MOJOK.CO – Jalur kereta Jogja–Bantul mungkin terhapus oleh kemajuan zaman, tapi tidak di ingatan Eyang Harni. Setiap detail lintasan ini dituturkan olehnya dengan penuh nostalgia.
Tak banyak yang tahu bahwa dulu ada jalur kereta yang menghubungkan kota dengan wilayah Bantul hingga Kulonprogo. Jalur tersebut dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mendukung pabrik-pabrik gula di masa kejayaannya. Saat itu, banyak penguasa lokal yang membuka perkebunan tebu dan pabrik gula wilayah vorstenlanden: Surakarta dan Yogyakarta.
Perusahaan kereta api Belanda, NIS merespons meroketnya permintaan gula di pasar ekspor direspons dengan membangun jalur perpanjangan secara bertahap. Pertama, jalur Yogyakarta (St. Tugu)–Srandakan yang mulai beroperasi pada 1895.
Kedua, jalur Srandakan–Brosot yang mulai beroperasi pada 1915. Berlanjut dengan pembangunan jalur menuju Sewugalur pada 1 April 1916. Jalur-jalur tersebut menghubungkan empat pabrik gula, yakni di Padokan, Bantul, Gesikan, dan Sewugalur.
Saat meriset perihal jalur-jalur mati tersebut, Mojok menemukan arsip penting di kanal YouTube Kereta Nostalgia. Berupa rekaman wawancara dengan perempuan baya saksi kejayaan jalur Bantul di masa lalu. Sebut saja Eyang Harni. Saat video terunggah tiga tahun lalu, usia beliau menginjak 83 tahun.
Kereta dan Stasiun Bantul
Selain jalur baru, NIS juga membangun beberapa stasiun pemberhentian kereta. Dari sejumlah stasiun yang pernah melayani jalur ini, kini tinggal lima stasiun yang tersisa. Salah satunya stasiun Bantul yang kenangannya masih tertinggal dalam memori Eyang Harni.
Di stasiun ini, Eyang Harni menaiki kereta menuju Jogja bersama ibu. Susunan kursi pada kereta di masa itu berjejer-jejer. Dia mengaku senang duduk di pinggir, dekat dengan jendela.
“Aku bilang sama ibu: bu nanti duduknya di sebelah sana ya. Soalnya di sebelah kanan cuma bisa lihat jalan. Kalau di sisi kiri ada sawahnya terus masuk ke dalam desa. Terus di pinggir itu ada selokan ada bebek, angsa, seneng aku melihatnya,” ujarnya.
Kereta saat itu berbahan bakar batu bara. Ibunya sering memarahi Eyang Harni kalau duduk di samping jendela. Ibunya takut sang anak terkena percikan api bekas pembakaran mesin kereta. Terutama jika dia duduk di gerbong pertama.
Penumpang kereta
Pedagang dari berbagai wilayah di Bantul dan Kulonprogo kerap menggunakan kereta api di jalur ini. Rancangan kereta di zaman itu cukup memudahkan mereka yang membawa banyak barang bawaan.
“Sepertinya yang paling belakang itu untuk barang orang-orang. Lalu simbok-simbok bawa beragam bawaan. Yang membawa tahu memakai tampah besar di gerbong paling belakang. Diletakkan di atas rak-rak seperti ini (tersusun),” ujar Eyang.
Dulu jalur ini terbilang sibuk. Selain kereta penumpang dan barang andalan–warga Bantul dan Kulonprogo yang hendak menuju jogja, ada setidaknya lima kereta reguler pengangkut gula antara Stasiun Sewugalur dan Solo Balapan tiap harinya.
Baca halaman selanjutnya: Tragedi terlindas kereta..
Tragedi terlindas kereta
Seperti yang terjadi di masa sekarang, perlintasan kereta zaman dulu juga kerap memakan korban. Eyang Harni mengisahkan bagaimana dulu ibu kerap melarangnya berjalan di atas rel kereta.
“Persis di jalan tembusannya ke rumah ibuku, dulu di situ banyak orang yang kelindes kereta. Soalnya pada seneng duduk-duduk di rel. Tidak menduga ada kereta yang lewat. Itu berkali-kali orang mati di situ”
Krisis ekonomi saat perang dunia ke-2 dan perang kemerdekaan menjadi akhir dari kejayaan jalur Jogja–Bantul. Bermula dari merosotnya nilai gula pada krisis 1930-an hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942.
Di era Jepang, banyak rel kereta yang dipugar demi membangun jalur kereta di daerah jajahan lain untuk mendukung Perang Pasifik. Beberapa stasiun pun rusak parah selama perang sebelum akhirnya terbengkalai bertahun-tahun.
Pada 1950-an, pemerintah Indonesia sempat membangun ulang jalur ini untuk menunjang mobilitas warga Bantul. Namun, usaha tersebut tak berumur panjang. Kemunculan moda transportasi lain membikin lesu bisnis kereta api. Pada 1970-an jalur ini ditutup karena kalah bersaing.
Sisa-sisa jalur ini masih terlacak di sejumlah tempat. Seolah menolak tunduk dan terlupakan oleh pembangunan kota. Sejumlah bangunan stasiun pun masih gagah berdiri, begitu juga dengan jembatan penghubung. Jalur Bantul mungkin terhapus oleh kemajuan zaman, tapi tidak di ingatan Eyang Harni.
Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Purnawan Setyo Adi