MOJOK.CO – Perjalanan karier guru besar termuda Universitas Gadjah Mada (UGM), Pramaditya Wicaksono, tergolong unik. Laki-laki yang kerap disapa Prama itu bisa menjadi guru besar di usia yang relatif muda, 35 tahun 11 bulan.
Banyak akademisi yang berambisi menjadi guru besar, jenjang tertinggi di dunia akademik. Prosesnya tentu tidak mudah dan memakan waktu. Oleh karena itu, mereka yang menjadi guru besar biasanya berusia tidak lagi muda.
Akan tetapi, itu tidak berlaku untuk Prama. Ia mencapai jenjang tertinggi itu di usia 35 tahun 11 bulan. Ia menjadi guru besar di bidang Penginderaan Jauh Biodiversitas Pesisir di Fakultas Geografi UGM terhitung mulai tanggal 1 Juni 2023. Rencananya Prama akan menyampaikan pidato pengukuhan guru besar tahun depan, tepatnya Maret 2024.
Prama memang bercita-cita menjadi guru besar di usia muda. Namun, tidak menyangka keinginannya itu tercapai saat ini. Apa yang diraih Prama menjadikannya guru besar termuda sepanjang sejarah UGM. Ia melampaui rekor sebelumnya yakni 36 tahun 9 bulan. Catatan itu dipegang oleh Prof. apt. Agung Endro Nugroho, M.Si., Ph.D.
“Targetnya bisa di usia sebelum 40 tahun jadi guru besar, tetapi tidak pernah menyangka menjadi guru besar termuda di UGM di usia 35 tahun,” ungkap Prama melansir dari UGM.ac.id, Selasa (5/9/2023).
Jalan karier akademis yang unik
Perjalanan karier Prama di dunia akademis memang tergolong unik. Ia loncat jabatan dari lektor langsung menjadi guru besar tanpa menduduki posisi lektor kepala terlebih dulu. Loncatan tersebut memungkinkan karena angka kredit dosen yang dipersyaratkan sebagai profesor telah terpenuhi. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang mempercepat Prama menjadi guru besar, di samping kerja kerasnya yang luar biasa.
Angka kredit terpenuhi melalui jabatan-jabatan yang diemban Prama. Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Departemen Sains Informasi Geografi di Fakultas Geografi UGM. Selain sebagai ketua program studi, ia juga mengembang empat jabatan lain di fakultas. Di level internasional, Prama menduduki posisi sebagai Wakil Ketua WG V/5 – Education and Awareness in Blue Economy and Coastal Marine Environment, Commission V ISPRS (The International Society for Photogrammetry and Remote Sensing).
Sebelum menduduki jabatan-jabatan di atas, ia perah menjadi Sekretaris Unit Kerja Sama Dalam Negeri (UKDN) Fakultas Geografi dan Sekretaris Departemen Sains Informasi Geografi (SaIG).
“Kalau cuma dari mengajar dan membimbing mahasiswa belum tentu bisa mencapai jumlah angka kredit dosen terkait pelaksanaan pendidikan yang dipersyaratkan jadi guru besar,” jelas dia.
Produktif penelitian dan publikasi ilmiah
Selain loncat jabatan, Prama produktif melakukan penelitian dan publikasi ilmiah. Setiap tahunnya ia menerbitkan rata-rata 5 publikasi ilmiah. Hingga saat ini, lelaki kelahiran Semarang 6 Juli 1987 itu sudah membuat 55 publikasi pada jurnal ilmiah nasional dan internasional bereputasi. Ia juga menghasilkan 76 tulisan yang terbit di prosiding, book chapter, buletin, serta media massa.
Produktivitasnya melakukan penelitian dan publikasi terdorong oleh kesenangan melakukan riset dan menulis. Ia mengaku senang-senang saja menjalaninya.
“Lalu, saya berusaha fokus pada bidang ilmu yang saya tekuni, sehingga bisa produktif menghasilkan sesuatu untuk bidang keilmuan tersebut,” imbuh Prama.
Sejak menempuh pendidikan doktoral, bapak satu anak itu banyak meneliti terkait pengembangan metode penginderaan jauh untuk pemetaan padang lamun sebagai penyerap karbon. Konon, padang lamun mampu menyerap karbon hingga 35 kali lebih efisien daripada hutan tropis. Indonesia sebenarnya punya potensi padang lamun, tapi belum ada data pasti terkait luasan padang lamun di Tanah Air. Ketidakpastian data itu berakar dari setiap institusi melakukan pemetaan dengan cara dan metode masing-masing.
Berangkat dari situ, Prama sebenarnya ingin melihat potensi dan kondisi tersebut. Saat ini menjadi koordinator pemetaan padang lamun nasional berkolaborasi dengan BRIN, KKP, BIG, Universitas Hasanuddin, serta The University of Queensland. Saat ini, ia juga sedang mengembangkan metode otomatisasi pemetaan stok karbon atas permukaan padang lamun dengan menggunakan citra satelit Sentinel-2.
Riwayat akademis guru besar termuda
Prama menempuh pendidikan S1 di program studi Kartografi dan Penginderaan jauh di Fakultas Geografi UGM pada 2004. Ia berhasil lulus dalam waktu 3 tahun 11 bulan atau pada 2008. Setelah lulus sarjana, ia langsung melanjutkan S2 di program studi Geografi dengan minat MPPDAS di Fakultas Geografi UGM pada 2008. Prama memanfaatkan Beasiswa Unggulan Dikti.
Sembari S2, ia bergabung menjadi asisten di Pusat Pendidikan Interpretasi Citra dan Survei Terpadu (PUSPICS). Setelah lulus, ia mendapatkan tawaran beasiswa doktoral dari program CNRD (Centers for Natural Resources and Development) melalui pendanaan dari DAAD Jerman. Prama kemudian melanjutkan program Doktor Geografi minat Penginderaan Jauh di Fakultas Geografi joint program dengan Cologne University of Applied Sciences, Jerman.
“Jadi saya melamar jadi dosen di Fakultas Geografi saat ditengah menempuh pendidikan S3,” ujarnya. Keputusan itu diambilnya karena suka melakukan eksplorasi. Tak hanya itu, ia juga gemar bercerita dan berbagi pengalaman, serta senang bertemu dengan orang-orang baru.
Setelah perjalanan panjang hingga menduduki jenjang tertinggi, Prama cenderung melihat menjadi guru besar di usia muda adalah sebuah anugerah. Ia tidak akan menjadikan jenjang baru sebagai akhir perjalanan kariernya. Ini justru awal mengembangkan keilmuan untuk lebih maju.
“Guru besar ini kan jadi lokomotif mengembangkan ilmu di institusi. Sehingga, peluang untuk pengembangan ilmu pun menjadi lebih besar, sehingga bisa lebih kencang lagi dalam meliterasi masyarakat,”paparnya.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Guru Besar UGM: Ikan Wader Rentan Punah, Kok Bisa?
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News