Politik Oligarki Menguat, Pembangunan Pariwisata Merenggut Hak Warga DIY

lbh diy mojok.co

Direktur LBH DIY, Julian Dwi Prasetyo. (Yvesta Ayu/Mojok.co)

MOJOK.CO – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DIY mencatat agenda ekonomi politik oligarki selama beberapa tahun kedepan akan menguat. Kondisi ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional namun juga di daerah seperti di DIY.

Agenda tersebut akan membuat pembangunan infrastruktur pariwisata masif dilakukan. Akibatnya banyak hak-hak warga DIY dan Jawa Tengah (Jateng) bagian selatan yang akan dirugikan oleh negara.

“Pembangunan infrastruktur pariwisata memanfaatkan sistem feodal yang merenggut hak-hak masyarakat,” ujar Direktur LBH DIY, Julian Dwi Prasetyo dalam Catatan Akhir Tahun (Catahun) 2021 LBH DIY di Den Nany Resto Yogyakarta, Senin (29/05/2022).

Menurut Julian, dengan sistem feodal maka akan terjadi pelemahan supremasi hukum untuk bisa memperjuangkan hak-hak warga bila nantinya pembangunan infrastruktur terus dilakukan.

Padahal saat ini kerusakan lingkungan di DIY dan Jateng Selatan akibat pembangunan infrastruktur semakin besar. Bila dibiarkan maka dikhawatirkan akan meningkatkan dampak dari bencana iklim di wilayah ini.

“Akibatnya bisa mempengaruhi kualitas hidup rakyat,” ujarnya.

Contohnya pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener di Wadas, Purworejo yang banyak ditentang warga. Pembangunan infrastruktur tersebut merupakan proyek untuk menunjang pariwisata yang belakangan menjadi sektor yang diunggulkan pemerintah.

Proyek di kawasan tersebut akan merugikan hak-hak warga. Bahkan dampak lingkungan terjadi seperti rumah retak dan longsor yang menutupi perkebunan hingga menutupi akses sungai di kawasan tersebut.

“Pembangunan ini merupakan pelemahan supremasi karena dilakukan dengan sistem feodal dan meningkatkan intensitas bencana iklim,” tandasnya.

Selain kerusakan lingkungan, selama empat tahun terakhir politik berubah. Hal ini membuat terjadi penyempitan akses keadilan bagi kelompok miskin, rentan, dan marginal.

Kepemimpinan pemerintahan Joko Widodo-Maaruf Amin di periode kedua ini tidak membuat perubahan situasi politik menjadi lebih baik. Bahkan pemerintah justru mempersempit akses keadilan warganya.

“Partisipasi rakyat pun dalam demokrasi juga dipersempit. Indikatornya tentu ada banyak aturan dibuat tidak melibatkan rakyat,” ungkapnya.

Pembangunan kawasan DIY dan Jateng Selatan yang masif, lanjut Julian dilakukan pasca kedua wilayah ini ditetapkan sebagai destinasi prioritas pariwisata oleh pemerintah. Untuk mendukung kawasan strategis pariwisata nasional tersebut, pemerintah jor-joran membangun infrastruktur tanpa memperhatikan hak warganya.

“Masifnya pembangunan infrastruktur akan merebut ruang rung hidup masyarakat,” ujarnya.

Pemerintah pun, lanjut Julian juga masif membuat regulasi yang merugikan warganya. Sebut saja Undang-undang Cipta Kerja Omnibus Law Nomor 11 Tahun 2020. Selain itu UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 19 Tahun 2020 serta UU Pertambangan Mineral Batubara Nomor 3 Tahun 2020.

Tidak adanya keterlibatan masyarakat terjadi tidak hanya di tingkat pusat. Pemda DIY pun juga membatasi akses keadilan masyarakat melalui Peraturan Gubernur (pergub)  DIY nomor 1 Tahun 2021.

“Larangan demo dalam pergub itu menjadi salah satu indikator bagaimana rakyat tidak dilibatkan dalam proses demokrasi,” ujarnya.

Berbagai permasalahan tersebut menjadi catatan LBH DIY untuk terus memberikan bantuan hukum bagi keadilan warga. Kedepan LBH akan mengawal mereka melalui jaringan masyarakat sipil.

“Kami akan melakukan optimalisasi tata kelola organisasi untuk mendukung bantuan hukum struktural untuk melawan isu-isu strategis,” ujarnya.

Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Jokowi: Buya Syafii Maarif Sosok yang Menyuarakan Toleransi dan kabar terbaru lainnya di KILAS.

 

Exit mobile version