“Kodok di Surapati dipindah ke Istana. Supaya kalau malam ada suara kodok. Kwang-kwong, kwang-kwong, kwang-kwong. Kan enak, jadinya fresh otaknya. Masa tiap hari dengarnya sepeda motor, bus, mobil” – Presiden RI Joko Widodo
Hidup memang tak selalu tampak seperti diharapkan. Kita berharap presiden Indonesia yang tampil terkini punya sosok yang gagah, tapi semesta politik menyerahkan sosok Joko Widodo. Tinggi, kurus, seperti kebanyakan tukang-tukang kayu dan bangunan di sekitar kita.
Begitu pula kita barangkali bermimpi kalau bisa Presiden RI itu serigala mimbar: suaranya lantang, stok kosakata Inggris-Indonesianya di atas rata-rata, dan artikulasi setiap kata diucapkannya mantap. Tapi yang diberikan sistem demokrasi yang kita hormati bersama adalah seorang yang lebih memilih banyak kerja, kerja, kerja ketimbang berpidato di depan massa atau sibuk gelar rapat ini dan itu.
Demikian pula kita barangkali menyimpan ekspektasi yang demikian besar bahwa berita yang selalu diproduksi dari Istana Negara adalah kabar-kabar gagah seperti Presiden memiliki kuda-kuda nomor satu dengan perawatan terbaik yang bila menaikinya tampak si joki gagah betul.
Namun yang muncul justru yang tak pernah disangka-sangka, hewan peliharaan sang presiden adalah kodok.
Terungkapnya kodok sebagai hewan klangenan ini adalah sejatinya prestasi tersendiri dalam sejarah hewan peliharaan presiden. Betapa tidak, jika Anda sejarawan muda, Anda bisa cepat tua hanya untuk tahu lewat dokumen-dokumen dan/atau klipingan lusuh koran: apa hewan klangenan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, dan bahkan Presiden SBY yang baru saja berangkat memunggungi Istana Merdeka.
Kalaupun diketahui apa klangenan presiden, informasi yang ada masih tampak sumir. Klangenan Presiden Soeharto, misalnya, hanya bisa diketahui lewat foto-foto beredar dan buku-buku yang sifatnya incognita, saat ia dengan senyum kebapakan memamerkan ikan yang berhasil dipancingnya.
Buku di luar biografi resminya menyebutkan, ikan adalah hewan klangenan Pak Harto dan memancing adalah rekreasi yang meluruhkan penatnya; walau di foto itu muncul caption sumir: ada sejumlah marinir bawah laut yang mengaitkan ikan di mata pancing Pak Harto, yang membuat Menteri Penerangan Harmoko mesti berkeringat meluruskannya di jumpa pers.
Beda dengan Presiden Jokowi ini. Hewan peliharaan Jokowi adalah kodok. Itu sudah pasti. Walau berita yang ditulis jurnalis-jurnalis daring itu tak lebih dari empat paragraf. Tanpa kodok, hidup sebagai wong ndeso tidaklah lengkap. Begitulah kira-kira quote yang menjadi penarik musabab bagaimana kemudian kodok-kodok itu mengikuti dengan ikhlas dan setepat-tepatnya rute perjalanan saat didatangkan dari Solo, diinapkan di Taman Suropati dua tahun, lalu kini dipindah ke Istana Negara menemani patung-patung cantik koleksi milik Soekarno.
Berita itu, sehebat-hebatnya para juru pembawa citra memoles dan mendandaninya, ya mentok, kodok adalah kodok. Dan kodok, kemudian menjadi amunisi yang tak terhingga bagi pencinta Presiden Jokowi, yang menyalurkan kecintaannya pada penjual mebel itu dengan cara-berbeda-dan-lain-sama-sekali, untuk mengodokkan Jokowi.
Jokowi, seperti biasa acuh tak acuh saja dengan olok-olok kodok itu. Saya juga tak kaget. Seperti halnya saya kemudian realistis setelah tahu bertahun-tahun silam bahwa mantan vokalis band punk yang sangar dan gahar di Jakarta, MARJINAL, ternyata memiliki hewan peliharaan: keong. Ya, keong. Suatu hari, keongnya hilang. Sang vokalis pelantun lagu cadas “Hukum Rimba”, “Predator”, dan “Bagimu Ngeri” itu sedih sekali, dan beberapa jam kemudian sumringah kembali setelah ia menemukan keongnya berjalan ke pinggiran sungai. Ia elus-elus keong itu seperti anak-anak mengelus-elus mainan terbaik yang pernah mengendalikan saraf kenangan.
Tentu Anda tak berharap para jurnalis yang marah-marah karena tak leluasa lagi jalan-jalan di hari ke-3 Jokowi tinggal di Istana Negara, karena dikhawatirkan memergoki Jokowi sedang mengelus-elus kodok-kodok kesayangannya. Kalau itu yang terjadi, kodok menjadi peluru-peluru yang tak ada habisnya yang dipakai menghantam zaken kabinet Presiden Jokowi seperti dalam game zombie.
Bayangkan saja bagaimana cekikikannya pencinta-Presiden-Jokowi-dari-sudut-yang-sama-sekali-berbeda apabila membuka lagi pidato di hadapan parlemen pertama via video YouTube di mana sang presiden berteriak untuk jangan punggungi laut, saatnya bertolak ke laut, dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain. Sementara hewan peliharaannya adalah kodok. Tak ada suara “kwang-kwong, kwang-kwong” dari kodok, tak ada rasa sesap yang tumbuh di jiwa dalam kota gila macam Jakarta.
Tentu saja itu bukan pernyataan seorang yang mendaku diri sebagai nakhoda maritim dan eksekutor nomor wahid yang menjadikan Kementerian Maritim sebagai salah satu menko andalan dan jantung zaken kabinet. Mestinya, penenang jiwa seorang presiden adalah burung-burung camar, lidah ombak yang membanting-banting diri di karang, desis lumba-lumba. Atau kalau nggak bunyi-bunyian modern, seperti cabikan-cabikan gitar Leo Kristi saat menyanyikan “Gulagalugu Suara Nelayan” dan “Lenggak-Lenggok Badai Lautku”. Ayo, vose sakaya, mangge!
Tapi seperti biasanya, Presiden Jokowi tampak tenang-tenang saja bersama kodok-kodoknya. Dan menurut saya, keantengan Presiden Jokowi dengan kodok-kodoknya adalah sikap perlawanan. Lho, kok kodok menjadi dalih sebuah perlawanan. Memangnya, ada revolusi kodok dalam postur revolusi mental?
Saya beri tahu ya, kodok adalah salah satu hewan paling nahas hidupnya dalam sejarah kebijakan publik di Indonesia. Miriplah nasib mereka yang dituding komunis di negeri Pancasila: diburu, diwacanakan, dan nasibnya diombang-ambingkan.
Tentu masih segar di ingatan, bagaimana sepanjang tahun 1983 hingga 1984, kodok menjadi pesakitan yang posisinya diperdebatkan dalam kehidupan manusia, dan vonis nasibnya ditentukan oleh Majelis Ulama Indonesia apakah kehadirannya halal atau haram. Kalender saat kodok diperbincangkan dan dicela-cela itu bersamaan dengan serdadu royal pimpinan L.B. Moerdani menghamburkan peluru kepada umat Islam di Tanjung Priok. Makin serem kan.
Dan, pada 18 Shafar 1405 H atau 12 November 1984 M, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan keputusan penting soal kodok dengan bersandar pada Quran surat al-An’am ayat 145, al-Mai’dah ayat 96, Al-A’raf, ayat 157 dan sejumlah kaidah fikih. Kodok HARAM dikonsumsi. Sejak itu paras dan nama kodok mengalami pemajalan sejak dari nama.
Kulit kodok yang bertutul hijau itu seperti tutulan kutukan. Miriplah dengan cap “Ex” di KTP para tapol. Dijauhi seperti nasib si penderita pes atau AIDS.
Kehidupan kodok pasca-palu vonis itu kemudian terlunta-lunta. Ia hanya mengandalkan naluri tanpa pembelaan untuk melanjutkan kehidupannya. Ia boleh hidup, tapi haram dikonsumsi. Ya, 12-13 dengan dengan babi yang sejak dekade-dekade awal hijriah sudah dicegat dekat dengan elusan lembut tangan-tangan keluarga seorang muslim yang saleh dan taat.
Nah, bersamaan dengan kembalinya kepemimpinan massa yang direpresentasikan Presiden Jokowi, rupanya bukan hanya profesi tukang kayu yang mengalami naik pasang, melainkan juga nasib dan citra kodok mengalami perbaikan yang signifikan. Mestinya begitu. Paling tidak kodok kembali menjadi judul berita jurnalis Jakarta.
Tahun 1984 hingga 2014 bukan tahun-tahun yang pendek untuk sebuah penantian memperbaiki citra sebagai hewan klangenan. Tiap limpahan air datang, yang bisa dilakukan warga kodok adalah raungan derita berjamaah tiap malam hingga terang tanah tiba.
Bukannya usaha pembelaan yang sama kepada kodok seperti yang dilakukan Presiden Jokowi itu tak ada sama sekali di masyarakat akar rumput. Di kampung yang masyarakatnya hidup asri di areal Perkebunan Teh di Desa Kemuning, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah, ada sekelompok anak muda yang bermain-main dalam bahaya laten kodok itu. Bukan hanya bermain-main, bahkan mereka menjadikan kodok sebagai bagian dari napas kreativitas mereka.
Frog House atau Omah Kodok yang berada di Jalan Raya Candi Cetho, demikian mereka mengidentifikasi diri, ingin memuliakan sifat-sifat kodok yang kadung dianggap sebagai ancaman laten. Bahkan, usaha-usaha melek media dan baca buku yang mulia, mereka namakan kodok moco-moco.
Dengan berani mereka mengeluarkan manifesto, Trisakti Kodok: (1) karena kodok mewakili sifat-sifat satwa yang mudah beradaptasi dengan lingkungan, maka kami putuskan Omah Kodok sebagai mimpi kami; (2) mimpi tentang masyarakat desa yang bisa mengelola potensi lokal menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, sembari terus menjaga kelestarian lingkungan sekitar; (3) tetap teguh berpegang pada prinsip lokal-sehat-ramah lingkungan.
Walau demikian, walau kita sudah berada di alam demokrasi liberal, kodok masih kudu bersabar untuk mendapatkan citra baik secara penuh, sebagaimana nasib warga yang memiliki ikatan primordial dengan komunisme di masa silam.
Sistem berpolitik memang sudah berubah, tapi kultur kebencian pada kelas kodok dan warga komunis belum pernah benar-benar menguap. Tak ada jaminan apa pun atas perbaikan nasib kodok, walau Presiden sudah terang-terangan memberikan dukungan. Kultur kebencian dan olok-olok, serta gempuran meme tak pernah bisa diredam oleh Trisakti Kodok.
Oleh karena itu, kultur kebencian dan perendahan martabat kodok oleh dunia manusia inilah yang menjadi tantangan berat dari tugas pertama yang mesti diselesaikan di 100 Hari Pertama kerja Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani.
Jika Ibu Menko Puan Maharani tak tahu juga langkah apa yang dilakukan soal pemartabatan kodok, saya usulkan berlatih tiap malam dengan dekatkan wajah di kolam Istana Negara. Atau jika tidak bisa, segera turba ke Omah Kodok di Karanganyar. Kwang-kwong, kwang-kwong, kwang-kwong!
Post-Script: Bersamaan dengan publikasi tulisan ini di mojok.co, kabar buruk datang dari Istana Negara: semua kodok Jokowi sudah mati bahkan sejak dari Suropati. Sementara kodok-kodok itu telah meninggalkan kita, Ibu Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani masih bingung rundown tugasnya apa, kantornya di mana, staf-stafnya yang mana saja.