Wisuda Adalah Momok Menakutkan dengan Segala Selebrasi Konyol nan Mahal untuk Mahasiswa Perantau Kantong Pas-Pasan Seperti Saya

Wisuda: Momok Menakutkan Penuh Selebrasi Konyol dan Mahal MOJOK.CO

Ilustrasi Wisuda: Momok Menakutkan Penuh Selebrasi Konyol dan Mahal. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COProsesi wisuda bukan hanya soal kebahagiaan tapi juga kemalangan bagi mahasiswa pas-pasan.

Perasaan inilah yang sedang saya rasakan saat ini. Saya adalah mahasiswa akhir yang tengah menunggu wisuda bulan depan, tepat di 14 Agustus 2025. 

Umumnya, pelaksanaan wisuda merupakan hal yang dinanti-nantikan oleh setiap mahasiswa. Sebagian dari mereka, bahkan secara berlebihan, menganggap wisuda adalah momen sakral. Sebuah puncak perjuangan panjang, katanya. 

Bagaimana tidak, mereka telah berhasil melewati serentetan ujian penuh pengorbanan. Tak hanya ujian menghadapi pertanyaan “kapan lulus”, tapi juga menghadapi revisian berkali-kali. Belum lagi ketika ujian menghadapi dospem yang suka ghosting, staff TU jutek, sampai administrasi yang ribet dan panjang. 

Oleh sebab itu, tak dapat dimungkiri, wisuda menjadi sebuah momen kebahagiaan. Dan tak ayal, jika prosesi wisuda sering dirayakan dengan euforia penuh keberhasilan. Bahkan tak jarang perayaan ini sudah berlebihan dan tentunya menguras biaya yang tak sedikit. 

Ragam gaya perayaan wisuda

Biasanya, setiap fakultas dan mahasiswa punya gaya dan tradisinya masing-masing untuk merayakan wisuda. Di beberapa fakultas misalnya, selebrasi wisuda dilaksanakan dengan cukup meriah dan unik. 

Ada yang memeriahkannya dengan nyanyian yel-yel dan iringan marching band oleh adik tingkat. Ada juga yang para wisudawannya diarak mengelilingi komplek kampus. 

Bahkan ada juga yang diarak dengan kendaraan tempur, yang diundang dari satuan Brimob. Sungguh berlebihan. Dan semua berlebihan itu merupakan selebrasi yang dimeriahkan untuk para wisudawan secara umum.

Kalau selebrasi yang dilakukan secara personal, lain cerita. Ada yang mentraktir rekan sejawat, cosplay menjadi pengantin dadakan dan rela berdiri berjam-jam untuk dimintai foto, ada juga yang rela berlama-lama menunggu dengan harap kawan dari berbagai organisasinya datang untuk sekedar memberikan selamat.

Di balik euforia wisuda yang glamor itu, ada sebuah kemalangan. Khususnya bagi mahasiswa perantau kantong pas-pasan seperti saya. 

Sejak awal menjadi mahasiswa, saya sudah bertarung menanggung kerasnya kehidupan selama di perantauan. Termasuk menanggung biaya kuliah. Maka, saat pengumuman wisuda itu terbit di laman sistem akademik, kepala saya langsung terasa pening. 

Pasalnya, sudah ada adat, tradisi, atau apalah itu sebutannya. Jadi, para wisudawan harus tampil memukau, terlebih wisudawan perempuan. 

Seperti ada standar umum jika wisudawan perempuan harus tampil sempurna dari ujung kepala hingga kaki. Harus proper, kata mereka. Tentunya harus instagramable mulai dari outfit, pose, hingga printilan lainnya. Semua itu jelas memerlukan biaya yang tak sedikit.

Rincian harga untuk sebuah pose cantik nan aesthetic

Beberapa hari lalu saya sempat berbincang dengan senior terkait persiapan wisuda. Yang dalam perbincangan tersebut, saya tidak menemui hal krusial yang wajib disiapkan wisudawan. Semua wejangannya nyaris mengarah kepada pemenuhan standar sosial. Dia menyarankan saya untuk mempersiapkannya jauh-jauh hari. “Biar ga kedandapen,” ujarnya. 

Terakhir saya cek, umumnya, harga make up wisuda di sekitaran Rp200 sampai Rp300 ribu, bahkan hingga Rp500 ribu. Tentu mahal-murahnya tergantung kualitas yang ditawarkan masing-masing MUA. 

Kalau sudah membayar mahal make up, maka ada perasaan “eman”, jika tidak dipotret oleh fotografer andal. Lagi-lagi biaya untuk mengundang jasa fotografer tidaklah murah. 

Kira-kira, per satu jam, ongkos fotografer profesional bisa tembus Rp400 ribu bahkan lebih. Belum lagi satu set pakaian atau kebaya, baik menyewa maupun beli, di sekitaran harga Rp300 sampai Rp400 ribu. Juga heels yang kurang lebih di harga Rp200 ribu. Total untuk penampilan saja kurang lebih sudah Rp1 juta.

Eits, masih belum selesai. Sebagaimana sudah menjadi bagian dari upacara wisuda, pihak kampus turut mengundang keluarga wisudawan. Jelas, kayak gini butuh biaya untuk mendatangkan keluarga. 

Setelah saya hitung, biaya perjalanan yang akan dihabiskan sekurangnya Rp2 juta. Sungguh bukan uang yang bisa saya dapatkan dalam sekejap. Maka, lengkap sudah kemalangan mahasiswa petarung tunggal seperti saya menjelang prosesi wisuda. 

Bukan sebuah keharusan, tapi tetap ada tekanan sosial 

Entah sejak kapan dan siapa yang menetapkan standar tak tertulis itu. Rasanya saya ingin memaki orang yang kali pertama membangun standar sosial tersebut. 

Apalagi, setelah saya baca ulang tata tertib pelaksanaan wisuda, saya tidak menemukan standar di atas. Mungkin itu “akal-akalan” sebagian oknum mahasiswa atau pebisnis event seperti MUA, fotografer, dan lainnya. Entah. 

Saya sadar dan yakin kalau itu semua bukan kewajiban. Setiap orang berhak memilih jalan dan gayanya tersendiri untuk merayakan wisuda. Namun, tetap saja ada tekanan sosial. Halus tapi nyata. Yang tekanan itu membuat saya (sebagai manusia pada umumnya) merenung akan hal itu.

Pasalnya, tekanan itu datang dari berbagai pihak. Misalnya, sesaat setelah saya bilang akan pakai sneakers, bukan heels, teman-teman menertawakan pilihan ini. “Ngawur! Wisuda ki pantese nganggo heels,” begitu petuah mereka. 

Kejadian sama terjadi lagi ketika saya memilih tidak menyewa jasa MUA. Saya akan mengandalkan kemampuan merias diri sendiri. Olokan itu semakin membahak. “Iki wisuda lho, udu meh dolan.”

Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi

Seorang bijak bestari pernah bilang gini: “Hidup adalah pilihan.” Cukup lama saya mempertimbangkan kalimat tersebut. Khususnya ketika terjadi ujian kepada prinsip hidup saya. 

Pilihannya ada dua. Pertama, mengikuti arus gaya wisuda pada umumnya. Konsekuensinya adalah menguras tabungan yang telah saya siapkan untuk kehidupan selanjutnya. Kedua, berpendirian teguh menciptakan gaya sendiri dengan menjadi wisudawan malang, tetapi tabungan dan dompet aman. 

Hingga pada akhirnya, setelah melewati banyak malam perenungan yang berujung ketiduran. Tentunya juga dengan menampik perasaan iri yang lebih dulu menyelinap, saya putuskan untuk memilih jalan realistis. 

Saya memilih untuk menutup mata saat wisudawan lain berpose bahagia dikelilingi keluarga. Saya juga bersedia menutup kuping rapat-rapat saat ada keluarga besar atau kawan yang berkomentar sumbang. 

Maka dengan diiringi istighfar, saya tega membohongi mamak saya. Kami berjarak 500 kilometer dan saat itu dia menelepon untuk memastikan wisuda saya. 

“Dek, mamak perlu ke sono, nggak? Teman-temanmu yang lain didampingi orang tua nggak?”

Saya menjawab dengan mantap dan lugas “Gosah ke sini, Mak. Temen-temenku yang rumahnya deket Jogja doang, yang orang tuanya dateng,” kata saya menenangkan Mamak.

Selesai sudah obrolan singkat soal wisuda. Karena tak ingin memunculkan pertanyaan lanjutan, saya buru-buru menutup telepon dengan salam dan sebaris alasan, “Ya udah, Mak, aku lanjut kerja dulu.”

Penulis: Ifana Dewi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Wisuda Hanya Sebuah Seremoni, Rayakan Secukupnya Tak Perlu Berlebihan dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version