Pariwisata Jogja di Titik Jenuh? Puspar UGM dan Pelaku Pariwisata Beri Solusi

Pariwisata Jogja di Titik Jenuh? Puspar UGM dan Pelaku Pariwisata Beri Solusi. MOJOK.CO

Pantai di Gunungkidul, (Photo by Ake Widyastomo on Unsplash)

MOJOK.COPersoalan pariwisata di Jogja sebenarnya bukan masalah jenuh atau tidak. Namun, terkait juga pengelolaan produk dan kemauan pengambil kebijakan di empat kabupaten dan satu kota untuk saling terintegrasi. Selain itu, harus ada riset yang jelas untuk menentukan potensi yang kuat dari masing-masing wilayah sehingga tidak saling berebut wisatawan.

Ketua Gabungan Industri Pariwisata (GIPI) DIY, Bobby Ardyanto Setyo Aji menyatakan, persoalan pariwisata di Jogja bukan masalah jenuh atau tidak, tapi bagaimana menata produknya. Carrying capacity atau daya dukung maksimal destinasi harus diperluas tidak hanya di beberapa titik saja.

GIPI yang memiliki anggota 20 asosiasi industri maupun profesi di bidang pariwisata tahu betul kondisi di lapangan karena langsung bersingungan dengan wisatawan maupun pengelola destinasi.

Carrying capacity-nya sudah luas, jadi bukan pariwisata Jogja yang jenuh, tapi bagaimana menata produk dari empat kabupaten dan satu kota di DIY untuk saling mendukung,” kata Bobby kepada Mojok, Sabtu (27/5/2023). Bobby menilai, masing-masing kabupaten/kota sudah bukan saatnya berebut market satu sama lain, tapi justru saling terintegrasi. 

Lakukan riset, perbaiki infrastruktur pariwisata

“Libatkan penta helix, kemudian lakukan riset. Sebenarnya potensi wisata yang riil dari masing-masing kabupaten/kota di DIY itu apa? Kemudian rumuskan potensinya dan link match-nya,” kata Bobby. 

Lewat riset akademik tersebut, menurutnya akan menghasilkan rekomendasi ke pemangku kebijakan yang nantinya bisa memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur sesuai dengan market masing-masing kabupaten/kota. “Jadi tidak saling bertabrakan potensinya, empat kabupaten satu kota tumbuh bersama. Semua berkembang,” kata Bobby. 

Ia memberi contoh, bagaimana di Bali, market wisatawan di Ubud berbeda dengan Kuta karena konsepnya berbeda. Begitu juga market wisatawan di Kuta berbeda dengan Nusa Dua. Konsep yang berbeda itu kemudian dilindungi regulasi, itu mengapa mereka berkembang dan tidak saling tabrakan.

Persoalan lain yang perlu juga perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan adalah infrastruktur dan amenities atau fasilitas yang belum lengkap di destinasi. Sehingga wisatawan tidak hanya datang ke tempat yang itu-itu saja. Terutama untuk wisatawan asing.

“Sekarang, sudah saatnya, pariwisata di kabupaten/kota di DIY itu harus terintegrasi dan terorkestrasi dengan baik. Tidak lagi berpikir parsial atau sendiri-sendiri. Namun, berpikir pariwisata Jogja secara utuh,” tegasnya.

Resistensi masyarakat di musim liburan

Kepala Pusat Studi Pariwisata (Puspar UGM) Dr. Mohammad Yusuf, MA mengatakan, selama ini untuk mengukur titik jenuh pariwisata di sebuah daerah, Puspar secara konseptual selalu merujuk pada carrying capacity atau daya dukung maksimal yang bisa diberikan oleh sebuah destinasi.

Carrying capacity minimal terdiri dua aspek utama: physical dan socio-cultural. Jika melihat persebaran titik atraksi wisata di DIY secara physical, ada beberapa titik yang sangat jelas melebihi carrying capacity, khususnya di kawasan kota. Dampaknya, banyak titik macet, banjir, dan kekeringan,” kata M Yusuf kepada Mojok, Sabtu (26/3/2023). 

Lebih lanjut M Yusuf mengatakan, secara socio-cultural, resistensi yang dari masyarakat Jogja menunjukkan sangat jelas bahwa pembangunan kepariwisataan di Joga, khususnya di musim liburan, telah melebihi carrying capacity.

Libatkan masyarakat lokal lebih banyak

M Yusuf memberikan kemungkinan solusi yang bisa dilakukan oleh Pemda DIY, salah satunya perlu kajian carrying capacity di setiap atraksi utama dan beberapa atraksi pendukung. Perlu persebaran atraksi sehingga tidak menumpuk di beberapa titik utama. 

Serta, lebih mementingkan kualitas ketimbang kuantitas. Peningkatan kualitas atraksi, fasilitas, dan tata kelola kelembagaan. “Sehingga pengalaman wisatawan semakin meningkat,” ujarnya. Selain itu, perlu pelibatan yang lebih luas masyarakat lokal, sehingga kue pariwisata dinikmati oleh semakin banyak orang,” papar M Yusuf.

Ia menambahkan, perlu ada penegakan aturan yang tegas, khususnya kepada pelaku pariwisata, untuk meminimalisir penyimpangan dan pelanggaran aturan.

Pariwisata berkelanjutan

Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Raharjo dalam kesempatan terpisah kepada Mojok mengatakan pariwisata berkualitas dan berkelanjutan telah masuk dalam rencana kebijakan kepariwisataan DIY periode 2022-2027. “Pariwisata berkualitas, tidak identik dengan biaya mahal. Tapi menekankan pada upaya destinasi memberikan pengalaman yang lebih daripada sebelumnya,” kata Singgih yang juga Penjabat Walikota Yogyakarta. 

Menurut Singgih, menurunnya jumah wisatawan yang datang ke Yogyakarta pada libur Lebaran 2023 kemarin, sebenarnya tidak menjadi masalah. Karena, tujuan pariwisata berkualitas memang bukan mengejar kuantitas wisatawan.

Menurut Singgih, ada tiga fokus dalam mengembangkan pariwisata berkelanjutan di DIY.  Konservasi alam, konservasi budaya, dan konservasi sosial. “Ketiganya merupakan satu kesatuan yang menjadi tujuan untuk pengembangan konsep pariwisata ini,” ujar Singgih.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Akui Saja, Pariwisata Jogja Memang Sudah Menemui Titik Jenuhnya

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version