MOJOK.CO – Pamella Swalayan jadi salah satu supermarket lokal di Jogja yang bisa bertahan di tengah gempuran toko berjejaring. Bukan hanya bisa bertahan, tapi toko serba ada yang berdiri tahun 1975 ini mampu mengembangkannya.
Ada banyak fakta yang mungkin orang tidak tahu dari toko yang kini sudah memiliki 9 cabang di DIY ini. Mojok merangkumnya dalam 7 fakta Pamella Swalayan.
#1 Didirikan saat pemilih masih berusia muda
Pamella Swalayan yang kini dikenal sebagai Pamella Supermarket, didirikan oleh Noor Liesnani Pamella (67) saat usianya baru 20 tahun di bulan September 1975. Pamella mendirikannya tahun sehari setelah ia merayakan ulang tahunnya yang ke-20, atau dua bulan setelah ia menikah dengan Sunardi Sahuri, seorang pendakwah yang sangat dikenal di Yogyakarta.
Sejak usia remaja, Pamella membantu ibunya menjalankan usaha di toko. Ini karena ayahnya meninggal saat ia masih remaja, sehingga ibunya menjadi tulang punggung keluarga.
Saat menginjak kelas tiga SMA, perempuan yang seharusnya fokus belajar menjelang ujian ini justru banyak bekerja. Hingga akhirnya ia gagal mengikuti ujian. Kegagalan yang membuatnya tak bisa mendapat ijazah SMA.
Ia juga didiagnosa mengalami psikosomatis. “Dokter mengharuskan saya milih. Antara berhenti sekolah atau berhenti kerja dulu. Mengorbankan salah satu untuk mengurangi beban pikiran saya,” ucapnya.
#2 Bersama suami kembangkan usaha
Pamella menerima pinangan dari guru ngaji, Sunardi Sahuri yang usianya tiga tahun lebih tua. Mereka bertemu saat berlangsungnya sebuah pengajian. Sunardi menyodorkan tiga hal yang perlu disepakati bersama sebelum mereka menikah. Pamella masih ingat betul tiga hal tersebut.
“Pertama, bapak ingin kita bersama-sama menjalankan usaha. Saya tidak hanya jadi ibu rumah tangga, tapi nggolek duit bareng. Kedua, saya harus mau ditinggal ngisi pengajian. Ketiga, saya disuruh pakai jilbab,” kenang pada Mojok beberapa waktu lalu.
Dua hal pertama bisa disepakati dengan mudah. Namun, untuk yang ketiga, Pamella awalnya merasa cukup berat. Tapi sang suami memaklumi dan tidak serta merta memaksanya untuk berjilbab. Setidaknya butuh tiga tahun sejak menikah sampai akhirnya ia meniatkan diri untuk konsisten berjilbab.
“Wah saya dulu itu datang dengan pakaian mini-mini. Zaman segitu kan memang masih jarang ya yang berjilbab,” ucapnya tertawa.
Sunardi Sahuri yang tutup usia pada 2018. Pamella mengenalnya sebagai sosok yang penyabar. Sejak muda, laki-laki yang dikenal sebagai pendakwah ulung di Jogja ini memang sudah menyatakan niatnya untuk hidup sebagai guru ngaji.
#3 Toko pertama di Jalan Kusumanegara
Mereka menjalankan usaha pertamanya, Toko Pamella yang terletak di Jalan Kusumanegara. Toko itu berdampingan dengan Toko Flora, usaha milik orang tua Pamella. Saat itu, keduanya sama-sama berjualan kelontong.
“Jadi toko itu pemberian orang tua. Mertua saya menyiapkan rumah yang di Timoho dan ibu saya menyiapkan toko ini,” kenangnya.
Hari pertama buka, Pamella masih ingat, omzet yang ia dapatkan berjumlah Rp3.300. Ia sisihkan Rp50 untuk ditabung. Ia ingin bisa berkurban saat Iduladha melalui tabungannya tadi.
Setelah berhasil berkurban, ia niatkan lagi untuk menyisihkan lebih banyak. Kali ini targetnya agar bisa naik haji.
“Omzet bertambah, naik jadi Rp75 ribu, suami saya ganti kaleng (tabungan) lebih besar untuk haji. Saya sisihkan Rp500 perhari,” ucapnya.
#4 Momentum toko berkembang gara-gara kebijakan BI
Ada satu momentum yang membuat Pamella Swalayan berkembang di masa-masa awal. Hal itu terjadi di tahun 1978 kala Bank Indonesia (BI) memberlakukan kurs tengah baru terhadap mata uang asing. Kebijakan ini ditetapkan bersamaan dengan dilakukannya devaluasi rupiah pada 1978. Kebijakan yang diumumkan pemerintah ini dikenal dengan KNOP 15 yang diumumkan pada 15 November 1978.
Saat itu terjadi lonjakan harga barang-barang pokok. Harga emas pun meroket tajam. Namun, Pamella mengalami keberuntungan.
Saat mengetahui kebijakan itu, dengan sisa uang yang ia miliki, Pamella datang ke Toko Srimpi. Toko milik orang Tionghoa ini memang jadi tempat kulakan barang dagangan. Namun, saat ia datang, ternyata toko itu sudah tutup.
“Saya ketuk, ‘iki aku Pamella’. Kok ya dibuka itu loh. Padahal orang lain sebelumnya nggak dikasih, saya sampai heran. Saya dikasih harga sebelum naik. Mereka itu baik sekali sama saya,” ucapnya dengan antusias.
Selepas mendapat stok barang dengan harga normal, Pamella dan Sunardi menutup tokonya sejenak. Sembari menunggu rilis harga pasar barang terbaru. Ketika buka kembali, mereka bisa mendapatkan untung lebih karena harganya melonjak.
Selain itu, mereka berdua juga punya tabungan berupa emas. Harga emas yang juga melonjak membuat mereka langsung menjualnya. Dua hal ini membuat mereka akhirnya bisa menunaikan haji untuk pertama kalinya.
#5 Transformasi Toko Pamella
Di tahun 1978, Toko Pamella yang semula hanya dikelola berdua juga mulai punya karyawan. Bisnis terus berkembang dan tiga tahun kemudian pasangan suami istri ini memberanikan diri membuka cabang Pamella Dua di Jalan Pandean.
Di dekade 1990-an, Pamella benar-benar melesat. Dari yang semula dua cabang, pada tahun 1999 sudah membuka cabang yang keenam. Cabang terakhir yang letaknya di Jalan Raya Candi Gebang, Sleman ini buat Pamella cukup besar.
Selain cabang yang berkembang pesat, tahun-tahun itu juga Toko Pamella bertransformasi jadi Pamella Swalayan. Berubah dari traditional trade menjadi modern trade. Perubahan ini, menurut sang pendiri, cukup meningkatkan omzet penjualan.
#6 Memilih untuk tidak utang bank
Situasi krisis ekonomi yang mendera di tahun-tahun juga tak berpengaruh banyak pada usahanya. Bagi Pamella, kuncinya tidak utang bank. Ada dua alasan berbeda mengapa sepasang suami istri ini ogah meminjam uang ke bank.
“Kalau Bapak itu karena alasan syariat ya, riba. Tapi kalau saya bukan itu, saya ada trauma tentang utang,” ucapnya, lirih.
Ketika masih sehat, sang ayah mempunyai usaha yang modalnya berasal dari pinjaman bank. Semuanya berjalan baik-baik saja sampai suatu ketika setelah mengajukan pinjaman, sang ayah jatuh sakit.
“Ayah saya sakit kanker sampai berbulan bulan di rumah sakit,” ucapnya.
“Uang dari bank pas turun langsung larinya untuk biaya berobat. Kami nggak punya uang. Sampai wafat akhirnya ibu yang menanggung,” sambungnya.
Hal itu ia ketahui beberapa waktu sepeninggal ayahnya. Sejak saat itu, ia berkeinginan kuat agar sebisa mungkin tidak berhutang ke bank. Prinsip itu terus ia pegang sampai bisnisnya berkembang pesat seperti sekarang.
#7 Komitmen bantu UKM
Dalam perjalanannya, usaha Pamella bukan tanpa kendala. Ada beberapa diversifikasi lini bisnis yang tak berjalan lancar. Namun, itu hal biasa dalam dunia bisnis. Jika memang tidak menghasilkan laba, ia pilih menutupnya dan menggantinya dengan unit usaha lain.
Pamella Swalayan juga dikenal sebagai toko yang tidak menjual rokok. Bisnis supermarketnya kini sudah melalui jalan panjang. Saat ini memiliki sembilan cabang dan yang terakhir buka tahun 2018 berada di Gunungkidul.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono