SBY telah kembali. Lagi.
Jokowi boleh jadi online shop darling berkat payung, sarung, sepatu, atau jaket bomber-nya, tapi cuma SBY yang membuat kita selalu ingat untuk tidak lupa berdoa. Masih dengan doa di Twitter, SBY membuat #IndonesiaBerdoa berkat twit berbunyi,
“Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar ‘hoax’ berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang? *SBY*”.
Twit ini muncul kurang dari 24 jam dari peristiwa Jokowi makan dan diskusi bersama Try Sutrisno dan B.J. Habibie. Pada saat Jokowi mem-posting pertemuan itu, netizen Indonesia yang haus keributan justru mengadu kepada SBY. Kok bisa SBY tidak diundang? Gitu-gitu Pepo sepuluh tahun lo jadi presiden, sedangkan Habibie cuma dua tahun. Dengan durasi yang 1:5 begitu, tahu apa Habibie soal pemerintahan dibanding SBY?
Para tukang nyinyir menebak-nebak, kira-kira apa yang akan dilakukan sang mantan setelah peristiwa ini? Sebab, sewaktu Jokowi mengundang Prabowo makan bareng, sang mantan sibuk berpidato ngalor-ngidul sambil berkeringat dingin membela diri (yang menghasilkan hari raya baru untuk Indonesia).
Begitu cintanya netizen Indonesia kepada SBY, belum sepenuhnya lebaran kuda surut, jagat Internet kembali riuh gara-gara Jokowi lagi-lagi mengundang hampir semua ketua partai (yang dianggap) besar, tapi minus SBY. Mengapa SBY tidak diundang lagi? Apakah karena yang diundang itu hanya partai besar saja, dan Demokrat tidak dipandang partai besar? Atau ia memang hanya khusus mengundang partai bukan oposisi? Entah apa maksud Jokowi itu.
Belum lagi pertanyaan itu terjawab, sekarang SBY malah mencuit tentang hoax yang dekat sekali selisih waktu cuitannya dengan pertemuan Jokowi bersama para mantan wapres dan presiden yang masih hidup. (Ya, kecuali sang mantan tersebut).
Soal cuitan hoax tersebut, betul-betul kejam netizen kita ini. Sebagian kecil sih ada yang membela, tapi tidak ada apa-apanya dengan yang merespons negatif. Setelah dianggap sebagai orang tua yang suka ngatur-ngatur anaknya, kini SBY justru dianggap kekanak-kanakan. Seperti anak kecil yang mengadu kepada netizen karena dizalimi Jokowi, begitu.
Sebagai netizen yang dewasa dan bertekad bersama TVRI menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, saya ingin menyarankan agar kawan-kawan berhenti merundung SBY. Jangan pula kita menyebutnya Susilo Baper Yudhoyono, jangan sekali-sekali! Biar bagaimana pun beliau adalah presiden keenam kita (kedelapan kalau Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat dihitung). Sebaiknya kita prihatin ingat bahwa SBY pernah berjasa sepuluh tahun memerintah kita dengan stabil.
Sebaliknya, sudah cukup SBY prihatin dengan kita, rakyat jelata yang cuma bisa nyinyir di Internet lemah ini. Tahu apa kita soal lelah dan rasa sakit yang dialami SBY selama menjaga demokrasi di negara ini. Tahu apa kita soal betapa kerasnya SBY bekerja menyelamatkan kita dari krisis 2008 yang mengguncang dunia itu. Apakah kita pernah berpikir bagaimana jika kita ada di posisi SBY? Memerintah dua periode lewat pemilihan presiden langsung demokratis pertama di Indonesia. Dan kemudian diundang pun tidak oleh presiden yang terpilih berkat demokrasi langsung yang juga dibangun oleh SBY itu.
Pahit, saudara-saudara.
Tapi, saya tahu bahwa seruan saya mungkin cuma jadi angin lalu bagi netizen yang gairah hidupnya didasarkan pada fluktuasi konflik dan ejek-mengejek di Internet. Bila sudah demikian, saya bisa apa? Ya, mungkin saya hanya bisa berbagi tips untuk SBY agar bisa berjuang menghadapi warga Internet Indonesia yang tidak tahu balas budi.
Dalam kasus simbol politik, Jokowi ini memang cukup berbahaya. Bagai main tebak-tebakan, Jokowi mempersempit probabilitas untuk masyarakat menebak siapa yang dimaksud. Dengan bahasa tubuh dan simbol politiknya, Jokowi bagai menusuk tanpa pisau, menebas tanpa pedang. Jika Jokowi mengundang si anu dan si itu, maka yang tidak diundang itu titik-titik. Silahkan interpretasikan sendiri.
Dalam hal ini, SBY tidak bisa teriak-teriak Jokowi memfitnah atau melakukan hoax. Bagaimana mungkin? Wong Jokowi ngomong atau menuduh dengan frontal saja tidak. Dia hanya cengengesan saja. Jadi, jika SBY sampai menanggapi, mention maupun no mention, SBY justru terlihat seperti mantan yang terlalu defensif.
SBY seharusnya diam. Sebab, diam dalam politik itu nilainya platinum. Diam menunjukkan bahwa manuver Jokowi tidak ada pengaruhnya. Diam menunjukkan bahwa SBY bergeming menghadapi gosip ini itu.
Mau Jokowi cengengesan sampai koprol pun, jika SBY diam, masyarakat Indonesia yang memiliki amnesia akut ini juga akan segera lupa. Mereka akan beralih membicarakan hal remeh lainnya, seperti klakson bus atau klub malam.
Dan diam terbukti sudah menjadi trik yang sangat, sangat ampuh bagi dua figur publik lain: Megawati dan Dessy Ratnasari.
Yang tidak saya sarankan adalah stage diving menangis. Apalagi sampai membuat video seperti AwKarin. Cukuplah Ahok menjadi bapak air mata tingkat provinsi DKI Jakarta dan cukuplah Jokowi yang jadi Bapak Endorse Indonesia. Kiranya kita belum butuh Bapak Air Mata Nasional atau Bapak Endorse Indonesia Tandingan.
Demikianlah saran singkat saya. Besar harapan saya warga Internet Indonesia bisa lebih bijaksana dan tahu balas budi sehingga SBY tidak perlu mempraktikkan saran ini. Ya Allah, Tuhan YME, kabulkanlah doa ini.