MOJOK.CO – Partisipasi politik kaum difabel seringkali terabaikan. Akibatnya suara mereka banyak yang disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab.
“Anak difabel rawan suaranya untuk dimanfaatkan oleh orang lain (dalam perhelatan politik),” ujar dosen UIN Sunan Kalijaga, Astri Hanjarwati dalam sosialiasi Pemilu kepada para difabel di Sekolah Luar Biasa (SLB) Giwangan Yogyakarta, Kamis (16/06/2022).
Padahal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dengan jelas menjamin hak-hak politik bagi penyandang disabilitas. Dalam regulasi tersebut, para difabel dipastikan memperoleh pendidikan politik.
Persoalan rendahnya partisipasi difabel dalam politik, menurut Astri banyak terjadi di daerah Indonesia. Kota Yogyakarta yang memiliki tingkat partisipasi politik difabel paling tinggi pun masih mengalami persoalan yang sama. Partisipasi politik difabel di Kota Yogyakarta tak sampai 100 persen.
Karenanya untuk menyiapkan Pemilu pada 2024 mendatang, sosialisasi kepada kaum difabel mendesak dilakukan. Apalagi dalam pesta demokrasi mendatang, warga Indonesia harus memilih banyak pejabat negara, mulai dari walikota, DPD, DPRD, DPR RI hingga presiden dan wakil presiden.
“Perlu ada pelibatan partisipasi untuk meningkatkan partisipasi politik. Kita mulai melakukan assesmen,” jelasnya.
Bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Yogyakarta, lanjut Astri, pihaknya menggelar sosialiasi Pemilu kepada para difabel. Sosialisasi sudah dilakukan kepada difabel tuli dan netra.
Sosialisasi kali ini menyasar anak-anak difabel yang memiliki intelektual yang di bawah rata-rata. Mereka dikenalkan pada foto-foto presiden dan wakil presiden RI.
Selain itu anak-anak juga dikenalkan dengan tiruan surat suara yang memuat logo-logo partai politik. Para guru dilibatkan untuk membimbing mereka membaca tulisan-tulisan yang ada di tiap logo partai politik.
“Kegiatan ini sudah tiga kali kami lakukan yang menyasar difabel tuli, difabel netra, dan sekarang difabel intelektual,” jelasnya.
Astri menambahkan, sosialisasi untuk difabel intelektual berbeda dari difabel lain karena harus melibatkan orangtua. Sebab dari sosialisasi yang dilakukan beberapa kendala ditemui difabel.
Diantaranya Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang sulit dijangkau oleh para difabel, terutama yang harus menggunakan kursi roda. Selain itu surat suara juga sulit diakses para tuna netra. Sebab semua daerah menyediakan surat suara yang dicetak dengan menggunakan huruf braile.
Persoalan juga dihadapi kaum difabel tuli. Panitia yang menggunakan pengeras suara saat di TPS juga tak akan bisa didengar para difabel tuli.
“Kota Yogyakarta sudah ada (surat suara braille) tetapi daerah lain ada yang belum karena cukup mahal untuk mencetak surat suara. Ini yang harus diatasi bersama,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi