Bio yang berdiri di atas tanah hibah dari pengusaha candu dan rumah gadai

Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengangkat seorang Tionghoa bernama Be Koen Wie atau Be Tjok Lok dari Solo menjadi pemimpin kawasan tersebut lantaran berjasa pada saat perang. Ia pun mendapat kuasa untuk berbisnis, mulai dari candu hingga rumah gadai.

Be Tjok Lok kemudian menghibahkan tanahnya pada 1864 untuk menjadi Kelenteng Liong Hok Bio. Patung Twa Pek Kong ikut berpindah ke kelenteng ini dari Ngarakan. Tempat ini kemudian menjadi rumah ibadah warga Tionghoa di Magelang.

Saat ini pengelolaan Kelenteng ini berada di bawah Yayasan Tiong Hwa Hwee Kwan/THHK. Kelenteng ini pernah terbakar pada 2014. Kebakaran tersebut membuat bentuk bangunan sedikit berubah. Tepatnya berdiri bangunan baru yang letaknya di atas kelenteng. Kendati demikian sebagian besar bangunan ini arsitekturnya masih terlihat otentik.

Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Pecinan Magelang, Kawasan Indah yang Tercipta dari Peristiwa Kelam Geger Pecinan
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version