Tuan Fadli Zon, Jadi Teroris Itu Tidak Gampang

MOJOK.CODi tengah duka atas serangan teroris, Fadli Zon mengeluarkan teori tentang mengapa seseorang jadi teroris. Mari kita cek klaimnya satu-satu.

Kita semua sedang mengunyah apa yang terjadi di Surabaya. Ketika mengetik ini kemarin, saya kembali mendengar serangan. Kali ini sasarannya Polrestabes Surabaya. Rupanya, medan perang Suriah sudah dipindahkan ke Indonesia.

Banyak orang masih tergagap dengan apa yang terjadi. Bagaimana memahami satu keluarga melakukan bunuh diri sambil membunuh orang lain, yang tidak dia kenal, dan tidak pernah memusuhinya?

Orang juga mulai menawarkan teori ini dan itu tentang terorisme ini. Namun, ada satu spesies yang selalu menarik perhatian saya. Mereka adalah para politisi. Saya selalu tertarik dengan bagaimana cara politisi menanggapi tragedi. Biasanya tanggapan mereka selalu mengacu pada kepentingan mereka.

Kebetulan politisi favorit saya Tuan Fadli Zon (catatan: favorit lain saya adalah Tuan Fahri Hamzah). Saya tertarik dengan Tuan Fadli Zon karena beberapa hal. Untuk saya, Tuan Fadli Zon adalah politisi paling konsisten. Sejak Orde Baru masih berjaya dia sudah bersama Mr. Prabs, yang sekarang jadi bos partainya.

Nah, segera setelah terjadi ledakan bom, Tuan Fadli Zon menulis di akun Twitter-nya. Dia mengutuki serangan teroris itu. Sampai di sini, okelah. Sudah sewajarnya dia mengutuk. Kemudian datang tweet kedua. “Terorisme biasanya bkembang di negara yg lemah pemimpinnya, mudah diintervensi, byk kemiskinan n ketimpangan dan ketidakadilan yg nyata,” begitu tulis Tuan Fadli.

Tidak perlu jauh-jauh untuk tahu ke mana arah smash yang Tuan Fadli lancarkan. Saya membayangkan dia menuliskannya dengan senyum di bibirnya yang tebal dan matanya yang bulat berbinar. Kita tahulah siapa yang ia tunjuk sebagai pemimpin lemah. Politisi memang pintar membikin zinger (smash politik yang bisa berupa lelucon atau metafora).

Tapi, benarkah semua poin yang disampaikan Tuan Fadli Zon itu?

Pertama, soal pemimpin. Kita tahu situasi di Afghanistan jelek sekali. Juga di Pakistan, Irak, Suriah, Libya. Terorisme subur di negara-negara ini. Negara-negara ini sedang dilanda perang. Jadi, kita maklum kalau mereka tidak memiliki kepemimpinan. Tapi, terorisme juga terjadi di Prancis, Inggris, Spanyol, atau negara-negara Skandinavia. Di semua negara ini, ada kepemimpinan yang kuat. Jadi? Ya, tidak bisa dikatakan bahwa terorisme berkembang di negara yang pemimpinnya lemah.

Pemimpin di negara-negara ini juga tidak mudah diintervensi. Walau sesungguhnya kita tidak tahu apa makna intervensi dari Tuan fadli Zon ini. Mungkin maksudnya dikendalikan. Tapi, ya, masak sih PM Inggris dikendalikan oleh kekuatan luar?

Bagaimana dengan poin “byk kemiskinan n ketimpangan dan ketidakadilan yg nyata”? Nah, ini yang lebih penting untuk dibahas. Benarkah kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan melahirkan terorisme?

Kita bisa mulai dari sini: Sebagian paling besar orang miskin tidak ingin menjadi teroris.

Tidak semua orang yang tidak bisa makan jadi teroris. Kebanyakan orang akan bekerja sebisanya supaya bisa hidup. Mereka akan mengerjakan apa saja. Bahkan mereka yang paling miskin sekalipun bekerja mencari makan. Kalau hidup seseorang kepepet sekali, mereka tidak akan menjadi radikal. Yang pertama mereka lakukan adalah bagaimana supaya selamat. Bahasa Jawa punya peristilahan yang bagus bagaimana orang menghadapi penderitaan: ngalah, ngalih, ngamuk. Mengalah, menyingkir, mengamuk.

Taruhlah misalnya kesulitan makan. Kalau orang bisa menahan lapar, ya dia tahan sebisanya. Kalau sudah lapar sekali, dia berusaha cari gantinya. Dari biasa makan nasi ke makan singkong, atau bahkan makan nasi aking (nasi basi yang dikeringkan dan kemudian dimasak lagi). Hanya pada tahap terakhir orang ngamuk – dalam hal ini, yang paling sering dilakukan adalah menjadi kriminal. Yang dikriminalkan pun kecil-kecilan kayak maling ayam.

Poinnya adalah sangat, sangat sedikit orang memilih untuk menjadi teroris. Apalagi orang miskin. Orang kebanyakan tidak sanggup menjadi teroris. Kebanyakan orang ingin hidup yang lebih gampang. Hidup senang dan tenang. Kebanyakan orang pengin hidup. Tidak ingin mati.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa menjadi teroris itu tidak gampang. Sulit sekali. Menjadi teroris itu pilihan ideologis. Jadi, sekali lagi, orang menjadi teroris bukan karena dia miskin. Kebanyakan orang yang memilih menjadi teroris hidup berkecukupan. Mungkin tidak mewah, tapi cukup. Mereka punya keterampilan untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Teroris yang mati di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo jualan kue. Banyak dari mereka yang jualan obat herbal (misalnya, jinten hitam) atau madu.

Mereka juga bukan orang bodoh. Mereka berketerampilan. Mereka bisa merakit bom. Perlu keahlian teknis dan kimiawi untuk melakukan ini. Mereka juga fasih menggunakan internet dan semua media komunikasi. Ketrampilan seperti ini tidak dimiliki orang kebanyakan, bukan?

Menjadi teroris itu berat. Anda harus taat. Anda harus membuang semua pikiran di luar tujuan. Anda harus hidup dengan aturan perjuangan (agama) yang sangat ketat. Anda harus sangat berdisiplin karena berada dalam keadaan “perang”. Untuk bisa begitu, Anda harus terus-menerus hidup dengan tingkat kebencian yang teramat tinggi pada apa saja yang Anda anggap musuh. Sedikit saja orang yang sanggup hidup dalam kebencian terus-menerus.

Setiap orang adalah makhluk sosial. Itu sebabnya orang ingin diterima di masyarakat. Ingin bergaul, bercanda, dicintai, dan mencintai. Kebanyakan teroris harus menekan perasaaan itu. Kebanyakan teroris tidak mau bergaul dengan masyarakat, yang dianggapnya kotor dan perlu dibersihkan.

Tidak gampang hidup seperti itu. Jadi, dalam hal ini pun Tuan Fadli salah sama sekali. Tapi, sudahlah. Tuan Fadli adalah politisi, bukan peneliti atau akademisi. Keterampilan politisi adalah bicara meyakinkan. Banyak politisi memilih untuk meyakinkan dengan cara menyesatkan. Orang belum lupa kok, Tuan Fadli pernah ber-selfie ria dengan Mr. Donald, presiden Amerika yang paling banyak membohongi publik itu.

Exit mobile version