Penetapan upah minimum tahun 2018 sepertinya yang paling penuh drama ketimbang yang sudah-sudah. Anies-Sandi yang dulu dielu-elukan dan disanjung setinggi langit oleh buruh pendukungnya kini dicap pembohong. Anies-Sandi ternyata sama saja dengan kepala daerah lainnya, ujung-ujungnya mengikuti PP 78/2015 dalam menetapkan upah.
Dulu buruh pendukung Anies-Sandi mati-matian memenangkan jagoannya. Mereka sampai ikut-ikutan menistakan Ahok. Puncaknya, buruh nekat membakar karangan bunga yang diperuntukkan untuk Ahok. Alasannya, bunga-bunga itu dianggap mengotori jalan dan mereka hanya membantu pemda untuk membersihkan. Entah siapa yang cukup bodoh untuk percaya alasan itu.
Sekarang buruh-buruh ini betul-betul merasa ditipu. Klimaksnya, mereka kembali mendatangi Balai Kota DKI Jakarta untuk mengutuk Anies-Sandi dengan gelar “Bapak Upah Murah”—gelar yang dulu pernah mereka sematkan kepada Jokowi.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPI) sekaligus Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal bahkan mengatakan, Ahok lebih baik daripada Anies-Sandi. Nggak salah dengar nih? Ahok yang kafir, Cina, mulutnya tidak tahu sopan santun, dan sekarang lagi dipenjara itu ternyata bisa lebih kesatria dalam soal penetapan upah minimum?
Meski Anies-Sandi sudah dicap lebih parah daripada Ahok dan dinobatkan sebagai “Bapak Upah Murah”, anehnya Said Iqbal belum juga mengeluarkan pernyataan pamungkasnya; pernyataan yang selalu keluar setiap tahunnya sejak 2012; pernyataan yang selalu membuat penguasa negeri ini menjadi kalang kabut dan ketar-ketir; pernyataan yang membuat kapitalis kelabakan; pernyataan yang masih terdengar pada pengujung 2016 lalu: apalagi kalau bukan “mogok nasional”.
Setelah tertawa terguling-guling karena melihat Said Iqbal menyobek kontrak politik, saya pun mendapatkan ilham jawaban di balik absennya Said Iqbal melontarkan kata angker mogok nasional.
Pertama, mogok nasional hanya ditujukan untuk Jokowi dan Ahok saja. Dalam hal ini, Jokowi dan Ahok patut berbangga karena diistimewakan oleh buruh KSPI. Tidak gampang untuk menjadi seorang penguasa yang menjadi langganan hadiah senjata pamungkas kaum buruh.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang punya prestasi penangguhan upah yang lebih banyak daripada Jokowi dan Ahok tak pernah dihadiahi mogok nasional. Contohnya, tahun 2014 Aher mengabulkan penangguhan upah untuk 166 perusahaan di Jawa Barat, sedangkan penangguhan upah di DKI Jakarta yang diterima hanya 16 perusahaan. Aksi-aksi ke Gedung Sate dan menggugat penangguhan upah di Pengadilan Tata Usaha (PTUN) Jawa Barat memang dilakukan, tapi tak pernah ada serangan kepada Aher secara personal, apalagi dianggap sebagai biang kerok upah murah. Semuanya salah Jokowi-Ahok.
Meski anggota KSPI kebanyakan berada di Jawa Barat, tapi sepertinya mereka lebih bersemangat demo ke Balai Kota DKI ketimbang ke Gedung Sate. Kalau disentil soal ini, jawabannya selalu: karena upah DKI adalah tolak ukur sehingga harus tinggi, agar daerah lain lebih gampang naiknya. Kayak orang nggak tahu aja kalau pimpinan teras KSPI banyak yang anggota PKS. Kalau Anies-Sandi masuk PKS, tentu drama ini tak akan terjadi.
Kedua, mogok nasional itu memang nggak gampang. Tidak segampang mulutnya Said Iqbal saat ngasih instruksi. Dalam hukum ketenagakerjaan, istilah “mogok nasional” tidak dikenal. UU Ketenagakerjaan hanya mengakui pemogokan yang sah sebagai akibat dari gagalnya perundingan yang dinyatakan deadlock oleh pengusaha dan pekerja dalam risalah perundingan. Selain itu, buruh harus melayangkan surat pemberitahuan kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dan pengusaha minimal tujuh hari sebelum pemogokan.
Jadi, mogok kerja tanpa ada masalah yang sedang dirundingkan terlebih dahulu disebut sebagai “mogok spontan”. Pada dasarnya mogok spontan dianggap ilegal oleh negara. Kalau berhenti kerja begitu saja, maka jatuhnya dianggap mangkir kerja. Lima hari berturut-turut tidak masuk kerja, dianggap mengundurkan diri.
Oleh karena payung hukumnya tidak ada, mogok nasional memerlukan militansi yang lebih besar. Risikonya besar. Kekompakan adalah kunci agar tidak mendapat hukuman sesudah pemogokan dilakukan. Jika sebagian buruh berhenti kerja sementara sebagian lainnya masih kerja, pengusaha bisa menggantikan buruh yang mogok dengan mudah. Secara, banyak pengangguran di luar sana yang ngantre untuk kerja di pabrik kendati dengan membayar jutaan rupiah kepada calo.
Persoalan lainnya, di pabrik banyak buruh kontrak yang kurang berminat mengikuti mogok nasional karena rentan dipecat. Buruh kontrak siap menjalankan produksi apabila buruh anggota serikat mogok kerja. Tidak adanya advokasi yang serius untuk buruh kontrak di tempat kerja membuat buruh dengan status kontrak merajalela. Coba aja ajak mereka mogok, paling-paling mereka jawab, “Maaf, Mas, Mbak, saya takut tidak diperpanjang, kreditan motor saya belum lunas.”
Setelah segala halangan dan rintangan, hebatnya pengurus serikat bisa menyiasati dengan mogok boong-boongan. Buruh sif 2 dan sif 3 disuruh berkumpul di depan pabrik, tapi buruh sif 1 masih kerja di dalam pabrik. Aktivis Kiri yang melihat pemandangan di depan pabrik pun terharu, revolusi sudah di depan mata!
Ketiga, buruh bosan jadi tumbal. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan buruh KSPI kalau saat mogok nasional, pabrik tempat kerja para pengurus cabang dan pengurus pusat biasanya tidak berhenti produksi.
Setelah mogok nasional jilid 2 pada 2013, Said Iqbal pernah mengumpulkan para pengurus KSPI untuk dimintai pertanggungjawaban. Surat pernyataan patuh instruksi pun disiapkan dan para pengurus disuruh tanda tangan. Tapi, apakah pabrik tempat kerja Said Iqbal sendiri pernah mogok?
Alhasil, buruh yang sudah keluar dari pabrik lain masih harus menggedor pabrik-pabrik tempat kerja para pengurus KSPI agar buruhnya keluar.
“Apaan sih ini gedor-gedor pabrik orang?!” Wajar lah, orang yang menginstruksikan kok pabrik tempat kerjanya sendiri nggak berhenti? Situ sudah ada deal-deal ya sama manajemen?
Akhirnya, drama pemogokan berakhir dengan pemecatan terhadap buruh yang patuh menjalankan instruksi pemogokan dari pimpinan organisasi. Sementara, buruh-buruh di pabrik yang masih bisa dikondisikan untuk tetap kerja, selamat. Buruh-buruh yang dipecat itu diadvokasi agar mendapatkan pesangon yang setinggi-tingginya dan tak lupa potongan dua persen untuk setoran ke serikat.