MOJOK.CO – Daripada ngotot promo film fiksi “Jejak Khilafah di Nusantara”, gimana kalau bikin versi Cina aja? Jelas bakal jadi film dokumenter soalnya.
Lapor, Paduka Sutradara Yang Mulia Film Jejak Khilafah di Nusantara! Siyap salah!
Bukan hanya dilabeli sebagai “film propaganda”, film Jejak Khilafah di Nusantara dagangan kita itu juga dicap sebagai film yang tidak punya dasar historis karena tidak didukung dengan bukti-bukti sejarah yang sahih.
Begitu yang hamba pahami dari pernyataan-pernyataan Prof. Peter Carey, sejarawan hal ihwal Nusantara yang namanya telah kita catut secara semena-mena, ketika diwawancarai Detik beberapa waktu lalu.
Waaa, ini gawat. Kita akan babak belur kalau tidak melakukan serangan balik. Tapi tidak mungkin kita membantah Prof. Peter Carey karena film kita itu memang ahistoris, kan?
Karena itu, bila boleh hamba sarankan, Paduka segera banting setir menggarap film serupa yang berkaitan dengan Cina, biar kita tidak terlalu kehilangan muka.
Ini juga sebagai wujud keistikamahan kita dalam mengeksploitasi dan mengapitalisasi letupan girah keagamaan umat terhadap pemerintah komunis Cina yang belakangan diisukan menindas kaum Uighur di Xinjiang sana.
Nanti judul filmnya kita bikin bombastis semisal “Jejak Khilafah di Cina”, meski TKP-nya di Xinjiang saja, di Xinjiang selatan lebih tepatnya.
Hamba sudah terawang, film begini akan laku keras di pasaran. Tak ada gorengan isu Islam vis-à-vis Cina yang tidak laris, bahkan sekalipun gosong.
Film model begitu jelas bagus untuk meraup pundi-pundi secara lebih eksotis, ketimbang kita terus-terusan bergantung pada unjuk rasa dan aksi penggalangan dana yang entah bagaimana menyalurkannya ke umat muslim Uighur di Xinjiang.
Tentu hamba tidak sedang bercanda. Kita tidak akan pernah kekurangan literatur-literatur historis mutawatir berupa arsip-arsip pemerintah yang bisa dirujuk—baik itu di Turki, di Inggris, di Rusia, maupun di Cina sendiri—untuk menyatakan bahwa ada jejak khilafah di wilayah yang didiami muslim bersuku Uighur itu.
Hamba yakin, para Pithecanthropus Pekinginsis pembela kepentingan Cina pun tidak akan sanggup melakukan kontra narasi. Sebab, pada rentang tahun 1870-an, Xinjiang selatan yang dicaplok seseorang dari Asia Tengah, memang pernah dijadikan negara vasal Turki Ustmani yang kala itu dipimpin Sultan Abdülaziz.
Coba mari hamba ceritakan. Ringkas saja, supaya tidak terlalu mengganggu jadwal superpadat Paduka dalam mengklarifikasi mempromosikan Jejak Khilafah di Nusantara. Tapi, kalau Paduka mau versi lengkapnya, hamba siap sedia dikontak dengan segepok Türk lirası kapan saja.
Jadi begini, muslim di Cina mulai gencar melakukan pemberontakan ketika Cina masih dikuasai Dinasti Qing, wabil khusus sepanjang pemerintahan Kaisar Tongzhi (1856-1875).
Kalau Paduka ditanya kenapa muslim memberontak, bilang saja karena perlakuan diskriminatif dan restriktif penguasa Qing kepada mereka. Tak usah jabarkan latar belakang sosio-politik-ekonomi dan sengitnya rivalitas sesama muslim tapi beda sekte saat itu.
Jelas itu tidak akan menjual, soalnya. Ingat, tujuan kita satu: cuan. Bukan kayak bikin Jejak Khilafah di Nusantara yang ideologis dan fiksi tipis-tipis itu.
Menariknya, jika sekarang yang kerap memberontak ke Pemerintah Cina adalah muslim Uighur, dulu justru muslim Hui—yang kini relatif tunduk itu—yang sering dan lebih dulu menyulut perlawanan.
Muslim Hui yang rerata bermastautin di Cina barat laut semacam Shaanxi, Gansu, dan Qinghai, misalnya, serempak mengobarkan pemberontakan terhadap dinasti Qing sepanjang 1862 hingga 1873.
Sebelumnya, di bawah komando Sulaimān Du Wenxiu, muslim Hui di Yunnan, Cina selatan, memberontak dan bahkan pada 1856 berhasil mendirikan ‘kesultanan’ di Dali, Yunnan barat, dengan Du sebagai sultan yang menjuluki dirinya “qā’id jamī‘ al-muslimīn” (pemimpin seluruh muslim).
Muslim Uighur di Xinjiang pun ogah ketinggalan.
Malahan, dengan memanfaatkan kevakuman kekuasaan dan kekacauan yang ditimbulkan akibat berlarut-larutnya ‘perang seikhwan’ antara pengikut tarekat Naqsyabandiyah aliran Aktağlık yang anti-pemerintah versus Karatağlık yang pro-pemerintah, panglima perang bernama Ya’qūb Beg dari Kekhanan Kokand (Qo‘qon Xonligi), Uzbekistan, beraji mumpung menginvasi Xinjiang selatan. Dan, pada 1865, dia juga sukses membentuk pemerintahan berbasiskan Islam bernama Yättishär döläti yang berpusat di Kashgar.
Tentu, karena Ya’qūb Beg menjadi penguasa Xinjiang selatan lewat invasi dan pembantaian terhadap para habib (khoja) yang notabene pemimpin politik dan spiritual setempat, dia butuh pengakuan sekaligus bantuan dari negara luar untuk mengukuhkan legitimasinya.
Ya’qūb Beg mula-mula mendekati Rusia. Juga Inggris, lewat kemaharajaannya di India. Dua negara ini sengaja diprioritaskan karena secara geografis berdekatan atau bahkan berbatasan dengan Yättishär döläti bentukannya.
Dan lagi, dengan sama-sama merangkul dua imperialis yang saling bersitegang itu, keamanan Yättishär döläti sedikit banyak akan terjamin. Kalau Inggris memerangi Yättishär döläti, Rusia tidak akan tinggal diam karena boleh jadi itu akan dijadikan batu loncatan untuk menggempur Rusia yang memangkalkan militernya di Hami, Xinjiang utara agak ke timur.
Sebaliknya, kalau Rusia yang menyerang Yättishär döläti, Inggris tidak akan berpangku tangan juga sebab tidak menutup kemungkinan Rusia akan terus merangsek ke India yang ada di barat dayanya.
Terlebih, Inggris akhirnya tidak hanya memberikan pengakuan resmi dengan mengirimkan duta besar ke Kashgar, tetapi juga membantu Ya’qūb Beg membangun kekuatan militer meski harus kucing-kucingan dengan Rusia.
Namun, tak ada makan siang gratis. Paduka Sutradara Jejak Khilafah di Nusantara pasti tahu juga hal beginian. Jadi, Ya’qūb Beg pada 1872 dan 1874 dipaksa untuk meneken perjanjian perdagangan bebas dengan Rusia dan Inggris, sebagai barternya.
Walakin, mendapat sokongan dari Inggris dan Rusia saja tentu belum cukup untuk memperkukuh rezim Ya’qūb Beg. Dukungan dari dunia Islam sangat diperlukan, mengingat penduduk negaranya mayoritas muslim dan sebagai bentuk ‘pengakuan dosa’ kepada rakyatnya sebab dirinya telah membunuh habib-habib pemimpin mereka sebelum naik takhta.
Karena itu, setelah dibujuk kemenakannya yang mempunyai hubungan erat dengan Turki Ustmani, Ya’qūb Beg—yang awalnya tidak begitu tertarik—akhirnya mau menjadikan negaranya sebagai negara vasal Kekhalifahan Ustmaniyah.
Maka, pada Oktober 1872, Ya’qūb Beg mengutus kemenakannya yang seorang sayid itu ke Turki via India. Dia tiba di Istanbul pada Mei 1873 dan beraudiensi dengan Sultan Abdülaziz. Sultan menitipkan pedang untuk dihadiahkan kepada Ya’qūb Beg.
Ya, sejak pertengahan tahun 1873 inilah, Yättishär döläti resmi menjadi bagian dari Turki Ustmani. Ya’qūb Beg kemudian mulai memakai gelar ‘amīr’ yang dianugerahkan sultan kepadanya. Uang pun dicetak atas nama sultan. Bendera kekhalifahan (sancak) dikibarkan di Xinjiang selatan.
Itu seremonialnya. Manfaat materialnya?
Ya’qūb Beg dikirimi banyak sekali bantuan ekonomi dan militer dari kekhalifahan secara cuma-cuma. Pada masa-masa awal menjadi negara vasal kekhalifahan pada 1873 itu, misalnya, Turki Ustmani langsung menghadiahkan 1.200 senapan dan 6 meriam.
Tak heran, dua tahun berselang, Ya’qūb Beg kembali mengutus kemenakannya ke Istanbul dan, pada Mei 1875, bertemu lagi dengan sultan.
Dalam surat yang dititipkannya untuk sultan, selain berterima kasih atas bantuan-bantuan persenjataan yang dikirimkan itu, Ya’qūb Beg menyatakan harapannya agar semua negara di Asia Tengah mengikuti jejaknya untuk bergabung dengan kekhalifahan (dār al-khilāfat) agar pesatuan Islam (ittifāk-i Islām) dapat diwujudkan.
Entah itu basa-basi semata atau bukan. Yang jelas, permintaan Ya’qūb Beg agar takhtanya bisa diwariskan ke anaknya, disetujui oleh sultan.
Dan, sehabis itu, sultan lagi-lagi menghadiahkan 2.000 senapan dan 6 meriam, lengkap dengan beberapa tentara kekhalifahan yang ditugaskan untuk melatih angkatan bersenjata Yättishär döläti di Kashgar.
Paduka tenang saja, informasi-informasi itu hamba dapat dari bab 5 karya monumental Hodong Kim, Holy War in China: The Muslim Rebellion and State in Chinese Central Asia, 1864-1877.
Kim merawikannya dari arsip-arsip Turki. Hamba juga membaca dua arsip Inggris dan Turki yang diterjemahkan Xu Jianying dalam tulisannya yang dimuat jurnal China’s Borderland History and Geography Studies vol. 29 no.1, Maret 2019 silam. Kasahihannya tak patut Paduka curigai.
Sayang, tatkala serdadu dinasti Qing tengah melakukan serangan balasan untuk mengambil kembali tanahnya yang dirampas Ya’qūb Beg itu, stabilitas politik kekhalifahan sedang tidak menentu.
Sultan Abdülaziz yang sudah banyak membantu Ya’qūb Beg digantikan Murad V menjelang kematiannya pada 4 Juni 1876. Tiga bulan berkuasa, Murad V yang menderita gangguan jiwa didepak oleh Abdülhamit II.
Nahas, Ya’qūb Beg pada akhir Mei 1877 mendadak mati seiring kian mendekatnya prajurit-prajurit dinasti Qing di bawah komando Zuo Zongtang. Tambah sial, anak-anaknya rebutan jabatan.
Quli Beg, putra tertua Ya’qūb Beg, sampai-sampai membunuh adiknya, Haqq Quli, demi memuluskan suksesi kekuasaan kepadanya. Lucunya, setelah menghabisi saudaranya, Quli Beg malah kabur ke Rusia.
Walhasil, Yättishär döläti kolaps dengan sendirinya dan kekhalifahan yang kala itu memang sudah diejek sebagai ‘sick man of Europe’, tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkannya.
Lagian mau menyelamatkan gimana? Wong itu aslinya memang tanahnya Cina.
BACA JUGA Kenapa Khilafah dan Jihad Justru Penting Dipelajari di Sekolah? atau tulisan Novi Basuki lainnya.