Yoga dan Spiritualisme Karbitan

Yoga dan Spiritualisme Karbitan

Yoga dan Spiritualisme Karbitan

Di Instagram, Sophia Latjuba beberapa kali posting foto dengan pose yoga. Hati lelaki normal mana yang tidak kinyat-kinyut melihat Mbak Sophie sedang terbalik, melingkar hadap kamera, atau kayang dengan pakaian serba ketat? Sampai-sampai otak kanan dan otak kiri saya langsung rebutan alih fungsi.

Sebenarnya, apa yang ditunjukkan Mbak Sophie itu dapat dilakukan perempuan lain. Banyak selebriti sedang terjangkit hobi pamer pose yoga terbaru di Instagram. Tetapi kalau Mbak Sophie yang melakukannya, saya bisa langsung berada dalam suasana ubudiyyah, semacam kesempurnaan penghambaan ketika sang hamba kehilangan dirinya sendiri ke dalam Kehendak Tuhan. Mbak Sophie ini seleb favorit saya sejak aqil baligh.

Baik, simpan sebentar soal Mbak Sophie. Dibahas terus malah saya ndak jadi nulis tentang yoga.

Hampir semua praktisi yoga akan mengatakan bahwa yoga adalah solusi praktis untuk menyeimbangkan dunia raga dan jiwa. Nah! Ini akan menjadi kabar gembira bagi mereka yang jomblo dan patah hati.

Yoga juga menjadi semacam pencerahan bagi manusia-manusia yang kekayaan dunianya melimpah seperti Tuan Kokok Dirgantoro. Tuan Kokok selaku CEO beberapa perusahaan terkemuka selalu dituntut untuk tampil prima, baik jiwa maupun raga. Tapi karena Tuan Kokok secara antropologis lahir di bentang wilayah kebudayaan ‘arek’, beliau lebih memilih tinju sebagai pelarian dari tekanan ribuan buruhnya. Begitu!

Yoga sudah menjadi salah satu laku spiritualitas bagi penggandrungnya. Ibarat sebuah tarekat, yoga benar-benar menjadi semacam amaliah yang bisa membawa penggandrungnya untuk senantiasa menjadi ‘ubbad al-waqi, sebuah kalangan para arif yang menyembah Tuhan setiap waktu.

Akan tetapi, yoga dan aneka hidangan neo-spiritualisme lain, seperti SQ, ESQ, Quantum bla-bla-bla, malah mengaburkan makna spiritualisme itu sendiri. Ibarat kita mencari mata air tetapi yang ditawarkan kepada kita adalah air mineral berkemasan. Tentu saja dikemas secara ekonomis dan komersial, sehingga untuk khusyuk dalam salat saja Anda harus bayar sekian juta rupiah dengan dalih investasi. Ada yang begitu, ada…  Padahal Nabi tidak pernah meminta upah apa pun dengan dalih apa pun kecuali rida Tuhan.

Jika Yoga hanya happening di Jakarta dan kota-kota besar, ya karena para jamaah-nya sudah jauh dari sumber ilahiah. Dengan dalih kesibukan yang maha, mereka berlomba-lomba mencari jalan instan untuk menggapai irfan. Mereka berduyun-duyun mendatangi tempat-tempat latihan yoga, bahkan banyak yang rela memanggil pelatih pribadi dengan merogoh kocek yang tak sedikit agar bisa menekuk-nekuk tubuh demi sebuah laku menemukan Tuhan.

Padahal, di Jakarta dan kota-kota metropolis lainnya, potensi menjalani laku spiritualitas itu sudah tersedia di banyak tempat. Jakarta adalah lautan ayat-ayat kauniyah Tuhan yang kadang tak ditemukan dalam kitab suci. Karenanya, semakin seseorang menjadi ‘orang Jakarta’, justru ia punya kesempatan untuk menyelam lebih dalam mencari mutiara, bukannya kembali mental ke asal mula pencarian.

Jika ada yang tanya, di Jakarta bagian mana bisa makna spiritualisme sejati itu? Di KRL, jawab saya.

Coba sekali-sekali Anda coba berpenyet-penyet ria di KRL saat berangkat atau pulang kerja. Tadaburi tetes-tetes keringat para pekerja kantoran yang sebagian besar usianya dihabiskan di atas suara rel kereta itu. Mereka yang terhimpit di KRL itu barangkali sedang melakukan pose yoga terbaru. Sebuah pose yang tidak pernah dirancang untuk terjadi, melainkan karena desakan naluri manusia yang ingin segera sampai di rumah agar tidak ketinggalan nonton sinetron Turki di televisi.

Saking khusyuknya beryoga, ada yang tertidur dalam posisi berdiri sambil tangan bergelantungan. Sebagian yang lain sibuk melakukan yoga jari dengan telepon genggamnya. Salah satunya saya; di antara derit suara kereta, tubuh serta hati saya senantiasa bergetar saat membuka Instagram-nya Mbak Sophia Latjuba.

Exit mobile version