Kitab kuning menjadi referensi utama dalam pengajaran dan pendidikan di pondok pesantren. Kitab yang ditulis dengan Arab gundul ini adalah jembatan peradaban kaum santri.
Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren mendefinisikan kitab kuning sebagai kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya. Kitab-kitab ini menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di pondok pesantren.
Jika menelusuri kajian literasi keislaman, kitab ini sudah ada sejak abad 1-2 hijriah. Kitab ini eksis hingga kini lantara memiliki khazanah keilmuan yang begitu luas, mencakup berbagai macam lini kehidupan.
Banyak orang mengira, kitab kuning hanya berisi hal-hal yang menyangkut keagamaan. Padahal kitab yang dikaji para santri ini juga membahas berbagai lini keilmuan, dari politik hingga bisnis.
Mengapa banyak kalangan menyebut kitab “kuning”?
Zaman dahulu kitab-kitab pesantren tercetak dengan kertas-kertas berwarna kuning dengan bentuk khurasan. Satu khurasan terdapat 4 halaman berukuran lebar kertas folio.
Dalam perkembangannya, kitab kuning juga tercetak dalam kertas berwarna putih. Seperti kitab-kitab cetakan Beirut, Lebanon. Meski demikian, penyebutannya tetap kitab kuning. Sebab, mau dicetak dengan kertas berwarna apa saja, kitab kuning telah menjadi semacam penyebutan untuk kitab-kitab literasi pesantren.
Apa saja macam kitab kuning?
Masyarakat Indonesia yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia pesantren, mungkin mengira kitab kuning hanya membahas persoalan-persoalan agama saja. Padahal khazanah kitab kuning begitu luas, tidak hanya agama tetapi juga membahas bidang politik, pengobatan, sihir, sosial, ilmu bahasa, hingga siasat.
Cakupan keilmuannya juga sangat mendalam. Misalnya saja dalam bidang fikih mencakup berbagai macam pembahasan, seperti fikih politik, fikih perempuan, fikih lingkungan hidup, fikih perkawinan, fikih ibadah, dan lain sebagainya.
Penulisannya pun memiliki berbagai cara dan jenisnya, setidaknya terbagi sebagai berikut:
Matan, sebuah kitab yang tertulis secara singkat. Biasanya penulisnya hanya membeberkan fakta-fakta penting tanpa memasukkan keterangan panjang yang rinci mengenai segala persoalan dalam suatu keilmuan.
Syarah, istilah atau sebutan untuk karya ulama yang menjelaskan lebih mendalam atas karya yang lain. Sederhananya, penjelasan dari kitab matan.
Hasyiyah, sebuah karya yang menjelaskan syarah. Syarah yang mensyarahi syarah.
Masih banyak lagi teknik penulisannya seperti tahqiq, tahdzib, takhlis, dan tahsin. Lantaran banyaknya itulah, khazanah keilmuan kitab kuning sangat luas dan sangat tajam dalam membahas berbagai persoalan.
Syarat untuk membaca kitab kuning?
Kitab kuning biasanya berisi tulisan tanpa harakat, koma, maupun titik. Sehingga pembacanya harus menguasai beberapa keilmuan untuk dapat membaca literasi ini dengan baik dan benar.
Sama halnya membaca Al-Qur’an yang membutuhkan ilmu tajwid, untuk membaca kitab ini juga perlu “ilmu alat”. Ilmu alat ini berisi gramatika dan sintaksis bahasa Arab, kalangan pesantren menyebutnya ilmu Nahwu dan Sharaf. Sederhananya, ilmu nahwu untuk mempelajari kalimat yang sempurna dan sharaf untuk mempelajari perubahan kata.
Ilmu Nahwu dan Sharaf mungkin dapat digunakan untuk membaca kitab gundul ini, tetapi itu saja tidak cukup. Untuk memahami kitab gundul secara komprehensif, juga memerlukan ilmu Balaghah (sastra Arab) dan mantiq (logika). Sehingga dalam memaknai dan mengambil kesimpulan tidak hanya tekstual.
Kitab-Kitab kuning dasar di pesantren
Setiap bidang memiliki tingkatan kesulitan tertentu. Seperti kitab nahwu, biasanya untuk pemula harus memelajari dulu matan Al-jurumiyah, lanjut ke syarahnya, kemudian Imrithi, hingga Alfiyah ibn Malik.
Berikut ini adalah daftar kitab kuning dasar di pesantren:
#1 Kitab Al-Jurumiyah, kitab dasar ilmu alat
Pengarang kitab Al-Jurumiyah adalah Syekh Sonhaji. Kitab ini memaparkan ilmu Nahwu sebagai dasar untuk membaca kitab kuning.
#2 Kitab Mustholah Al-Hadits
Kitab dasar selanjutnya adalah Musthalah Al-Hadits. Kitab ini disusun oleh al-Qadhi abu Muhammad. Ia mendapatkan perintah langsung untuk menyusun kitab tersebut dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz, lantaran ketika itu banyak sekali orang-orang yang meriwayatkan hadits palsu.
Kitab ini secara spesifik membahas ilmu mengenai seluk beluk ilmu hadits. Mulai dari macam-macam hadists, kriterianya, dan syarat-syarat orang yang berhak meriwayatkan hasidits.
#3 Aqidatul Awam, kitab penguat akidah
Pengarang kitab ini adalah Syaikh Ahmad Marzuqi Al-Maliki yang berisi 57 bait nadzom. Kitab ini hadir atas perintah Rasulullah melalui mimpi pengarangnya.
#4 Ta’limul Muta’alim, kitab yang menjadi pondasi akhlak dalam hidup
Akhlak menjadi pondasi utama manusia. Sepandai apa seseorang, tidak ada artinya tanpa akhlak yang baik. Di pesantren kitab ini menjadi kitab wajib yang, tidak hanya dipelajari, tetapi menjadi amaliah santri.
Kitab ini karangan Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji.
# Kitab At-Taqrib
Tanpa fikih, umat Islam tidak akan pernah bisa menjalani ibadah dengan baik dan benar sesuai tuntunan Al-Quran dan As-Sunnah. Kitab fikih dasar di pesantren yang banyak dikaji adalah Taqrib, karangan Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy. Kitab ini menjadi rujukan dasar dalam mempelajari ilmu fikih.
Tahap selanjutnya, ada kitab Fathul Qarib, Tausyikh, Fathul Mu’in. Semuanya adalah syarah dari at-Taqrib.
BACA JUGA Kitab Kuning dan Alasan Kenapa Kita Seharusnya Tak Jadi Umat yang Kagetan Cek berita dan artikel lainnya di Google News