MOJOK.CO – Dulu warga Bandar Lampung punya bus seperti Trans Jakarta atau Trans Jogja. Sayang, kehadirannya selalu diterpa masalah hingga ia layu duluan sebelum sempat berkembang.
Trans Bandar Lampung merupakan transportasi umum modern bersistem Bus Rapid Transit (BRT). Bus tersebut mulai diuji coba pada 15 November 2011. Selang sebulan, tepatnya pada 19 Desember 2011, TBL resmi beroperasi dengan 40 bus yang meliputi 2 koridor.
Saat peresmiannya, TBL menjadi BRT pertama di Indonesia yang operasionalnya sepenuhnya oleh swasta. Pemerintah Kota Bandar Lampung, yang melalui Dinas Perhubungan (Dishub) Kota, hanya bertindak sebagai inisiator sekaligus regulator. Operatornya adalah PT. Trans Bandar Lampung yang merupakan gabungan dari 37 perusahaan angkutan umum swasta di kota tersebut.
Jumlah armada terhitung banyak
Baru setahun beroperasi, TBL sudah menambah jumlah armada dan koridor. BRT dengan warna bus hijau dan berhias motif tapis (kain etnik Lampung) ini sanggup melayani tujuh koridor dengan 250 unit armada.
Jumlah ini terbilang besar. Bandingkan saja dengan Trans Jogja yang pada 2023 ini hanya punya 140. Meski angka itu belum termasuk armada Teman Bus (hibah dari Kementerian Perhubungan), selisih 110 unit tidaklah sedikit.
Soal cakupan, koridor TBL kala itu sudah mampu melayani seluruh penjuru Bandar Lampung yakni barat (Kemiling), timur (Panjang), utara (Rajabasa), dan selatan (Sukaraja).
Digoyang pengemudi dan pengusaha angkot
Keberadaan TBL memang membantu mobilitas warga, tapi kehadirannya ditentang pekerja dan pengusaha angkutan umum lain. Pada 21 November 2011, ratusan angkot yang mogok kerja berjejer di kompleks perkantoran Pemerintah Kota Bandar Lampung. Tensi demonstrasi hari itu panas. Tercatat ada tiga unit TBL yang peserta aksi lempari dengan batu.
“Kami tidak terima dipindah ke jalur lain karena adanya BRT ini,” ucap Zulyanto, perwakilan Forum Komunikasi Angkutan Kota Bandar Lampung, melansir dari Kompas.com.
Perebutan koridor membuat keduanya jadi bersaing, bukan bersinergi. Pekerja dan pengusaha angkot menolak proposal pengalihan angkot ke jalur pinggiran sebagai pengumpan TBL.
Pengelolaan yang buruk
Selain aksi protes kompetitor, terdapat masalah di manajemen pengelolaan TBL. Sejak September 2012, tercium kebocoran pendapatan di tubuh internal. “Saya lihat sendiri petugas yang memungut tiket bekas atau tidak memberi tiket kepada penumpang agar ongkos bisa masuk ke kantongnya tanpa tercatat,” kata Hujatullah, Kabid. Angkutan Darat Dishub Kota Bandar Lampung.
Kebocoran tersebut membuat manajemen limbung hingga harus menerapkan variasi tarif. Tarif jalan yang semula flat di angka Rp3.500, per Oktober 2012 dikenakan biaya tambahan sebesar Rp1.500 tiap transit berganti koridor.
Buruknya manajemen juga para pegawainya rasakan. Pada 21 Januari 2012, pegawai mogok kerja. Mereka menuntut pembayaran upah yang sudah tiga bulan ditunggak. “Ini sudah mogok yang kelima,” kata Ipong, pegawai TBL yang mogok kerja, dilansir dari Kompas.com.
Segala goyangan itu terjadi kurang dari dua tahun operasionalnya. Nasib TBL makin tak tentu arah ketika ojek online (ojol) mulai masuk ke Bandar Lampung. Pada 2018, armada TBL hanya tersisa 60 unit yang cuma sanggup melayani 2 koridor. Itu saja hanya sampai sore dan terdapat pemberlakuan pengurangan armada di akhir pekan.
Untuk menutup biaya operasional, mereka kembali menaikkan tarif menjadi Rp5.000. Selain itu, mereka mulai menyewakan unit bisnya untuk keperluan lain. “Bisa dibilang, kita mati suri,” kata I Gede Jelantik kepada Tribun Lampung lima tahun silam.
Kini, selang beberapa tahun kemudian, proyek TBL benar-benar sudah kehabisan nafas. “[Trans Bandar Lampung Mati] udah lama banget,” kata Arie Oktara, warga Bandar lampung.
Penulis: Ardhias Nauvaly
Editor: Iradat Ungkai