Urgensi Memperlakukan Capres Pilihan Selayaknya Selingkuhan

MOJOK.COSupaya kehidupan kita nggak kebanyakan drama, lebih baik perlakukan capres pilihan kita selayaknya selingkuhan. Tentu keberlangsungan hidup yang damai akan menyertai.

Beberapa hari yang lalu, saya diajak ngopi oleh seorang kawan di warkop pinggir jalan. Lalu, teman saya itu melemparkan pertanyaan basi yang banyak ditanyakan orang-orang menjelang pergantian tahun ini,

“Nanti mau nyoblos siapa, Teh El?” Seperti biasa saya cuma tersenyum lalu menjawab dengan candaan yang tak kalah basi, “Urang mau golput aja, soalnya nggak ada capres orang Sunda.”

Tentu ini bukan jawaban sesungguhnya. Sebenarnya, ada alasan lain di benak saya. Tapi saya pikir ah sudahlah, buat apa juga orang lain tahu. Cukup saya, gusti Allah dan bilik suara saja yang tahu.

Padahal saya sudah punya pilihan pasti dan tidak ada niat untuk golput. Namun menurut saya, merahasiakan capres pilihan seperti selingkuhan itu lebih baik di zaman serba bully dan serba doktrin seperti sekarang.

Saya masih ingat pelajaran PPKn zaman saya SD dulu, kalau pemilu memiliki asas tersendiri, yaitu LUBER dan JurDil. LUBER merupakan singkatan dari Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Nah, poin rahasia inilah yang saya pegang dari sekarang. Kenapa?

Satu, supaya saya bisa lebih netral. Pasalnya, kita nggak bakal bisa memandang jernih suatu hal kalau kita hanya mendengar dari satu pihak saja. Ya, jangan cari tahu tentang Prabowo hanya dari pendukungnya Jokowi saja dan begitu pula sebaliknya.

Dua, di suasana yang semakin memanas ini, jika kita berbicara sedikit saja tentang salah satu capres, pasti akan diserang habis-habisan oleh pendukung capres yang satunya. Tentu saja, ini sudah tidak sehat lagi, Ferguso!

Namun, semua bully itu nggak bakal berarti kalau kita sanggup se-strong Mbak Grace Natalie ataupun Mbak Nikita Mirzani.

Lagipula, zaman sekarang susah, mau koar-koar dibilang nggak bermoral, mau diam-diam aja disangka nggak cinta Islam, lha kalau mau netral malah dicap liberal. Terus, Selena Gomez harus gimana, Aa?

Rasanya langsung pengin nelfon Radio Ardan dan request lagunya Nike Ardila yang judulnya, Mama Aku Ingin Plural!!111!!

Sesuai dengan pengalaman saya, selama obrolan tentang capres dibawa dalam meja tongkrongan, biasanya obrolan selalu berubah menjadi kurang santai. Jadi, sudahlah, kalau memang ngomongin capres justru bisa bikin kita jadi terkotak-kotak, mending jangan ngobrolin topik ini dulu sekalian.

Saya punya seorang teman, yang bisa dikatakan sebagai lelaki aktivis masa kini. Yang bagi sebagian ukhti-ukhti ia dianggap sebagai lelaki idaman. Teman saya ini, banyak memanfaatkan media sosial untuk mengutarakan keberpihakannya pada salah satu capres sekaligus menjelekkan capres lainnya. Biar apa?

Yak, bisa jadi! Mungkin dia sedang berusaha pengin mengajak follower unyu-unyunya untuk mengikuti jejaknya yang memutuskan untuk memilih pasangan capres cawapres yang baginya tampak lebih islami dan ramah terhadap kaum muslim.

Karena hal ini, pokoknya kalau saya ketemu dengan beliau, saya hanya senyum, sapa, salam, lalu mengalihkan diri dari pertanyaan, “Nanti kamu nyoblos siapa, Teh El?” dengan jawaban, “Langit hari ni cerah ya, Akhi~”

Saya hanya berusaha berhati-hati dengan, doktrin, doktrin, everywhere~

Btw, jangan berpikir kalau doktrin-doktrin manjah itu hanya terjadi jauh-jauh hari sebelum pencoblosan. Dulu, sewaktu pilkada di daerah saya pun, serangan fajar yang dulunya cuma saya temui dalam romansa Ujian Nasional, ternyata juga saya temui dalam detik-detik pencoblosan. Seorang ibu yang merupakan wanita dengan reputasi tinggi sebagai orang penting di daerah rumah saya, memberi saya wangsit isyarat nomot urut calon junjungannya.

Kalau saja, soméah atau ramah bukan standar cantiknya perempuan Sunda. Kalau saja, ibu tadi tidak punya anak lanang yang ganteng dan mapan. Mungkin saya bisa lebih leluasa untuk tidak menggubris arahannya.

Untuk menghargai usahanya yang bangun pagi-pagi, saya kasih saja isyarat, “Oke!” Namun, kalau sudah di dalam bilik suara mah, ya kumaha aing we~

Jadi, selayaknya selingkuhan yang harus kita rahasiakan dalam-dalam di ranah sosial media, begitu pula dengan capres pilihan kita. Sebab, bully, bully, everywhere~

Ngomong-ngomong soal bully, kemarin, di satu momen saya sedang membuka Twitter, mention saya jebol berkat si Mas Karjo yang tanpa Good Morning Pretty, main mention-mention aja. Tab mention saya sarat akan mention pro dan kontra mengenai tulisan saya yang dimuat hari itu. Mamam~

Saya sih cuma ketawa-ketawa aja. Pasalnya, setiap orang berhak untuk menyuarakan pendapat sebebas-bebasnya. Wong ini kan bukan Korea Utara, ya?

Saya jadi teringat perkataan salah satu guru saya, yang bilang bahwa sebuah makian itu tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Kalau kita menganggap itu sebagai sebuah paku yang kita injak, ya kita akan berdarah-darah sendirian akhirnya. Namun jika kita memandang makian itu sebagai tahi ayam yang terinjak. Palingan ya, kita cuma jalan agak jinjit sambil ketawa-ketawa sendirian.

Meski akhirnya, si Mas Pacar telfon saya dan bilang, “Aku tersinggung kamu dikatain jancuk sama orang.”

“Kamu kok diem aja disebut asu sama cowok yang nggak kamu kenal?”

“Aku nggak suka kamu dik*ntol-k*ntolin orang.”

Haes, Mas. Sudahlah. Ingat kata Gus Mus, jadilah sumur yang dalam.

Kemarin juga ada satu kawan saya yang nyaranin, “Kenapa nggak nulis soal politik atau agama aja, sih?”

Saya dalem hati bergumul, “Halah, Bangke! Ngomongin soal wota aja dikatainnya udah rame, apalagi ngomongin cebong ama kampret.”

Jadi, kalau kita berniat menyuarakan dukungan kita di ranah sosial dengan membabi buta tapi kita merasa rashanggop dikatain lebih dari itu, mending rahasiakan capres pilihan kita seperti selingkuhan dan biarkan bilik suara, alas busa dan paku bertali rafia yang tahu pilihan kita.

Ya, alangkah lebih baik, jika kita sanggup memperlakukan capres pilihan kita selayaknya selingkuhan. Yang kita puja dalam diam, kita dukung dalam kesunyian, serta kita sembunyikan untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan supaya tetap damai.

Exit mobile version