MOJOK.CO – Perkara poligami, Korpri lewat Dharma Wanita merupakan the next dari Gerwani. Puritan dalam lagu “Madu Tiga” karya Ahmad Dhani.
Mestinya, pada tahun emas Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang jatuh pada 29 November 2021, kita mendengar kabar bagus soal pegawai negeri sipil atau saat ini berganti sebutan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Kabar baik apa saja.
Misalnya, melayani tanpa muka jutek; mengucap welkam yang ikhlas tiap rakyat bertandang dan tidak ditinggal main soliter. Pendek kata, semuanya seperti standar BCA nguwongke nasabah prioritas sejak dari pos paling depan alias satpam.
Namun, yang justru muncul di layar gawai publik di tahun ke-50 Korpri adalah berita ini:
LSM Jaga Adhyaksa melaporkan Jaksa Agung ST Burhanuddin (STB) kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) terkait poligami yang menyeret Mia Amiati (MA).
Mia adalah Direktur Pengamanan Pembangunan Strategis pada Jaksa Agung Muda Intelijen (JAMIntel) Kejaksaan Agung (Kejagung).
Baca baik-baik, ya: inisial MA di sini adalah pegawai negeri bawahan, sementara inisial STB adalah atasan.
Bahwa, laporan itu sudah dicabut hanya dalam beberapa hari, tidak mengurangi bagaimana antusiasme publik mengingat satu undang-undang yang selama ini menjadi pagar api larangan pegawai negeri untuk kawin berseri.
Pada pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 diatur empat hal soal bahtera rumah tangga PNS. Intinya adalah siapa pun yang berstatus PNS atau ASN yang ingin seperti pada lirik lagu ciptaan P. Raamli dan S. Sudarmaji dan di-cover Ahmad Dhani via T.R.I.A.D, “Madu Tiga”, tidak diizinkan kecuali diizinkan oleh atasannya atau pejabat di atasnya.
Siapa “pejabat” itu?
Mari lihat pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.
Di sana, pejabat yang dimaksud adalah: (1). Menteri; 2. Jaksa Agung; 3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen; 4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; 5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I; 6. Pimpinan Bank milik Negara; 7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara; 8. Pimpinan Bank milik Daerah; dan (9). Pimpinan Badan Usaha milik Daerah.
Di sinilah ironi dan lelucon yang tidak lucu itu bekerja dalam kasus “isu poligami” paling mutakhir di Kejagung itu.
Untuk bisa berpoligami, misalnya, MA mesti mendapatkan izin dari “Sang Pejabat” yang ndilalah-nya justru bakal menjadi “madu”-nya.
aih senangnya dalam hati
kalo beristri dua
seperti dunia
ana yang punya
https://www.youtube.com/watch?v=z8CJ8p9bDzA
Menyenangkan memang. Tapi, staatsblad yang direvisi dari tahun ke tahun dan tidak pernah mengendorkan larangan poligami itu membuat semua yang “menyenangkan” itu menjadi pecah temberang.
Kita tahu, pasal belati larangan anggota Korpri ber-“Madu Tiga” ini berdesakan dengan keinginan rezim yang keluar dari pendarahan negeri untuk mengontrol suara pegawai negeri.
Sebagaimana ormas, pegawai negeri disatukan dalam satu korps tunggal bernama Korpri agar mudah membersihkannya dari “unsur-unsur yang membahayakan negara”. Tidak seperti sebelumnya, wadah pegawai diserahkan kepada masing-masing lembaga pemerintahan.
Contoh, ada lembaga pegawai bernama Musyawarah Perserikatan Buruh Indonesia (MPBI). Walau sudah dilakukan pembersihan berdarah sejak 1965, toh masih saja memperlihatkan ketidakpatuhan pada Sekber Golkar, misalnya.
Sebaliknya, Korpri (diharapkan) menjadi mesin yang membela kepentingan negara. Di sini, negara ditafsirkan secara tunggal sebagai pemerintah. Apa kata pemerintah, itu juga kata pegawai negeri sipil beserta seluruh keluarganya. Pemerintah bilang bela Golkar di pemilu, pegawai negeri tidak boleh punya pilihan lain.
Di tengah politisasi Golkar seperti inilah istri-istri pejabat dalam ikatan kedinasan yang tergabung dalam Dharma Wanita gelisah. “Madu Tiga” yang dinyanyikan Ahmad Dhani dengan suara serak-serak kenes itu semacam hantu yang terus menguntit. Mereka tidak ingin kasus Bu Fatmawati menimpa mereka. Atau, menimpa Ibu Tien suatu hari kelak jika si suami lupa diri karena kekuasaan.
Karena itulah, Dharma Wanita (DW) mendesak adanya suatu peraturan untuk melindungi posisi mereka jika badai poligami, kawin kebo, dan perceraian itu tiba. Demikianlah, Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tahun 1983 itu meluncur guna “melengkapi” UU Perkawinan 1973.
Bahkan, DW maju ke garis front dengan tangan terkepal membuka pos pengaduan kalau ada istri yang dizalimi suami. Organisasi yang berdiri pada tahun yang sama dengan peristiwa Malari ini berseru agar segera melapor kepada “cabang” DW di kantor sang suami.
Laskar antipoligami DW siap mengawal dan membela hak-hak sang istri sampai pelaku poligami dan kumpul kebo itu dipecat dengan tidak hormat.
Melihat sikap keras Dharma Wanita seperti itu, kita teringat dengan organisasi perempuan yang mengusung gerakan antipoligami dan antipoliandri di masa lalu. Yakni, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Selagi masih bernama Gerwis atau Gerakan Wanita Istri Sedar, organisasi ini sudah menyatakan diri sebagai gerakan perempuan yang memperjuangkan pembagian hak waris yang sama antara perempuan dan laki-laki, antipoligami, antipoliandri, dan promonogami. Mereka gotong isu itu sampai ke forum ibu-ibu di desa-desa.
Golnya adalah adanya UU Perkawinan yang berpihak kepada kesejahteraan perempuan. Sebab, Gerwani sangat marah melihat wanita yang terus jadi korban dalam perkawinan. Banyak wanita yang menjadi korban suami yang hobi kawin cerai; yang kepada istri tua/kanda sayang padamu/kepada istri muda/i say i love you.
Gerwani pun mengeluarkan aturan tegas. Anggota Gerwani yang mau dipoligami harus minggat dari organisasi. Bahkan, jika ada anggota PKI atau Lekra atau organ mana pun yang menjadi family ideologinya bermain api, bakal kena setrap.
Njoto yang anggota politbiro PKI dan S. Sudjojono pelukis kebanggan yang juga menjadi bagian dari Lekra merasakan cambuk api itu.
Sikap seperti Gerwani ini memang dipicu oleh usaha pemerintah lewat Kementerian Agama yang sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (UU) Perkawinan dengan membentuk Komisi Perkawinan pada 1950.
Dalam RUU ini disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas dasar suka sama suka atau tak ada paksaan, serta poligami diizinkan dengan persyaratan yang ketat.
Polemik meledak saat kertas RUU itu diletakkan di meja parlemen. Terutama, soal poligami diizinkan dengan persyaratan yang ketat. Buntu.
Pemerintah kemudian diam-diam menginjak gas lain dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 19 tahun 1952, yang isinya, astaghfirullah, justru memberi tunjangan dua kali lipat bagi para pensiunan yang punya dua istri.
Di tengah masyarakat terjadi pembelahan. Perwari atau Persatuan Wanita Republik Indonesia yang berisi antara lain Muslimat NU, Aisyiyah, Wanita Katolik, Pemuda Putri Indonesia, dan Wanita Taman Siswa terguncang. Ada yang pro, ada pula yang kontra.
Anggota Perwari yang kontra inilah pada 17 Desember 1953 turun ke jalan menuntut pencabutan Keppres dan pengesahan UU Perkawinan secepatnya.
Kita tahu, UU Perkawinan itu baru disahkan dua dekade kemudian. Selain mendefinisikan suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, UU ini juga menjadi pintu masuk mengutuk semua anggota Korpri atau seluruh pegawai negeri sipil yang berani berpoligami.
Jadi, “isu poligami” yang tiba-tiba pasang dari “gedung bundar” saat Korpri berusia 50 tahun itu sesungguhnya isu purba. Bahkan, isu ini sudah muncul sejak Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.
Hal itu dipicu pidato Sitti Moendjijah yang menjadi perwakilan Aisyiyah yang secara terus-terang mendukung poligami. Seisi kongres pun resah. Perdebatan hebat meledak. Hanya perjuangan pembebasan kolonial yang kemudian menjadikan isu ini menjadi “api dalam sekam”.
Kita tahu, kini Aisyiyah sudah melunak. Moderat. Terutama, saat Sidang Tanwir II yang digelar di Yogyakarta pada 17—18 November 2019. Mereka memang tidak melarang poligami, tetapi mencoba “mempersempit peluang untuk berpoligami di Muhammadiyah”.
Hal itu sejalan dengan pandangan Buya Hamka yang nyaris klasik yang dikutip di bagian awal. Poligami dipandang Aisyiyah bertentangan dengan tema pemberdayaan dan kesetaraan serta bukan prinsip utama pembentukan keluarga sakinah.
Jadi, dalam soal poligami, Korpri lewat Dharma Wanita merupakan the next dari Gerwani. Puritan dalam lagu “Madu Tiga” karya Ahmad Dhani.
Sepanjang karier sebagai abdi negara yang menjunjung lima sumpah Korpri tentang etos, loyalitas, kejujuran, adil, disiplin, profesional, sampai kiamat pun para ambtenaar, para pegawai negeri, para aparatur sipil negara ini tidak pernah (berani dan terang-terangan) memasukkan lagu “Madu Tiga”-nya Ahmad Dhani dalam playlist komputer kerja mereka.
Lagu “Madu Tiga”, apa boleh buat, mirip suara hantu Gerwani yang bakal terus membuntuti dan mencekik mati karier yang sudah setengah mati dikejar selama ini dengan belasan tahun sekolah.
Selamat Hari Korpri ke-50. Itu.
BACA JUGA Inilah Makna Tersembunyi di Balik Logo Korpri-Abdi Negara dan tulisan Muhidin M. Dahlan lainnya.