Ustaz Khalid Basalamah Salah Paham Tentang UIN dan Jogja

UIN_Jogja_LIberal_Mojok

UIN_Jogja_LIberal_Mojok

[MOJOK.CO] “Terkuak! Khalid Basalamah beberkan rahasia Universitas penganut paham liberal di Jogja”

Ada sebuah video berisikan ceramah Ustaz Khalid Basalamah yang berjudul Rahasia Univ Penganut Liberal dan Pandangan Jogja. Video tersebut diunggah beberapa bulan yang lalu. Tepatnya bulan Juli. Tidak ada keterangan waktu kapan tepatnya ceramah itu dilakukan. Artinya bisa saja Dr. Khalid bicara tentang hal tersebut jauh lebih lama dari waktu diunggah. Saya bukan penggemar Dr. Khalid, apalagi pengikut fanatiknya.Tapi ketika salah seorang dosen pascasarjana memberitahu tentang isi video itu, saya tidak bisa tinggal diam.

Dilihat dari jumlah penontonnya, video yang dimaksud baru 2000-an kali tayang. Untuk sebuah video yang sudah diunggah selama berbulan-bulan lalu, jumlah viewer termasuk sedikit. Ini berarti penonton video tersebut kemungkinan besar beredar dan ditonton oleh penggemar Ustaz Khalid sendiri. Dalam video itu beliau bicara tentang gempa yang menjadi langganan bencana di Indonesia.

Lalu, tiba-tiba ia bicara tentang kisah yang terjadi kira-kira sepuluh tahun lalu. Waktu itu, dari video yang dimaksud, Dr. Khalid masih mengajar di Makassar.  Singkat cerita, Dr. Khalid mendapat informasi dari internet dan berangkat ke Jogja untuk melanjutkan studi. Namun, karena alasan yang kurang memuaskan beliau tidak jadi melanjutkan kuliah di Jogja.

Kemudian Dr. Khalid menghubungi temannya, alumni Madinah dan sudah jadi dosen di UGM. Dari situ cerita buruk tentang UIN dan Jogja dimulai.

Temannya: “Kenapa antum datang, akhi, di Jogja?”

Dr. Khalid : “Oh, ana mau ini lanjut S3.”

Temannya: “Alhamdulillah antum ndak jadi diterima.”

Dr. Khalid: “Lho kenapa antum malah bersyukur? Ana malah penasaran pengin balik lagi besok. Kenapa ini tidak diterima.”

Temannya: “Perlu anda tahu, ane ini orang Jogja asli. Lahir di Jogja asli suku Jogja (emang ada suku Jogja?). Tidak ada UIN di Indonesia yang dikuasai liberal seperti UIN ini (Sunan Kalijaga). Sampai anak-anak di kampus itu kalau ada temennya yang solat diolok-olok: Oh kamu masih solat ya? Kasihan ya. Dan mereka kalau mau belajar tentang Nasrani dipanggil pastur dan pendeta ngajar di UIN, datang masuk. Kita ndak butuh pastur dan pendeta belajar dari ustaz sudah cukup. Alasanya mau ngambil dari sumbernya langsung. Padahal al-Qur’an tidak belajar dari ulama. Jadi ngaco semua kan ini?”

Dan beragam macam informasi menyesatkan disampaikan temannya Dr. Khalid.

Dr. Khalid: “Sampai separah itu akhi?”

Mulailah temannya Dr. Khalid menceritakan dengan lebih licin kalau Kota Jogja sudah dalam keadaan berbahaya. Ibarat penyakit Jogja itu sudah dalam keadaan sakit berat.

Pengalaman dan pengetahuan yang ada di UIN

Secara pribadi, saya agak tidak terima dengan cerita Dr. Khalid. Saya sendiri dulu mengambil kuliah jurusan Tafsir Hadis pada Strata-1 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang lanjut pascasarjana konsentrasi Studi Agama dan Resolusi Konflik dan sudah tahun kedua. Selama lebih dari 6 tahun, tidak pernah saya mengolok kawan yang sedang solat. Juga tidak pernah saya dapati mahasiswa mengucapkan kalimat: “O kamu masih solat ya? Kasihan ya.”

Paling banter, kalimat yang terucap adalah percakapan saya dan beberapa kawan teka tuwek yang isinya adalah becanda kelas cerdas: “Kalau solat aku titip ya.” Itu pun langsung disusul ke kamar mandi untuk ambil wudlu, lalu nepuk kawan untuk sholat berjamaah, karena enggan jadi imam.

Justru, mereka yang dianggap liberal (termasuk dosen) masih mendirikan shalat dluha (kalau perlu saya tunjukin deh). Mereka masih nderes Qur’an di mushala. Apalagi yang santri, mereka malah banyak yang hafal Qur’an––wong baca Qur’an dan belajar ‘Ulumul Qur’an kok dianggap liberal. Tapi apa yang disampaikan Dr. Khalid Basalamah ini––menurut saya––adalah bentuk taqul ma la ta’lamun: mengatakan apa yang tidak kamu ketahui.

Jadi ndak ada anak UIN yang mengolok-ngolok. Apa yang disampaikan oleh Dr. Khlalid melalui cerita temannya itu bohong.

Sebagai akademisi saya memiliki pandangan bahwa seorang muslim harus berpikiran luwes. Ia tidak bisa berargumen kebebasan berpikir harus terstruktur hanya berdasarkan teori barat. Jika ia sampai sampai lupa atau malah tanpa berkaca dalam tradisinya sendiri seperti ushul, kaidah, fiqh, maka jangan heran jika lama-kelamaan perilaku menyimpang dianggap lumrah.

Orang kemudian tidak akan peduli lagi dengan sejarah nenek-moyangnya. Semua begitu mudah dilupakan, semua berjalan dengan instant. Bahkan mungkin, hal yang paling tidak mungkin dilakukan pun, akan mungkin dilakukan di masa yang akan datang.

Pandangan saya ini agak mirip dengan pendapat Dr. Khalid tentang mengubah isi kitab. Bedanya saya percaya pada tradisi pemikiran yang berkembang saaat ini. Menurut saya, santri memang harus belajar ‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul Hadis, Tafsir, Ushul Fiqh, Kaidah Fiqh, dan Fiqh. Tapi santri juga harus melek teori-teori barat termasuk hermeneutika. Yang haram itu bukan hermeneutikanya. Yang ndak dibolehkan itu menempakan turats (tradisi keilmuan Islam) di belakang teori-teori Barat.

Timur punya caranya sendiri dalam menyikapi dunia: dengan ilmu yang memadai seperti ‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul Hadis, Tafsir, Ushul Fiqh, Kaidah Fiqh, dan Fiqh. Hermeneutika hanya sekadar pembanding, sebagai pisau bedah untuk memperkarya pemahaman kita terhadap al-Qur’an.

Logikanya begini. Sumber yang paling canggih pun tidak akan cukup untuk menjawab hasrat dan kebutuhan manusia. Teks terbatas. Sedang keinginan manusia terus hidup, tidak terbatas. Maka dari itu, perlu gaya untuk memahami sumber. Sumber utama dalam Islam itu al-Qur’an dan hadis. Berarti, yang diperbaharui itu bukan sumbernya, melainkan pemahaman terhadap sumber.

Apa yang diperbaharui atau ditambah itu bukan Qur’annya, tapi tafsirnya. Tafsir itu secara bahasa berarti penjelasannya dan bahasannya. Tapi terkadang, dalam Studi Qur’an dan Tafsir, seringkali dijumpai permasalahan yang dari paham Timur menemukan kebuntuan. Kemudian hermeneutik hadir sebagai trobosan. Itulah gunanya hermeneutik, sebagai pisau bedah, sebagai pembanding.

Contohnya apa? Misal saja, arti kata huruf muqatha’ah (bisa cari ayatnya). huruf muqatha’ah itu tidak bisa dipahami secara mentah-mentah, secara bulat-bulat. Ada yang berpendapat, itulah mukjizat Qur’an. Ada pula yang berpendapat, itulah bentuk ta’jiz dari Tuhan. Kemudian, hermeneutik datang dengan pemahamannya yang khas. Jelas, kan?

Lebih lanjut, untuk pastur dan pendeta yang datang ngajar di UIN, yang ditujukan itu ialah dialognya. Bukan diskusinya. Tahu kan bedanya dialog dan debat? Kalau dialog, tujuannya hanya ingin mengerti satu sama lain, menjalin persaudaraan di atas perbedaan. Tanpa tendensi. Kalau debat? Ialah ajang untuk berbicara, termasuk hebat-hebatan. Ndak mungkin dong, mau merajut benang perbedaan dengan ego masing-masing?

Terakhir, menggeneralisir bahwa banyaknya musibah dikarenakan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga banyak orang liberalnya, ini pendapat yang tidak rasional. Saya ndak habis pikir. Beneran. Di tengah gerakan santri-akademisi para penghafal al-Qur’an, para santri ahli turats yang banyak belajar di UIN Sunan Kalijaga, dianggap sebagai biang-keladi datangnya adzab Gusti Allah.

Saya malah lebih ngeh dengan analisa kawan saya yang belajar Geologi. Munculnya buangan air di Wonosari karena secara geografis Wonosari merupakan kawasan karst yang di dalamnya terdapat reservoir. Dari sisi Kulon Progo ada sesaran Gunung Ijo di daerah Menoreh yang memang mengancam terjadinya longsor sewaktu-waktu karena terdapat crack yang lurus dan sudah banyak terlihat di area Samigaluh dan Kiskendo.

Daripada menyalahkan dosen dan mahasiswa UIN karena permasalahan Ideologis, lebih fair menuding saja para setan tanah berwujud korporasi yang menganiaya rakyat Kulon Progo Selatan. Setan tanah bernama pembangunan berasas MP3EI yang begitu ambisius menekan rakyat untuk minggat dari rumah kediamannya. Mereka yang terdzalimi mengutuk orang yang tiada mau peduli pada nasib mereka. Para petingginya, menutup mata, demi proyek Puluhan Trilyun dengan mengesampingkan kelerasan warga sekitar.

Komentar tentang UIN hanya dari cerita teman yang seolah-olah paham betul tentang UIN, sama saja dengan bercerita rasanya malam pertama tapi tak pernah menikah. Bicara tentang haji tapi orangnya belum dipanggil untuk berhaji. Tukang kibul. Tinggalkeun!

Exit mobile version