MOJOK.CO – Banjarnegara punya minuman khas bernama dawet ayu. Minuman segar santan dan cendolnya ini diperkirakan sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Selain itu, ada sejumlah fakta menarik lain yang perlu diketahui tentang kuliner satu ini.
Mojok sempat berjumpa dengan pengelola warung Dawet Ayu Hj Munarjo. Warung ini merupakan salah satu yang tertua dan masih bertahan hingga sekarang di Banjarnegara. Sudah dirawat tiga generasi, mulai dari pasangan Munarjo, anaknya, hingga sekarang mulai dikelola oleh cucunya.
Siti Hamdiyah (56), anak dari perintis warung ini, bercerita kalau penamaan dawet ayu pertama kali tersemat saat sebuah grup lawak asal Banyumas menjajal dawet buatan orang tuanya. Selain itu, ada sejumlah hal menarik lainnya.
#1 Nama dawet ayu
Alkisah ada grup lawak Peang-Penjol yang berkunjung warung Munarjo. Secara spontan, mereka menamai warung ini sebagai “dawet ayu”. Sebutan itu muncul lantaran yang sedang melayani pelanggan adalah Marfungah atau yang lebih dikenal sebagai Hj Munarjo.
“Itu yang saya dapat dari cerita orang tua. Banyak juga yang menyebut versi lain, bahkan tidak terima kalau warung ini disebut sebagai dawet ayu ‘asli’ atau yang pertama. Itu bebas saja,” ujar Hamdiyah.
Sebutan dawet ayu juga menjadi populer karena kehadiran lagu daerah tentangnya. Lagu itu juga dipopulerkan oleh grup lawak Peang-Penjol dari Banyumas yang disebut memberi julukan pada dawet milik Munarjo tadi.
#2 Sudah ada sejak Indonesia belum merdeka
Warung Dawet Ayu Hj Munarjo dirintis sejak tahun 1938. Itu artinya, minuman ini sudah muncul sejak Indonesia merdeka. Saat itu, kebanyakan penjual masih menjajakan dagangan secara berkeliling.
Seperti halnya Munarjo,saat usianya masih 15 tahun, ia sudah mulai berjualan dawet secara berkeliling dari desa ke desa. Salah satu ciri khas yang dibawakan Munarjo saat berkeliling menggunakan pikulan adalah suara tuk..tuk…tuk. Suara yang berasal dari gelas dipukul ke kayu.
“Kayu itu biasa disebut dhulang atau penutup wadah dawet,” jelas Hamdiyah.
#3 Berawal dari Desa Rejasa
Munarjo berasal dari Desa Rejasa di Kecamatan Madukara. Desa yang letaknya tak jauh dari pusat Kabupaten Banjarnegara ini juga disebut sebagai daerah di mana cikal bakal dawet ayu muncul. Meski saat itu namanya belum disebut dawet ayu.
“Dari cerita yang saya dapat, dulu saat bapak awal berjualan sudah ada beberapa keluarga yang berjualan dawet di Rejasa. Jadi desa ini merupakan awal sejarah dawet di Banjarnegara,” lanjutnya.
#4 Cara menjaga kualitas
Kemampuan bertahan dalam waktu yang cukup lama tentu membutuhkan upaya menjaga kualitas cita rasa. Warung ini terus mempertahankan beberapa hal. Mulai dari gulanya yang diambil langsung dari petani di desa, dawetnya yang dibuat dari tepung beras asli dan tapioka serta pewarna dari daun pandan asli. Santannya juga tak pernah disimpan lama-lama. Santan, cendol dawet, dan gula adalah komponen penting minuman ini.
“Untuk gula kelapanya kami ambil dari desa, namanya Desa Kebutuh,” ujar Muakhor, pegawai warung Dawet Ayu Hj Munarjo yang juga Mojok temui.
#5 Minuman tradisional paling populer
Seiring waktu, dawet ayu berkembang jadi minuman yang populer di berbagai daerah. Hal ini salah satunya berkat banyaknya perantau dari Banjarnegara yang menjual minuman ini.
Tahun 2020 lalu, minuman ini juga dinobatkan sebagai minuman tradisional paling paling populer di Indonesia.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Sejarah Panjang Dawet Ayu Banjarnegara: Tak Mau Mematenkan Malah Bagi Resep