Meski puluhan orang meregang nyawa dan meninggalkan dunia fana karena minum oplosan, masih saja ada yang mencarinya. Rasa yang lebih ‘nendang’ jadi alasan menikmati minuman yang kadang diracik dari obak nyamuk dan pembersih lantai.
***
Jumat (28/05), penghujung bulan Mei penuh hujan yang menghantui Kota Jogja dengan amat khusyuk, saya membuat janji dengan salah satu pemuda guna mengikuti kegiatannya mabuk dengan beberapa koleganya. “Pas banget, udara sedang dingin-dinginnya. Nanti malam ikuti aku aja. Kalau ditanya kamu siapa, jawab aja anak buahnya Angga,” ketiknya via WhatsApp yang terkesan agak jumawa.
Dari balasan pesannya, Angga (24) seperti membaptiskan dirinya, bahwa ia adalah pentolan di perkumpulan yang akan saya sambangi guna mengikuti kegiatan mabuk-mabukan.
WhatsApp-nya tersemat tanda typing, agak lama, lantas muncul sebuah pesan yang penuh curiga, “Tapi, kamu bukan mata-mata, kan?” tutupnya. Entah bercanda atau bagaimana, saya kurang paham.
“Tenang. Saya nanti ikut minum,” jawab saya dan memang itulah yang diharapkan oleh Angga. Dalam hati saya, tentu saja ini hanya dalih agar saya diizinkan mengikutinya.
“Ini alamat rumahku, datang saja habis Magrib. Mabuk perlu, ibadah nomer satu,” kata Angga . Ia membubuhkan lokasi di pesan WhatsApp.
Sampai di rumah Angga, rumah yang berbeda dari rumah-rumah di sebelahnya lantaran lebih besar dan bertingkat dua, saya menunggu cukup lama di depan. “Doa supaya nggak ada mata-mata malam ini,” katanya.
“Kita mampir beberapa tempat dulu. Salah satu tempat katanya sih si penjual lapen yang memakan korban dan sempat digelandang kepolisian. Nanti kamu nanya-nanya aja benar atau nggak,” kata Angga.
Tak lagi berani meracik lapen atau oplosan
Pertama kami menelusuri sekitar daerah Terminal Giwangan. Kami masuk ke dalam beberapa gang dan memang berjalan kaki adalah rekomendasi. Tanah yang becek, sempit, dan sesak dengan manusia yang sedang ngaso sambil ngerokok menunggu Adzan Isya, menjadikan naik motor dan digas banter itu haram hukumnya.
Sebut saja Mas Ciu (41). Air mukanya njengirat kaget ketika saya datang bersama Angga. “Siapa?” katanya. Bola matanya terus berputar, apalagi ketika melihat kehadiran saya yang bisa dikatakan orang asing bagi ingatan yang terhimpun dalam impuls ingatannya.
Angga menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan saya dan obrolan di antara kami tercipta dengan agak pekewuh. Mas Ciu percaya bahwa saya tak akan menyebarkan identitasnya secara luas. Baik nama asli, foto, maupun audio. Ia menyetujui walau pada akhirnya tatapan di antara kami tetap mengandung maksud saling mencurigai.
Mas Ciu mengaku, ia sudah tidak menjual lapen sejak lama. Katanya, lapen terlalu berbahaya untuk dijual. Ia memilih menjual ciu, arak, hingga bekonang. “Kalau menjual arak dan bekonang, saya menyediakan kalau ada yang pesan aja,” timpalnya.
Kill the DJ berkolabirasi dengan Sirin Farid Stevy menyanyikan Orang Miskin Dilarang Mabok melihat fenomena sosial tentang oplosan dan miras lokal.
Ketika ditanya apakah ada yang masih mencari lapen, Mas Ciu menggelengkan kepalanya dengan ragu. “Lha wong lapen tinggal oplos saja kan, Mas. Misal beli ciu, di rumah campur autan, itu jadi lapen,” terangnya.
“Tapi, memang ada, sih, peracik-peracik lapen yang terkenal namanya di Jogja bagian-bagian tertentu.”
Ditanya apa definis dari lapen, Mas Ciu menjawab, “Banyak miskonsepsi dari lapen. Banyak yang bilang ciu itu lapen. Padahal lapen itu lebih ke oplos. Ada yang nyebut langsung pening. Ada pula yang bilang langsung penak. Lha definisi langsung pentung juga ada karena habis mabuk, ya, gelut.”
Mas Ciu melanjutkan, “Lha kalau orang mabuk itu ada yang mau cari langsungan (langsungan di sini, maksudnya langsung mabuk, red), Mas, lapen adalah pilihannya. Nah, makanya lapen itu merujuk kepada oplosan. Apapun yang dioplos, makin nggak sehat, makin bikin mabur, maka makin terkenal pula si peracik lapennya.”
Ketika ditanya apa resep racikan lapen Mas Ciu, ia memilih diam. Beberapa jeda mengintai dan hening mengiring. “Kalau rekan saya dulu, ada yang campur autan hingga pembersih lantai. Lha itu kan njemput kematian, kan? Bahkan ada yang mencampur dengan bangkai tikus karena hal-hal klenik.”
Hal-hal klenik macam apa yang dimaksud, Mas Ciu memberikan keterangan bahwa itu sebagai penglaris. “Sugesti-sugesti awam. Hal-hal sesat yang sejatinya nggak boleh disebar luaskan,” katanya.
Ketika ditanya berapa keuntungan tiap hari ketika masih aktif berjualan lapen, Mas Ciu menjawab pendapatannya banyak, amat banyak. Pada masa berjualan lapen, itu adalah masa-masa kejayaan dapurnya yang tiap hari bisa ngepul dan keluarganya makan enak.
“Nyari duit itu (dulu, red) seperti hal sepele. Aku merem we dapet duit. Kalau disuruh mengulang lagi bisnis seperti itu, wes wedi, Mas. Soalnya begini, kalau ada apa-apa sama pembeli, yang kena itu saya. Entah hukuman dari kepolisian, atau sangsi sosial,” ujar laki-laki yang kini nyambi usaha bengkel sekaligus berusaha melepas perlahan penjualan miras.
Mas Ciu pernah digeladang oleh kepolisian setempat lantaran kasus 10 orang meninggal di Bantul. “Karena lokasi kejadiannya dekat sini, jadi yang dituduh pertama oleh warga itu saya. Terus dilakukan penyelidikan lebih lanjut, dari mana mereka mendapatkan lapen atau oplosannya itu. Mbok tenan, saya nggak terlibat. Juga nggak tahu menahu. ”
Angga membawa saya ke tempat kedua. “Barangkali yang ini masih jual, ya,” katanya. Kali ini kami menuju daerah sekitar Terminal Lawas, dekat XT Square. Hujan masih mengguyur perlahan. Dengan menggunakan mantel tebal, pergerakan saya kurang mulus, tidak seperti Angga yang melewati beberapa genangan air di gang-gang sempit dengan lincah. Dengan kaki-kakinya yang panjang.
Ada sabun mandi, lemari pendingin menyimpan cola, sampo renceng berderet-deret, pun penjualnya tersenyum dengan ramah. Angga memberikan kode, “Biasa, Lik,” maka anggukan si penjual seperti sudah mafhum dengan maksud Angga.
Kali ini sambutannya agak hangat. Nampaknya, si penjual sudah terbiasa dengan kedatangan orang-orang baru di tokonya. Angga memperkenalkan saya kepada Lik Arak (36). “Astagaaaa. Kalau lapen sudah lama nggak jual. Sudah nggak nge-stock,” katanya. Lik Arak, ternyata bukan peracik lapen, namun hanya sebagai penjual dan distributor saja.
“Biasanya ambil dari Klaten. Kalau dari dalam Jogja bahaya. Sepertinya, sih, industri rumahan penjualan lapen sudah nggak ada di Jogja. Semua sudah di dalam monitor pihak berwajib,” katanya.
“Mbok ya cari omben yang wajar-wajar aja, Mas,” ia tertawa melihat saya dan Angga. “Anggur? Ah, ciu saja, ya? Kalau ciu kan minuman alkohol yang dihasilkan dari fermentasi tape. Nggak usah dicampur-campur aeng-aeng,” tutup Lik Arak sekaligus menutup kekecewaan saya dan Angga.
Jualan oplosan agar dapur ngebul
Saya berhasil menemui salah satu produsen oplosan. Dan cukup menarik, si “bartender” ini masih belia. Demi kepentingan keamanan, blio hanya ingin dipanggil Mas Yop (22). “Lha mau jadi cepu po mas,” ujar Mas Yop ketika saya paksa untuk berkenan menggunakan nama asli.
Mas Yop mengawali bisnis sebagai pedagang ciu. Jika anda sangat udik dan polos, ciu adalah minuman fermentasi yang khas Bekonang. Ciu bisa berasal dari sadapan nira, buah, atau beras. Mirip dengan arak yang terkenal di Bali dan Tiongkok. Khusus untuk ciu bekonang yang kondang itu, bahan bakunya adalah tetes tebu. Mirip seperti definisi lapen ala Mas Adit tadi.
“Sudah tiga tahun mas saya jualan ciu dan oplosan,” Ungkap Mas Yop sambil menunjukkan salah satu botol lapen produksinya.
“Dulu awalnya saya coba-coba ngoplos mas. Sambil minta review dari teman-teman. Tertarik saja melihat teman-teman suka ngoplos ciu yang dibeli dari saya. Akhirnya saya dapat resep dari guru saya,” ujar Mas Yop.
Pengoplos, kata Mas Yop itu ibarat bartender. “Guru saya itu Solet orang Kasihan Bantul. Saya juga dapat resep dari Mas Parto orang Jalan Kaliurang. Kalau sudah biasa ndhem gedhen, nggak mungkin tidak kenal dua nama tadi,” ujar Mas Yop. Saya melihat sirat kebanggaan dari wajahnya.
Sekarang Mas Yop hanya melayani sistem preorder. Ia mengoplos kalau ada pesanan saja. Kalau ciu saya masih punya stock. Karena pasaran ciu lebih besar mas. Kalau oplosan itu segmented jhe,” Jawab Mas Yop.
“Sebentar mas, yang Mas Yop jual ini berarti lapen,” tanya saya kembali.
“Ya beberapa teman memang menyebut ini lapen. Tapi biasanya oplosan sih. Terserah saja lha wong tidak saya beri merek. Toh yang minum pasti tahu kalau yang meracik saya. Rasa nggak bisa bohong mas,” jawab Mas Yop.
Dari minuman energi sampai autan jadi bahan oplosan
“Kalau Mas Yop biasa mencampur apa di oplosan,” tanya saya penasaran.
“Lha tergantung mas saja, mau oplosan seperti apa. Tergantung mau level apa mas. Mau ringan, medium, apa hard sekalian. Itu kan tergantung orderannya. Kalau mau menghilangkan rasa ciu ya oplosan ringan saja. Tapi kalau ciu dirasa kurang nendang, ya monggo pesan yang hard. Tapi yang hard juga tetap enak kok mas,” ujar Mas Yop.
“Kalau ringan, ya saya campur softdrink atau beer saja mas. Buat rasa dan warna-warna saja. Kalau medium ya saya campur obat dan micin,” imbuh Mas Yop.
“Obat apa itu mas,” tanya saya.
“Kalau bukan Yarindo, ya Alprazolam,” jawab Mas Yop singkat.
Saya mencoba searching obat apa itu keduanya. “Itu pil koplo mas,” ujar Mas Yop memotong proses searching saya.
“Kalau yang hard mas,” tanya saya. Tentu telah menyiapkan diri menerima jawaban ra mashok.
“Ya kalau mau hard, mau yang nendang, saya campur spiritus mas. Kadang saya tambahkan autan atau obat nyamuk padat digerus,” jawab Mas Yop.
Menurut Mas Yop, kalau ciu dianggap kurang nendang, ya harus dicampur spiritus. Biar alkoholnya naik mas. Autan juga sama, bikin gampang mabuk. Tapi tetap saya campuri rasa-rasa mas biar ga pahit. Ciu saja sudah pahit apalagi dicampur spiritus,” jawab Mas Yop.
Dari teler berat sampai muntah darah
Mas Yop mengatakan, pengguna minumannya biasanya pada teler berat mas. Sampai nggak bisa bangun. Ada yang sampai masih mabuk sampai pagi. “Ya namanya pengen oplosan pasti cari yang langsung fly tho mas,” tegasnya Mas Yop.
Melihat ramuan yang dibuat mas Yop, saya penasaran. Apakah ada yang sampai bablas atau mati karena minum oplosan buatnya. “Wah amit-amit mas. Nggak ada yang sampai mati kok mas. Ya saya tetap kira-kira waktu bikin oplosan. Kalau mati, wah saya yang kena mas. Bisa masuk penjara mas. Paling parah teman saya ada yang muntah darah,” jawab Mas Yop.
“Hah, muntah darah,” tanya saya kaget. Mas Yop hanya mengangguk sambil menunjukkan foto temannya yang sedang jongkok di depan toilet duduk. “Tak foto mas buat lucu-lucuan. Ternyata malah muntah darah. Untung paginya sehat-sehat saja mas,” imbuh Mas Yop.
Kami meneruskan obrolan sejenak sampai Mas Yop izin undur diri. Kata blio sih mau COD ke salah satu temannya. Ekor mata saya masih menangkap Mas Yop memacu motornya dengan totebag kanvas berisi oplosan tergantung.
Ah, semoga saja pertemuan ini tidak diakhiri korban jiwa karena oplosan Mas Yop. Memang benar kata pepatah tentang alkohol, kamu enak tapi jahat.
Reporter : Gusti Aditya dan Dimas Prabu Yudianto
BACA JUGA Liputan Jogja Bawah Tanah, tema Lapen lainnya