MOJOK.CO – Dahulu, tak perlu kuliah untuk bisa menyandang gelar dokter. Cukup sekolah di STOVIA, maka ijazah kelulusanmu sudah setara dengan dokter-dokter Eropa. Bagaimana bisa?
Sebelum abad ke-19, akses kesehatan belum sepenuhnya masyarakat sipil rasakan di Hindia Belanda. Terutama bagi kaum pribumi, yang kala itu masih sangat tergantung kepada dukun.
Barulah pada awal ke-19, mereka baru mendapatkan layanan kesehatan. Itupun dari pihak militer. Pendeknya, pada periode tersebut keberadaan dokter sipil masih sangat langka.
Namun, semua berubah ketika terjadi epidemi menular di Jawa Tengah pada 1847. Demi keluar dari situasi krisis, Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda Willem Bosch mendesak agar pemerintah mendidik kaum pribumi untuk menjadi dokter.
Tujuannya adalah para dokter pribumi ini nantinya bisa menjadi tenaga kesehatan dan vaksinator di daerahnya masing-masing.
Alhasil, ide Bosch pemerintah setujui dan per 1 Januari 1851 mereka membuka School ter Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen di Batavia (sekarang Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto). Sekolah ini kemudian terkenal dengan sebutan “Sekolah Dokter Jawa”.
Dari Sekolah Dokter Jawa menjadi STOVIA
Mengutip Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market: Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indies (2011), pada saat itu di Sekolah Dokter Jawa tidak ada kurikulum khusus untuk mempelajari kondisi masyarakat lokal.
Sebab, kata Hesselink, sebagian besar para pengajarnya memang tak punya pengalaman dengan pasien pribumi. Para siswa hanya mendapatkan pelajaran materia medica, yakni pelajaran soal ramuan obat-obatan herbal asli tanah Hindia.
Meski demikian, nyatanya para lulusan Sekolah Dokter Jawa berandil besar dalam mengatasi dan mencegah wabah. Selama 1851-1863, sudah ada 76 lulusan yang sebagian besar bekerja sebagai tenaga vaksinator dan bekerja di klinik.
Atas kesuksesan ini, pemerintah Hindia Belanda terus mengembangkan kurikulum Sekolah Dokter Jawa. Mulai 1870-an, masa studi mereka mengalami perpanjangan. Dari yang dua tahun menjadi tiga tahun, kemudian naik lagi jadi tujuh tahun. Jumlah siswa yang diterima juga meningkat, dari 50 menjadi 100.
Akhirnya, pada 1902–bersamaan dengan gaung Politik Etis–pemerintah mereformasi kurikulum pendidikan dokter. Imbasnya, School ter Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen berubah nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).
Istilah “dokter Jawa” juga berubah menjadi Inlandsche Arts alias dokter Bumiputra (pada 1913 gelar kembali berubah jadi Indische Arts atau dokter Hindia atas dasar kesetaraan).
Lulusannya setara sarjana Eropa
STOVIA segera menjelma menjadi lembaga pendidikan pertama yang menjadi tempat berkumpulnya para pelajar dari berbagai wilayah. Saya katakan demikian, sebab pemerintah memang memberi kesempatan yang sama untuk menjadi pelajar STOVIA, tak tergantung kelas sosial maupun ras.
Para pelajar STOVIA juga dikenal memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ini karena persyaratan untuk masuk menjadi pelajar STOVIA harus melalui proses yang sangat ketat dan selektif. Di STOVIA juga, para siswanya harus tinggal dalam asrama yang dipimpin oleh seorang pengawas Indo-Belanda yang punya sebutan dengan suppoost.
Secara kurikulum, pendidikan di STOVIA menyesuaikan dengan School Voor Officieren van gezondeid di Utrech, Belanda. Sehingga, para lulusannya sama dengan lulusan sekolah serupa di Eropa. Masa belajarnya juga lebih lama ketimbang Sekolah Dokter Jawa, yakni selama sembilan tahun.
Lulusan STOVIA, mayoritas akan menjadi pegawai pemerintah dan mendapat tugas di daerah-daerah terpencil untuk mengatasi berbagai macam penyakit menular. Dokter-dokter muda ini, akan dibekali dengan tas kulit yang berisi alat-alat kedokteran dan uang saku untuk perjalanan menuju lokasi tugas.
Di kemudian hari, STOVIA juga melahirkan dokter-dokter progresif yang ikut andil dalam sejarah pergerakan maupun kemerdekaan Indonesia. Antara lain Ketua Kongres Pertama Boedi Oetomo Wahidin Soedirohusodo, Ketua BPUPK Radjiman Wedyodiningrat, hingga Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lagi.
Bahkan, Bapak Pers Nasional, Tirto Adie Soerjo, juga pernah mengenyam pendidikan di STOVIA. Sebelum akhirnya ia memilih jalan jurnalisme.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA UGM Pernah Buka Cabang di Surabaya, Kini Menyatu dengan Unair
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News