MOJOK.CO – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai ada sejumlah dugaan pelanggaran hukum dan HAM pada tragedi yang mengakibatkan lebih dari 182 orang meninggal di Stadion Kanjuruhan, Malang. Peristiwa itu terjadi pasca-pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10).
Koordinator Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidiyati menerangkan, berdasarkan informasi yang didapat tim KontraS, aparat keamanan merespons penonton yang masuk ke lapangan dengan tindak kekerasan. Pada sejumlah video yang beredar, aparat tampak melakukan penendangan dan pemukulan pada suporter.
“Selain itu, diperparah dengan adanya penembakan gas air mata, hal ini tentunya makin memperburuk situasi,” terangnya dalam keterangan tertulis yang diterima Mojok.co.
KontraS menilai setidaknya ada empat dugaan pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan aparat TNI pada peristiwa itu.
Pertama yakni TNI-Polri melanggar peraturan perundang-undangan karena melakukan tindak kekerasan saat menghalau penonton yang masuk ke lapangan. Tindakan sewenang-wenang TNI-Polri dengan melakukan tindak kekerasan jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 170 & 351 KUHP.
“Selain itu, bagi anggota Polri dengan mengacu pada Pasal 11 ayat (1) huruf g Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri menegaskan bahwa: ‘setiap anggota Polri dilarang melakukan penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment)’,” jelasnya.
Kedua, penembakan gas air mata ke tribun penonton. Padahal situasi tribun penuh dan sesak oleh penonton dari beragam usia. Polri melanggar prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian menyatakan bahwa: “Penggunaan kekuatan harus melalui tahap mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau Tersangka yang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum.”
Selain itu, KontraS menilai polisi melanggar prinsip proporsionalitas, prinsip nesesitas, dan prinsip alasan yang kuat dalam melakukan tindakan pengamanan.
Ketiga yakni tindakan berlebihan yang dilakukan anggota Polri dianggap menyalahi prosedur pengendalian massa. Pasal 7 ayat (1) huruf a, b dan e Perkapolri Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, bagi setiap anggota Polri yang melakukan kegiatan Dalmas dinyatakan bahwa: “Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas: a. Bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa; b. Melakukan tindakan kekerasan yang, (e) keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan.”
Keempat, penyertaan dan penggunaan gas air mata oleh anggota Polri melanggar ketentuan Federation International de Football Association (FIFA) Stadium Safety and Security. Sebagaimana tertuang dalam artikel 19 poin b, diterangkan bahwa senjata gas air mata dilarang FIFA untuk dibawa dan digunakan dalam pengamanan pertandingan sepak bola.
Berdasarkan berbagai catatan itu, KontraS mengcam tindakan aparat polisi yang menembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan. Serta meminta Pemda Jawa Timur untuk memberikan pemulihan yang layak kepada korban atau keluarga.
Selain itu, meminta PSSI untuk menunda seluruh pertandingan liga hingga proses pengusutan terhadap tragedi ini berjalan. KontraS juga mendorong Propam Polri dan POM TNI untuk mengevaluasi tindakan aparat dalam proses pengamanan di stadion.
“Menjamin ruang investigasi independen atas peristiwa tersebut guna menemukan fakta, memberikan rekomendasi supaya kejadian serupa tidak berulang kembali,” pungkas Fatia Maulidiyanti.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono