Benteng Keraton Yogyakarta dari Masa ke Masa, Tetap Kokoh Berdiri Meski Diserang Bertubi-tubi

Benteng Keraton Yogyakarta dari Masa ke Masa, Tetap Kokoh Berdiri Meski Diserang Bertubi-tubi MOJOK.CO

Benteng Keraton Yogyakarta (commons.wikimedia.org)

MOJOK.COBenteng Keraton Yogyakarta dalam catatan sejarah. Dari pelindung kerajaan dari Belanda, tembok pemisah dengan rakyat, hingga tujuan wisata.

Benteng Keraton Yogyakarta merupakan bangunan bersejarah. Berdiri kokoh mengelilingi kawasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bangunan ini menjadi saksi bisu perkembangan Kota Yogyakarta dari masa ke masa.

Benteng Keraton Yogyakarta juga terkenal dengan sebutan Benteng Baluwerti Yogyakarta. Secara etimologis, baluwerti merupakan kata serap dari Bahasa Portugis yang berarti benteng.

Sejarah Benteng Keraton Yogyakarta

Benteng Keraton Yogyakarta berdiri pertama kali pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Beliau merupakan pendiri Kasultanan Yogyakarta. Kendati demikian, bukan beliau yang memprakarsai pembangunan benteng ini, melainkan Pangeran Adipati Anom, sang putera mahkota.

Pembangunan benteng ini merupakan reaksi Pangeran Adipati Anom atas berdirinya benteng kompeni, Benteng Rustenburg antara tahun 1765-1787. Benteng kompeni tersebut saat ini lebih terkenal dengan nama Benteng Vredenburg.

Pada Benteng Keraton Yogyakarta terdapat ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi “Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara“. Maknanya merujuk tahun 1785 M.

Saat Pangeran Adipati Anom naik takhta menjadi Sultan Hamengku Buwono II, Benteng Keraton Yogyakarta beliau sempurnakan. Meriam-meriam hasil lucutan senjata VOC beliau taruh di sejumlah titik benteng untuk memperkuat pertahanan kerajaan. Tepatnya terjadi pada November 1809, sebagai langkah persiapan menghadapi serangan dari Daendels.

Seluk beluk Benteng Baluwerti Yogyakarta

Benteng Keraton Yogyakarta memiliki bentuk mirip persegi empat. Dari timur ke barat, benteng ini memiliki panjang 1.200 meter, sedangkan dari utara ke selatan panjangnya 940 meter. Benteng ini memiliki tinggi sekitar 3,5 meter dan lebar antara 3-4 meter. Saking luasnya tembok benteng ini, orang bisa lalu lalang di atasnya.

Di tiap sudutnya, benteng ini memiliki sangkar penjagaan atau bastion. Bentuknya seperti tabung dengan lubang untuk mengintai musuh sekaligus meluncurkan tembakan meriam. Pojok bangunan ini dulu terkenal dengan sebutan Tulak Bala. Namun, kini orang lebih mengenalnya dengan nama Pojok Benteng atau Jokteng.

Selain Jokteng, terdapat plengkung atau gerbang di lima titik sebagai pintu masuk-keluar kawasan Keraton. Lima plengkung tersebut antara lain Plengkung Tarunasura atau Wijilan, Plengkung Jagasura (terletak di Ngasem), Plengkung Jagabaya (Tamansari), Plengkung Madyasura atau Tambakbaya (kini telah tiada), dan Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gading.

Baca halaman selanjutnya…
Kokoh berdiri meski diserang bertubi-tubi

Kokoh berdiri meski diserang bertubi-tubi

Beberapa bangunan benteng ini masih utuh hingga saat ini. Beberapa yang lain hancur karena sejumlah hal. Salah satunya akibat peristiwa Geger Sepehi pada 20 Juni 1812, saat bala tentara Inggris menyerang Keraton.

Dalam penyerangan itu, mereka berhasil meledakkan gudang mesiu yang terletak di salah satu Jokteng. Perang ini juga membuat Plengkung Madyasura tutup permanen sebagai bagian strategi pertahanan Keraton.

Gempa bumi tahun 1867 dan masa penjajahan Jepang turut membuat Benteng Keraton Jogja dan bangunan jeron benteng lainnya rusak. Dari lima plengkung, saat ini hanya tersisa dua yang masih utuh wujudnya; Plengkung Tunasura dan Plengkung Gading.

Sedang bangunan Tulak Bala yang masih utuh adalah Jokteng Wetan, Jokteng Kulon dan Jokteng Lor. Siapapun yang hendak napak tilas, Benteng Keraton Jogja ini masih bisa dikunjungi. Sebab kini menjadi tempat wisata. Turis lokal hingga mancanegara acapkali berkunjung ke sini.

Benteng Baluwerti Keraton hingga kini masih kokoh berdiri. Secara geografis, tak ada yang berubah dan dipindah. Namun secara sosial terjadi beberapa perubahan. Salah satu yang paling kentara ialah sudah tidak adanya lagi pemisah tegas antara Keraton dengan dunia di sekitarnya. Wilayah Keraton kini terbuka untuk siapa saja, kecuali ndalem Sultan dan bangunan pribadi lainnya.

Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Mengenal Plengkung Gading, Gerbang Keraton Jogja yang Tak Boleh Dilewati Sultan Selama Hidup
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version