MOJOK.CO – DPR resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undangan (RUU) tentang kesehatan menjadi Undang-Undang (UU). Keputusan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun 2022-2023.
Rapat paripurna itu dihadiri oleh 105 orang dari seluruh fraksi yang ada di DPR RI. Sementara 197 lainnya tercatat izin. Pemerintah yang hadir dalam rapat paripurna itu ada Budi Gunadi Sadikin, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar, serta Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej. Selain itu, ada juga perwakilan dari Kemendikbud Ristek, Kemendagri, serta Kementerian Keuangan.
Rapat yang dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani didampingi Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus, dan Rachmat Gobel itu mengantongi persetujuan pengesahan RUU kesehatan dari enam fraksi. Mereka adalah PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PPP, dan PAN. Sementara fraksi NasDem menerima dengan catatan mandatory spending. Dua fraksi tercatat menolak pengesahan itu, yakni Demokrat dan PKS.
Penolakan juga datang dari lima organisasi profesi (OP) di Indonesia. Sejak dibahas, RUU berisi 20 bab dan 458 pasal itu mendapat penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNII), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Di bawah ini beberapa poin dalam UU Kesehatan yang menimbulkan polemik:
Mandatory Spending
UU Kesehatan menghapus Mandatory Spending atau alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen. Pemerintah beranggapan, mandatory spending diatur bukan berdasar besarnya alokasi, melainkan berdasar komitmen belanja anggaran. Kebijakan baru berdampak pada program strategis tertentu tidak bisa berjalan.
Dokter asing dipermudah
Organisasi profesi menilai UU Kesehatan yang baru ini mempermudah pemberian izin untuk dokter asing. Pada pasal 233 UU Kesehataan tercatat, WNA lulusan luar negeri harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP) apabila ingin praktik di Indonesia.
Tetapi, apabila dokter diaspora dan dokter asing itu sudah lulus pendidikan spesialis, mereka dikecualikan dari persyaratan itu. Aturan baru itu juga menghapuskan aturan WNA tenaga kesehatan harus bisa berbahasa Indonesia
Penerbitan SIP tidak perlu rekomendasi organisasi profesi
Beleid baru itu juga mengubah persyaratan dokter mendapatkan SIP. UU Kesehatan itu menjelaskan, tenaga kesehatan harus memiliki STR, alamat, praktik, dan bukti pemenuhan kompetensi. Dengan kata lain, praktik tenaga kesehatan tidak lagi memerlukan surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi untuk mendapat SIP. Ini mencabut peran organisasi profesi terkait persyaratan praktik kesehatan. Padahal rekomendasi diperlukan untuk menunjukkan calon tenaga kesehatan sehat tidak memiliki masalah etik dan moral.
Konsil bertanggung jawab kepada menteri
Sebelumnya konsil kedokteran bersifat independen dan bertanggung jawab ke presiden. Sementara pada pasal 239 ayat 2 aturan yang baru menjelaskan, konsil kedokteran Indonesia dan konsil tenaga kesehatan Indonesia bertanggung jawab ke menteri. Organisasi profesi melihat hal ini melemahkan organisasi profesi karena sebagian besar tugasnya kemudian diambil oleh menteri.
Potensi kriminalisasi tenaga kesehatan
Pasal 462 disebutkan “Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.” Pada ayat lain dijelaskan, apabila hal itu menyebabkan kematian, tenaga kesehatan bisa dipidana paling lama lima tahun. Aturan itu membuka peluang untuk kriminalisasi tenaga kesehatan. Apalagi tidak ada penjelasan lain yang merinci soal kelalaian yang dimaksud.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi