MOJOK – Seperti halnya penjual es degan yang ramai kalau masuk bulan Ramadan, banyak ustaz juga yang panen. Tugas kita sekarang untuk memilih mana yang cocok.
Selain iklan bersambung sirup Marjan, apa ciri fundamental bahwa kita telah memasuki buan Ramadan? Tentu saja jawabannya adalah iklan tausiah dan selebaran pengajian yang berlipat-lipat dari bulan-bulan sebelumnya. Media massa, angkutan daring, televisi, dan bahkan warung-warung makan berlomba-lomba masuk Islam dan menyatakan bahwa mereka juga bagian dari masyarakat yang islami.
Televisi di negeri kita berbondong-bondong masuk menjadi “mualaf”. Berlomba mempertontonkan kesalehan, menunjukkan keberpihakan, dan menjual keislaman. Tentu saja mualaf dalam konteks ini bukan mualaf yang bisa menerima zakat.
Televisi yang masuk Islam itu, min thuluil fajri ila thuluil fajri kembali berkompetisi adu program paling islami. Sedari pagi. Sejak bunyi kokok ayam masih belum tandas di telinga, televisi sudah hadir dengan acara hahahihi yang ditujukan untuk menemani santap sahur. Setelah azan subuh berkumandang, menyusul serangkaian ceramah agama dan tausiah, kuliah, atau entah apa saja istilahnya, yang jelas aktivitas itu menghadirkan ustaz yang macem-macem tabiat dan perilaku lengkap dengan atribut dan yel-yel yang aneh-aneh pula.
Watak industri memang mengerikan. Semua yang masuk ke dalam pusaran industri memaksa siapapun untuk tunduk pada hukum dan bahasa yang dimiliki. Ustaz-ustaz tersebut, tentu saja tidak semuanya, mak gedebug turun saja dari langit. Mereka dipuja, dielu-elukan, diikuti gaya hidupnya, dibaiat menjadi imam fesyen dan gaya kulinernya. Pada akhirnya ustaz-ustaz, yang mungkin niat awalnya benar-benar tulus, justru dipaksa untuk jadi selebritis karena tuntutan karier.
Puja-puji, hormat yang kelewat tinggi, selalu diminta fatwa untuk dijadikan solusi peliknya kehidupan, malah jadi bumerang yang meninabobokkan. Membuat beberapa di antaranya jadi sering offside membicarakan hal-hal yang di luar kompetensinya.
Anehnya ustaz-ustazah itulah yang selalu bisa menjawab segela jenis persoalan yang ditanyakan kepadanya dan disertai dalil pula. Gus Mus pernah mengatakan dalam sebauh pengajiannya bahwa sekarang sedang menjamur orang pintar baru.
Cirinya ada dua. Pertama, setiap berbicara menuntut adanya dalil. Kedua, selalu bisa menjawab segala jenis, corak, dan warna pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Hal yang menunjukkan bahwa sekarang semakin banyak manusia yang memiliki saldo pengetahuan seperti ensiklopedia Islam yang berjalan. Di satu sisi memang bagus, tapi sayangnya kuantitas tidak melulu menjamin kualitas kan?
Saya jadi ingat ketika menghafal nazam Tuhfatul Athfal ketika masih nyantri dulu. Sebuah nazam yang dianggit oleh Syaikh Sulaiman Al-Jamzuri yang terngiang-ngiang ketika menulis ini.
Shif dzà tsanà kam jàda syakhsun qad samà
Dum thaiyyiban zid fi tuqan dza’ dhàliman
Bait ini sepintas memang cuma mau berbicara rumus huruf ikhfa’ (itu lho yang bebarengan sama iqlab, idzhar, dan yang lain). Rangkaian huruf yang ada di depan setiap suku kata dalam nazam tersebut adalah huruf ikhfa’. Maka ketika huruf-huruf itu bertemu dengan nun mati, maka di sana terjadilah bacaan ikhfa’ atau gampangnya nun mati ketika bertemu komplotan huruf tersebut maka harus dibaca samar.
Namun, yang menarik, justru jauh di balik yang kasat dan tampak dari itu. Ada sebuah rumus bekal hidup yang ditawarkan pengarang dan ini penting serta relevan untuk konteks saat ini.
Pertama: Shif dzà tsanà kam jàda syakhsun qad samà. Secara sederhana maksudnya; ikutilah jejak dan lelaku orang-orang terpuji. Betapa banyak orang-orang yang diangkat derajatnya. Kedua: Dum thaiyyiban. Lestarikanlah berbuat baik. Lakukan yang terbaik. Ketiga: zid fi tuqan. Tambah terus kualitas ketakwaan. Dan terakhir: dza’ dhàliman. Tundukkan kezaliman.
Dari bait-bait itu kita bisa belajar bahwa ada tiga tahap yang musti kita lakukan dan bereskan terlebih dahulu dalam diri kita sebelum terburu-buru koar-koar. Pertama, bergumul dan meneladani pribadi-pribadi yang baik. Kedua, selalu berbuat baik. Ketiga, berusaha untuk selalu meningkatkan kualitas ketakwaan. Setelah itu semua rampung, barulah kita “boleh” berperang melawan kezaliman atau bahasa kekiniannya, membenarkan apa yang kelihatannya salah di sekitar kita.
Masalahnya, banyak ustaz-uzstazah hidup dan digantungkan mengawang-awang menjadi sebuah komoditi di televisi sehingga bikin mereka mau tidak mau tunduk ke pasar juga. Bikin umat harus mendongak hanya demi untuk melihat kesejatian jarak antara yang diomongkan dengan apa yang dilakukan dalam hidup keseharian. Ada jarak yang kelewat jauh. Bahkan ketika semakin dilambungkan oleh tayangan televisi, semakin berjarak pula si ustaz dari umatnya.
Saya mau mengutip apa yang disampaikan Paul Knitter, yang menyampaikan bahwa ideologi itu seperti bau napas, kita tidak akan bisa merasakan bau napas kita sampai orang lain datang dan memberi tahu kepada kita. Dan rasanya saya ingin berbisik pada antum semua bahwa sekarang, harus diakui, banyak sudah ustaz-uztazah yang tidak sengaja terindustrialisasi. Maka, dalam konteks seperti saat ini, penting untuk kita memilah dan memilih ustaz yang dijadikan sumber referensi.
Di televisi, memang tidak semua ustaz terjebak pada industrialisasi semacam itu. Yang dipaksa harus selalu tayang mengejar rating mungkin sudah sulit untuk keluar dari kungkungan tersebut hingga sulit untuk keluar dari pusarannya. Tapi yang muncul di televisi dan masih sanggup membatasi diri untuk membicarakan sesuai kompetensinya ada juga.
Ambil contoh Prof. Quraish Shihab misalnya, yang masih setia membicarakan tafsir-tafsir kitab suci yang adem dan mencerahkan. Membicarakan sesuai apa yang dikatakan, dan tidak terlalu bombastis ketika menerangkan sesuatu. Hal yang justru lebih spektakuler di mata saya daripada ustaz yang lebih memetingkan gimmick daripada isi.
Jika ternyata masih banyak ustaz yang masih terindustrialisasi dan lupa untuk menjaga sikap baik sebagai contoh, ya kita mau bagaimana lagi selain ngelus dada. Sebab jadi mauidhoh hasanah (penceramah) memang lebih gampang daripada jadi uswatun hasanah (contoh).