MOJOK.CO – Tirto Adhi Soerjo dikenal sebagai Bapak Pers Indonesia. Namun, sebelum ia merintis industri media pribumi pertama di Indonesia, ternyata ia juga memiliki jalan perlawanan yang lain terhadap kolonialisme. Apa saja itu?
Sepak terjang Tirto Adhi Soerjo melawan kolonialisme berakar dari empat pijakan atau jalan. Menurut Sejarawan Muhidin M. Dahlan, pijakan pertama adalah melalui “jalan cendekiawan”.
Tirto, memang berasal dari keluarga Ningrat, yang pada masa itu cukup mendapatkan posisi istimewa jika kita bandingkan dengan pribumi lain. Maka, dengan privilesenya itu, Tirto menggali berbagai pemikiran radikal melalui pendidikan formal di sekolah.
Di kemudian hari, Tirto memilih untuk melepas status kebangsawanannya.
Sementara jalan kedua perlawanan Tirto Adhi Soerjo terhadap kolonialisme, Muhidin menyebutnya sebagai “jalan dokter”. Selepas menyelesaikan pendidikan kelas menengah atau HBS, Tirto melanjutkan studinya di sekolah dokter bumiputera School tot Opleiding Inlandsche Artshen atau STOVIA pada 1893.
“STOVIA itu bukan sekadar sekolah guru suntik, tetapi juga perguruan tempat bertumbuknya ide-ide radikal, yang mana asrama menjadi arena diskursus dan beberapa pentolan pergerakan nasional hingga kemerdekaan berpusat di STOVIA,” kata Muhidin, dalam pemaparannya di Jasmerah yang tayang di kanal Youtube Mojokdotco, dikutip Selasa (21/3/2023).
“Tirto adalah bagian yang inheren dalam dialektika gagasan kebangsaan di STOVIA, termasuk perlawanan internal dalam sistem pendidikan yang diskriminatif,” sambungnya.
Tirto lebih aktif menulis
Meski demikian, Tirto hanya bertahan di STOVIA selama enam tahun saja. Pada 1900, ia di-drop out.
Salah satu alasan mengapa Tirto gagal menyelesaikan studinya adalah karena ia lebih aktif menulis di surat kabar, daripada belajar di sekolah.
Kata Muhidin, alasan inilah yang pada gilirannya menjadi jalan ketiga Tirto dalam melakukan upaya perlawanan, yakni melalui “jalan pers dan sastra”.
Setelah keluar dari STOVIA, tiga tahun berselang pada 1903, Tirto mendirikan surat kabar lokal pertamanya bernama Soenda Berita di Jawa Barat.
Pada surat kabarnya tersebut, Tirto sering menulis cerpen dan cerbung yang cerita di dalamnya sebenarnya terinspirasi dari kisah nyata.
Misalnya saja, beberapa cerbung yang berjudul “Prabu Anom Joko Lembuan”, “Beli Bini Orang”, hingga “Cerita Nyai Ratna”. Semua kisah cerbung tersebut berdasarkan pada kisah nyata, dengan pengalaman pahit atau menggugah yang masyarakat alami.
“Pers dan sastra itu merupakan dua spektrum yang tidak bisa terpisah dari hidup Tirto,” ujar Muhidin.
Tidak berhenti dengan merintis surat kabar lokal, bahkan Tirto dengan berani membangun start up media. Saat itu, ia membentuk badan usaha (NV) yang memayungi banyak media di dalamnya. NV ini bernama Medan Prijaji (MP).
Ini menjadi jalan keempatnya dalam menyerukan perlawanan atas kolonialisme.
Raja marketing pada masa itu
MP, menjadi surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Bandung pada 1 Januari 1907. Kata Muhidin, MP menjadi indutri rintisan atau start up berbadan hukum pertama sekaligus NV pers pertama yang pribumi rintis. Usaha ini Tirto bangun dengan modal sebesar 75.000 gulden Belanda.
Misi dari MP adalah untuk membela nasib rakyat, dan kritis terhadap pemerintahan Hindia-Belanda. Maka dari itu, surat kabar ini memuat banyak kritik pedas bagi pemerintah dan alamat pengaduan bagi setiap pribumi yang diperlakukan tidak adil oleh kekuasaan.
Tirto pun sadar, secara politik akan sulit menjalankan bisnis dengan idealisme perlawanan pada masa itu. Koran ini, juga memerlukan usaha mandiri untuk melakukan pencetakan, mengingat tak mungkin mendapatkan subsidi biaya dari kekuasaan.
Maka, untuk memastikan agar bisnisnya itu “tidak longsor begitu cepat”, Tirto mendekati kalangan berduit agar mau berlangganan MP. Termasuk, di antaranya melobi-lobi istana kesunanan Solo, bahkan ke Sri Sultan di Yogyakarta, hingga Sultan dan Adipati di Pontianak, Kutai, dan Deli.
Bahkan, berdasarkan catatan, ada berpuluh-puluh bupati, beratus-ratus wedana, dan banyak hartawan keturuan Cina yang mau menjadi mitra bisnis MP. Mereka merupakan pelanggan tetap dari surat kabar itu.
“Bayangkan, dari situ terlihat bahwa Tirto bukan hanya raja konten, tapi juga raja marketing,” kata Muhidin.
Bubar karena masalah keuangan
Mengingat ada irisan yang tipis antara bisnis dan idealisme perlawanan, Tirto pun akhirnya begitu repot dalam menjalankan usahanya tersebut.
Muasalnya, adalah karena di samping tetap menjaga perputaran uang tetap terjaga, ia juga harus memberikan pendidikan jurnalistik kepada wartawan-wartawan muda di kantong-kantong pergerakan.
Pendeknya, ada biaya yang harus ia keluarkan untuk mencetak para jurnalis yang kritis terhadap kekuasaan.
“Salah satu murid paling suksesnya sebagai jurnalis, sekaligus aktor pergerakan, adalah Mas Marco Kartodikromo,” Muhidin mengambil contoh.
Sayangnya, bisnisnya layu. MP diterjang dengan masalah finansial, di mana ada penurunan dalam kerjasama iklan dan saham karena pemerintah kolonial campur tangan dalam hal ini.
Tirto, bahkan juga dituntut karena pemberitaannya dianggap telah menghina Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, atas penyalahgunaan kekuasaan dengan mengangkat putranya untuk menggantikan jabatannya.
Akhirnya Tirto dihukum dengan dibuang ke Ambon selama enam bulan. Masalah finansial yang semakin buruk membuat Medan Prijaji dinyatakan mengalami pailit dan pada 22 Agustus 1912, usaha ini ditutup.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi