MOJOK.CO – WC asli Indonesia adalah WC jongkok. Namun, penggunaan WC duduk yang makin massal membuat WC jongkok jadi ketinggalan zaman dan mulai disingkirkan.
Minggu lalu mampir ke sebuah mal. Saat sedang belanja ada rasa ingin buang hajat. Lalu saya mencari WC. Tiba di WC yang saya temukan ada 5 kamar kecil dengan fasilitas sama: jamban jongkok. Dengan enggan saya buang hajat di situ karena tak sanggup lagi menahan dorongan dari dalam.
Dengan bersusah payah saya membuka celana, menggantungnya di kaitan di belakang pintu, lalu jongkok buang hajat. Bersusah payah pula saya cebok, mencuci dubur saya usai buang hajat. Bagian terberatnya adalah ketika saya mencoba berdiri kembali. Kaki saya yang terlipat di bawah lutut rasanya sangat sulit untuk diluruskan kembali.
Usai buang hajat saya tersadar akan satu hal. Rasanya sudah lama benar saya tidak lagi pakai WC jongkok ini. Mungkin sudah lebih dari 10 tahun saya tidak memakainya. Lalu saya ingat saat pertama kali memakai WC duduk.
Itu terjadi sekitar masa saya baru lulus kuliah tahun 1994. Saya ke Jakarta, dan kantor-kantor di Jakarta sudah banyak yang pakai WC duduk. Pertama kali buang hajat di WC duduk rasanya sangat aneh. Duduk begitu, kedua paha saya rapat, tidak meregang seperti kalau saya jongkok. Lubang dubur saya rasanya tidak terbuka. Lama rasanya baru saya bisa mengeluarkan tinja.
Rasa aneh tidak selesai sampai di situ. Bagaimana saya akan cebok? Zaman itu WC duduk tidak disertai pembasuh seperti sekarang. Hanya tersedia kertas. Jadi dengan terpaksa saya membersihkan dubur saya dengan kertas. Rasanya tak kunjung bersih. Saya paksa dengan tekanan lebih keras untuk membersihkan, saya rasakan dubur saya perih. Pendeknya pengalaman buang hajat pertama kali di WC duduk bukanlah pengalaman yang menyenangkan.
Kalau saya ingat pengalaman buang hajat di WC duduk sekitar 25 tahun yang lalu, rasanya aneh ketika sekarang keadaannya sudah terbalik. Saya sekarang merasa sulit untuk buang hajat di WC jongkok. Ada apa ini? Apakah saya sudah demikian terbaratkan sampai ke urusan WC?
WC duduk memang budaya Barat. Waktu saya mulai belajar bahasa Jepang, saya baru tahu bahwa orang Jepang juga sama dengan kita, pakai WC jongkok. Orang Jepang bahkan membuat “pagar budaya” soal WC ini. Mereka menyebutnya “washiki toire“. “Wa” adalah ungkapan yang dipakai orang Jepang untuk menandai benda-benda yang berasal dari budaya mereka. Lawannya, yang berasal dari luar, khususnya Barat, diberi tanda “yo“.
“Washitsu” adalah bentuk kamar (khususnya di hotel) yang bergaya Jepang, yang memakai tatami, tanpa kursi-meja dan tampat tidur. Di washitu orang Jepang duduk di lantai, dan tidur di lantai juga, beralaskan kasur, yang disebut futon. Lawan atau bentuk lain dari kamar ini adalah yoshitsu, ruangan dengan kursi-meja serta tempat tidur.
Untuk makanan, orang Jepang menyebut makanan mereka seperti sashimi dan sushi sebagai washoku. Adapun makanan yang berasal dari seperti pasta, piza, steak, dan sebagainya mereka sebut yoshoku. Nah, dalam urusan WC ini pun mereka sadar betul bahwa WC duduk bukanlah budaya Jepang. Karena itu mereka menyebutnya yoshiki toire. WC asli Jepang adalah WC jongkok, yang mereka sebut washiki toire tadi.
Tiba di Jepang tahun 1997, saya menemukan hal yang serupa dengan Indonesia, yaitu adanya serbuan WC duduk. Pada bangunan yang dibangun sebelum tahun 1980-an, WC-nya masih berupa WC jongkok. Pada bangunan yang dibangun setelah itu, WC-nya berupa WC jongkok. Jepang pun saat itu sedang dalam masa transisi berubah dari budaya berak jongkok ke berak duduk.
Saya kira tidak salah kalau saya sebut WC jongkok adalah WC asli kita. WC itu sangat alami, tidak dibuat-buat. Sejak saya kecil yang saya tahu kalau mau berak itu harus jongkok. Itu saya lakukan di tengah kebun, di tepi parit kampung kami, atau sesekali di atas pohon kopi. Tak ada tempat berak di sekitar saya yang bisa saya pakai dalam keadaan duduk.
Lebih dari itu, ini pun terkait dengan soal iman juga. Ayah saya dulu selalu menegur kalau kami kencing berdiri. Kata Ayah, kencing berdiri itu cara kencing orang kafir. Kalau kencing saja tidak boleh berdiri, tentu berak pun tak boleh. Tapi apakah kalau sambil duduk itu dilarang? Nah, itu saya tak tahu, belum sempat bertanya ke Ayah.
Nah, beralih ke WC duduk itu saya kira adalah bagian dari proses pembaratan kita. Kita tadinya pakai sarung, diubah menjadi pakai celana. Kita makan pakai tangan, diubah jadi pakai sendok. Kita biasa duduk di lantai, kini duduk di kursi. Kita tidur di lantai, kini tidur di ranjang. Kini, kita pun mulai berak di WC duduk. Yang sepertinya mustahil diubah pada diri kita adalah makan nasi. Meski kita sudah dikenalkan dengan hamburger, kita tetap makan nasi setelah makan hamburger.
Kita dalam hal ini bukan hanya orang Indonesia. Seperti saya paparkan tadi, orang Jepang juga sedang mengalami hal itu. Washiki toire perlahan menghilang dari Jepang seiring dengan dirubuhkannya bangunan-bangunan tua, berganti jadi yoshiki toire. Orang Jepang juga sudah lama tidak memakai wafuku, pakaian tradisional mereka, dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memakai yofuku, pakaian Barat. Wafuku hanya dipakai dalam upacara tradisional.
Tradisi Jepang yang masih kuat bertahan, sama seperti kita, cuma makanan. Orang Jepang tetap menjadikan washoku sebagai makanan utama. Secara perlahan, washiki toire hilang. Yang tersisa tinggal toire, yang semuanya adalah yoshiki atau gaya Barat berupa WC duduk.
Rumitnya, Jepang bahkan menjadi agen gelombang invasi ini. Produsen WC dari Jepang yang kita kenal dengan merek dagang Toto justru menjadi agen yang memperkuat arus invasi WC duduk. Mereka memproduksi WC duduk besar-besaran, menjualnya untuk dipakai secara luas. Mereka tidak lagi terlalu tertarik untuk memproduksi dan memasarkan WC jongkok.
Suka atau tidak, kita memang telah dikepung dan ditaklukkan oleh budaya Barat. Bahkan saat kita buang hajat pun kita tunduk pada pengaruh budaya mereka.
BACA JUGA Kenapa Orang Jogja Dikenal Jago Navigasi? atau esai HASANUDIN ABDURAKHMAN lainnya.