MOJOK – Sekarang semua penulis bisa menjadi Tere Liye. Cukup dengan menyewa nama Tere Liye secara harfiah agar karyanya laku. Tere Liye pun akan menguasai semua toko buku, lalu Indonesia, lalu bumi. Bisa jadi Planet Bumi ini pun bakal dinamakan Bumi Tere Liye. Bumi manusia? Lewat~
Ketika Bumi Manusia hendak diangkat ke layar lebar oleh Hanung Bramantyo dengan mendapuk Iqbaal Ramadhan sebagai pemeran utama, generasi milenial sempat bertanya-tanya di sekitaran saya, “Novel Bumi Manusia karangan Tere Liye ya?”
Bagi sebagian penggemar berat Pramoedya Ananta Toer, berita tentang rencana pengangkatan novel Bumi Manusia menjadi film ini jelas mengusik nurani mereka. Lalu mereka serta-merta meragukan Iqbaal memerankan Minke. Untuk saat ini, mungkin Iqbaal sendiri hanya bisa mingkem, seraya membatin, “Kok kayak de javu ya?”
Apa sih dosa yang pernah dibuat oleh Coboy Junior pada masa lalu sehingga mendatangkan karma buruk pada masa kini? Jauh sebelum Iqbaal diragukan bisa membawakan peran sebagai Dilan, eks Coboy Junior yang lain, yakni Bastian Steel, sempat dikritik habis-habisan oleh pecinta drama Korea se-Indonesia ketika mantan pacar Chelsea Islan tersebut ditunjuk sebagai Goblin versi Indonesia. Sampai-sampai sinetronnya yang bertajuk “Malaikat Pelindung” batal tayang.
Barangkali, itu juga yang bikin eks Coboy Junior lain macam Aldi dan Kiky ketar-ketir ketika mau meniti solo karier. Kiky sempat sih coba-coba stand-up comedy di Majelis Lucu Indonesia (MLI) sebagai cameo. Sayang, karena keseringan dikira Rahmet jebolan SUCI 5, karier stand-up Kiky enggak moncer-moncer amat. Hagimana, yang kerja keras Kiky, yang terkenal Rahmet. Sedang Aldi… yah, kariernya enggak jauh-jauh amat dari kita-kita sekarang ini lah ya.
Namun, fans Iqbaal yang diberi nama SoniQ tetaplah selalu ada untuk membela sang idola. Bahkan sampai muncul petisi dukungan buat Iqbaal lho di internet. Warbiyasa ya? Hanya saja, saking semangat membela, sampai lupa baca dan akhirnya mengeluarkan komentar yang cukup viral sampai skrinsyut-nya nyebar ke mana-mana. “Lagian Pramoedya itu siapa sih? Cuman penulis baru terkenal kayaknya. Masih untung dijadiin film, dan si Iqbaal mau meranin karakternya biar laku bukunya.”
Entah mana yang lebih sakit hati mendengar itu, apakah Pram atau penggemar beratnya yang dibilang Agus Mulyadi, “lebih Pram daripada Pram itu sendiri”. Ya coba saja bayangkan, novel masterpiece Bumi Manusia dianggap layaknya karangan Tere Liye atau dibilang penulis baru terkenal oleh anak kemarin sore. Penulis sekaliber Pram yang legendaris disamakan dengan dedek-dedek penulis Wattpadlit. Padahal beda angkatannya sampai selisihnya satu abad.
Walaupun diadu dengan Tere Liye sang raja novel Indonesia, Pram jelas masih juaaaauuh lebih unggul. Oh, tentu saya tidak perlu mengorek layaknya kritikus sastra untuk membedah isi tulisan keduanya, tapi cukup dari perbandingan sederhana; bahwa Tere Liye menulis novel berjudul “Bumi”, sementara Pram menulis novel “Bumi Manusia”. Dilihat dari judul novel saja Pram bisa dibilang lebih punya sisi kemanusiaan ketimbang Tere Liye.
Pembacaan ngaco ini ternyata benar-benar terjadi. Tere Liye sudah bukan manusia lagi sekarang. Sebab Pak Bos Darwis, orang di balik nama pena Tere Liye, hendak menjadikan nama Tere Liye sebagai sebuah waralaba. Persis Indomaret. Omaigat.
Tentu hal ini cukup mengagetkan. Padahal belum selesai saya kaget dengan terbitnya novel terbaru Tere Liye. Saya ingat betul tahun kemarin dunia literasi tanah air gonjang-ganjing karena Tere Liye memutuskan berhenti menerbitkan buku karena tidak mau kena pajak yang tidak menguntungkan penulis. Terakhir saya cek laporan royalti buku saya, persenan pajak masih 15%. Potongan pajak belum berubah lha kok ini Tere Liye sudah terbitkan novel lagi?
Saya pikir apa yang dilakukannya kala itu adalah bentuk perlawanan terhadap penindasan pemerintah. Namun, kini saya hanya melihat itu sebagai trik jualan belaka. Apalagi kini Tere Liye hadir kembali tidak sendiri, melainkan membawa sebuah ide bisnis yang menjanjikan kegilaan baru. Nantinya siapa saja bisa menulis menggunakan nama Tere Liye. Hal ini sudah terang-terangan diperlihatkan di novel Pergi. Di sana, di bawah nama Tere Liye, ada nama co-author.
Tanpa perlu menjadikan nama Tere Liye sebagai waralaba saja toko buku sudah dibanjiri oleh buku-buku dengan nama Tere Liye. Jika nanti penulis baru yang ingin bukunya laku harus pakai nama Tere Liye, pada masa depan toko buku literally isinya bakalan buku Tere Liye semuanya. Kendati penulisnya beda orang, tapi namanya yang tercantum di cover sama: Tere Liye, Tere Liye, Tere Liye.
Jika premis ini diangkat menjadi serial televisi Black Mirror, penulis-penulis hidup di negara distopia. Mereka menulis untuk alasan hobi, ekonomi, atau edukasi. Agar tulisannya bisa dibaca banyak orang, mereka semua rela menggadaikan identitas. Mereka berkarya tapi tidak punya nama. Sebab semua penulis telah menjadi Tere Liye. Pada akhirnya Tere Liye menguasai bumi. Bisa jadi Planet Bumi ini pun dinamakan Bumi Tere Liye.
Jadi, Mas Hanung, berniat mau memfilmkannya juga enggak kira-kira? Judulnya sudah saya sudah usul itu: Bumi Tere Liye.
Padahal setahu saya, pekerjaan menulis adalah pekerjaan membesarkan nama sendiri. Contoh suksesnya adalah Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi. Di novel dwilogi Padang Bulan, Anda juga pasti tahu, nama Andrea Hirata dicetak lebih besar ketimbang judul novelnya sendiri. Sehingga bisa saja bikin orang salah persepsi bahwa novel tersebut berjudul “Andrea Hirata” karangan Padang Bulan.
Ini memang cara jualan yang lumrah. Ketika nama penulis kelewat terkenal, kadang-kadang judul bukunya memang malah jadi remah-remah saja sebagai pelengkap. Dan dalam beberapa buku Tere Liye, strategi ini juga diterapkan, di mana nama Tere Liye sama besarnya dengan judul buku. Hanya saja, sudah begitu juga Tere Liye belum merasa puas.
Rasanya mustahil jika Tere Liye belum tahu, kalau pada masa kini ada badan usaha bernama penerbitan. Bahkan dengan kemajuan alat cetak yang bisa cetak buku bijian, setiap orang punya peluang untuk membuat penerbit sendiri. Jadi, jika memang ingin menjual dan melestarikan nama pena yang diambil dari judul film India tersebut, bukankah beliau seharusnya mendirikan penerbit semacam Tere Liye Press atau Tere Liye Pustaka saja? Bukannya, jualan nama Tere Liye ke penulis lain?
Hal ini mau tidak mau bikin kita mengaitkan dengan pernyataan Tere Liye terdahulu: Skripsi bisa selesai dalam waktu 2 minggu saja.
Oh iya, bisa, apalagi kalau pakai co-author.