MOJOK.CO – Jalan Pantai Utara atau jalur Pantura masih jadi salah satu jalur utama yang menghubungkan kawasan di Pulau Jawa meski tol Trans Jawa sudah bereoperasi. Sejarah jalan ini sudah ada sejak masa Mataram Islam dan mengalami perbaikan saat pemerintahan kolonial Belanda.
Jalan Pantai Utara Jawa atau Pantura merupakan salah satu jalur yang menghubungkan Cilegon, Jakarta, Semarang, Surabaya, hingga Banyuwangi. Jalur ini menjadi andalan masyarakat, terutama para pemudik dari ibu kota ke penjuru Pulau Jawa.
Namun, siapa sangka jika Jalur Pantura ini sebenarnya sudah eksis sejak zaman Kerajaan Mataram Islam dan mendapat perbaikan pada era kolonialisme Hindia Belanda. Pembangunan jalan ini bahkan sampai menumbalkan ribuan nyawa pekerja pribumi.
Sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam
Jalan Pantura sebenarnya sudah eksis sejak masa Kerajaan Mataram Islam. Namun, kala itu bentuknya masih berupa jalur kecil laiknya jalanan setapak. Pada masa ini, Jalan Pantura berfungsi untuk kepentingan diplomasi maupun konsolidasi kekuasaan keraton.
Sebagaimana dicatat Endah Sri Hartatik dalam bukunya, Dua Abad Jalan Raya Pantura (2018), jalan ini dipakai sebagai jalur penghubung untuk diplomasi antara Kerajaan Mataram dengan para utusan, baik dalam maupun luar negeri.
Misalnya, utusan VOC Hendrick de Haen pernah memakainya saat berkunjung ke Mataram pada 1621 untuk keperluan diplomasi. Menurut catatan Endah, bahwa Hendrick berangkat dari Batavia menuju Tegal menggunakan jalur laut, sementara perjalanan dari Tegal ke Mataram menggunakan jalur darat via Pantura.
“Dia menggunakan armada kuda untuk sampai ke Mataram […] Daerah pesisir tersebut kemudian secara bertahap jatuh ke tangan VOC sebagai imbalan atas bantuannya kepada raja-raja Mataram sepeninggal Sultan Agung,” tulis Endah, dikutip Sabtu (23/9/2023).
Jalan Pantura juga menjadi sarana konsolidasi kekuasaan. Melalui jalan ini, Mataram dapat mengontrol wilayah pesisir dengan cara menempatkan orang-orang kepercayaan keraton di sana.
“Dalam proses pengawasan ini, Mataram memerlukan sarana transportasi darat berupa jalan raya yang menghubungkan Mataram dengan pesisir,” jelasnya.
Jalan Pantura yang masuk proyek ambisius Daendels
Jalan Pantura yang sudah eksis sejak zaman Mataram itu kemudian mengalami revitalisasi saat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) memimpin Hindia Belanda. Daendels punya “proyek raksasa” untuk membuat jalan sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer, Banten hingga Panarukan, Jawa Timur yang diberi nama De Grote Postweg atau Jalan Raya Pos.
Oleh karena minimnya dana pembangunan, pada 5 Mei 1808 Daendels memutuskan, hanya akan membangun jalan dari Buitenzorg (Bogor) sampai Karangsamboeng, Cirebon, saja. Sisanya, ia menyerahkan pembangunan pada bupati-bupati setempat yang wilayahnya terkena proyek ini.
Jalan Pantura pun masuk ke dalam proyek ini. Berdasarkan catatan Endah, salah satu alasan Daendels menggunakan Jalan Pantura karena; pertama, jalurnya sudah terbentuk, dan yang kedua, Pantura merupakan tanah pemerintah, bukan milik vorstenlanden.
Puluhan ribu pekerja pribumi jadi tumbal pembangunan Jalan Pantura
Akhirnya, pada 8 Mei 1808 perintah pertama pun keluar. Residen Cirebon diperintahkan untuk membangun jalan dari Karangsamboeng hingga Wirosari. Kemudian Residen Pekalongan juga mendapat perintah serupa, dan wilayah-wilayah lain juga mengikutinya.
Dari sekian banyak jalur, perbaikan jalan yang paling sulit adalah rute antara Semarang dan Kudus. Sebab, wilayah ini tergenang air sehingga butuh sarana dan prasarana yang memungkinkan untuk menghindari genangan tersebut.
Pembangunan Jalur Pantura atau Jalan Pantura ini ternyata menumbalkan ribuan jiwa pekerja. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos Jalan Raya Daendels menceritakan kondisi para pekerja pribumi yang tewas. Mereka menjadi tumbal agar keinginan Daendles lekas terwujud.
Para pekerja tewas karena kelelahan dan kena penyakit malaria lantaran iklim dan kondisi Jawa saat itu masih penuh rawa dan hutan
Awalnya cuma untuk pejabat dan bangsawan
Endah mencatat, pada awal masa Tanam Paksa, Jalan Pantura menjadi rute yang vital untuk menghubungkan tempat industri perkebunan yang dikembangkan, seperti gula dan kopi.
Jalur ini menjadi penghubung transportasi wilayah sekitar pantai dan pedalaman. Caranya dengan menggunakan jalur yang lebih kecil berupa jalan desa, jalan kereta kuda, dan jalan setapak.
Namun, memang pada awal peresmiannya, hanya kelompok terentu yang bisa menikmati Jalan Pantura. Seperti kereta kuda milik pemerintah Hindia-Belanda atau kereta kuda milik bangsawan pribumi. Hingga akhirnya Surat Keputusan No. 4 tertanggal 19 Agustus 1857 menyebutkan masyarakat umum boleh melewati jalan ini.
Lebih dari dua abad kemudian, Jalan Pantura makin dikenal dan menjadi jalur andalan, terutama bagi para pemudik. Sejak 1980, tercatat jalan ini mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor hingga mitos-mitos ganjil yang mengiringinya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA RM Sari Rasa: Tempat Makan Terbesar di Pantura, Andalan Bus AKAP Kala Lapar Melanda
Cek berita dan artikel lainnya di Google News