MOJOK.CO – Ya, di Jogja, situasi angkutan umum macam Trans Jogja ini terancam tak lebih sekadar hobi. Yang menaikinya adalah mereka yang coba-coba dan bosan saja naik ojol atau motor/mobil sendiri.
Jogja boleh menepuk dada karena “memenangkan” Perang Revolusi melawan Belanda saat masih menjadi ibu kota (sementara) Republik. Namun, tidak dalam pertarungan transportasi di sebuah revolusi yang, sebut saja, Revolusi Leasing.
Revolusi Leasing yang dikibarkan pertama kali dari atas menara agung ASTRA itu menjadikan semua orang dengan mudah memiliki turangga besi pribadi. Sebelum Revolusi Leasing itu meletus, motor dan mobil identik dengan keluarga berada. Ia menjadi simbol kelas. Priyayi baru. The new ndoro.
Kini, Revolusi Leasing perlahan membunuh Trans Jogja dan mengubah segalanya. Termasuk gaya hidup.
Revolusi dianggap sukses jika bisa sekaligus menggilas habis kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru. Dulu, kalau ke warung atau hendak beribadah ke masjid yang jaraknya dua kelokan gang dengan enteng bisa dilakoni dengan jalan kaki. Sekarang, saat Revolusi Leasing memenangkan perang darat di segala lini, ke mulut gang saja mesti mengambil kunci motor. Dan, nguenggg.
Secara ringkas, Revolusi Leasing yang dikibarkan kamerad-kamerad marketing dari kapitalisma turangga Nippon itu sebetulnya “sederhana” belaka. Tapi, justru yang sederhana itu tidak bisa ditangkap dengan baik oleh mereka yang merancang tata kelola angkutan umum, termasuk perancang Trans Jogja, setelah generasi Kopata disuntik mati.
Revolusi Leasing nggak datang dengan moto “vini, vidi, vici” melainkan mazhab “mudah, murah, nyaman”. Dengan jumlah frontman yang melimpah, ramah seperti karyawan dan satpam BCA, dan tentu saja progresif di bawah tekanan target, mereka berdakwah. Model pemasarannya macam-macam, tapi berada dalam satu nilai dasar: “mudah, murah, nyaman” atau izinkan saya membuat singkat jadi: muaaaman.
Berangkat dari muaaaman itulah, nyaris tak satu pun keluarga di Jogja, barangkali pula di seluruh Indonesia, yang tidak punya turangga bermesin. Paling tidak, motor. Terkadang, bukan lagi hanya satu, melainkan dua sampai tiga di garasi atau ruang tamu. Tergantung jumlah anak. Satu anak, satu motor.
Bahwa, “murah” yang tidak murah itu sesungguhnya bernama utang, karena didakwahkan dengan persuasif hasil training berbulan-bulan, semuanya menjadi “nyaman”.
Betapa semringahnya keluarga, apa yang selama ini mereka idam-idamkan yang mungkin mustahal mereka dapatkan dengan gaji UMR (Upah Mustadh’afin Regional), kini bisa digenggam dengan sangat mudah, murah, dan tentu saja nyaman. Muaaaman. Nggak perlu susah payah jalan kaki menuju halte tak terawat untuk Trans Jogja.
Bayangkan, tanpa motor sendiri, tanpa mobil sendiri, betapa sengsaranya kaum miskin ini melakukan mobilitas. Mereka harus saling sikut dalam transportasi umum yang disediakan dan dikelola pemerintah dengan asal-asalan dan brengsek. Bahwa, yang berhak atas transportasi nyaman, privat, dan efisien dalam segala hal hanyalah orang kaya, pegawai negeri, para ndoro yang punya jaminan kertas emas bernama “SK” dan “SHM” di hadapan bank dan dealer turangga.
Psikologi macam ini dipelajari betul oleh ASTRA dan, revolusi pun diletuskan: REVOLUSI LEASING. Ini bukan sekadar soal akad utang, bukan pula sekadar marketing. Ini adalah revolusi otomotif yang merombak cara orang bertransportasi.
Tatanan lama yang bobrok dan brengsek yang dihancurkannya pertama kali adalah transportasi umum, khususnya Trans Jogja. Warga mulai ogah naik transportasi umum walau para aktivis berdakwah nggak habis-habis tentang ini dan itu. Sebelum mereka punya turangga masing-masing di rumahnya, mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain terpaksa naik angkutan umum karena tidak ada pilihan lain.
Dishub dan pemikir-pemikir sewaannya sepertinya menganggap bahwa ogahnya warga kota memakai angkutan umum untuk beraktivitas sehari-hari lantaran moda darat saat ini tidak nyaman, sumpek, disopiri secara ugal-ugalan.
Transportasi baru bernama Trans Jogja itu menawarkan kenyamanan dengan membunuh semua yang lama, mengandangkan legenda-legenda tua macam Kopata. Kabin yang dingin, wangi, dan disopiri secara lebih tidak ugal-ugalan adalah buah dengan cita-cita mulia: saat warga kota menggunakan angkutan umum, kepadatan jalan raya bisa ditekan.
Keliru besar. Mereka lupa, kebudayaan-berjalan-secara-kolektif sejatinya perlahan dibunuh oleh Revolusi Leasing. Bukan hanya yang tidak punya turangga di rumahnya dibikin malu dan tertekan oleh lingkungan sosial, tetapi telapak dan urat kaki hasil dari Revolusi Leasing tidak lagi seperti hayalan-hayalan para pengerek bendera ekologi dan tata kota yang manusiawi. Kaki-kaki mereka bukan lagi diperuntukkan untuk berjalan jauh lebih dari satu kilometer untuk beraktivitas, melainkan menapak diam di atas mesin.
Dari sisi ekonomi, Revolusi Leasing jelas membikin ASTRA ($ASII) dan para pengekornya kaya-raya. Bukan saja, karena produksi turangga mereka terserap, tetapi perusahaan spareparts mereka mendulang laba bersih yang besar setiap kuartal. Kalian kira, ganti bagian ini dan bagian itu dari turangga besi yang berada di bawah ASTRA itu belinya di mana kalau bukan toko-toko kelontong dari anak perusahaannya sendiri bernama PT Astra Otoparts Tbk. ($AUTO).
Di sisi budaya, warga kota bisa melakukan mobilitas dengan sangat cepat dan “efisen”. Jika ke kantor bisa hanya 30 menit perjalanan, mengapa berlelah-lelah di jalan menaiki Trans Jogja yang ditata pemerintah dengan waktu tempuh berjam-jam.
Istilah “efisensi” itu kemudian melahirkan jalanan Jogja yang dipenuhi kendaraan. Trans Jogja yang kalah dalam perang darat tak berkutik sama sekali dan turut serta bergabung di tengah kerumunan kemacetan yang tidak efisen itu.
Konsumen yang ogah ber-Trans berdalih, ngapain ngabisin umur nunggu Trans Jogja lewat di halte yang nggak user friendly dan “sangat terbatas” itu. Sementara, di sisi Trans Jogja, barangkali bergumam sambil melepeh ludah bahwa halte yang terbatas, nggak terawat, tidak dijaga petugas, karena jumlah pengguna yang makin menurun kuantitasnya.
Aduh, busnya lama banget datangnya. Ya, mengapa bus lama datang? Karena, armada tidak bertambah. Kenapa nggak nambah, karena jumlah pemakainya makin menurun.
Hitung-hitungan bisnisnya nggak masuk, Bos. Misalnya, halte diperbanyak, apakah dengan begitu mudah membalikkan budaya naik motor/mobil pribadi yang lebih cepat, gesit, dan tujuan setirnya bisa dibelokkan semau kita? Demikian pula bila armada diperbanyak, bisa mengubah gaya hidup baru yang dibawa Revolusi Leasing itu? Beli armada itu dikira pakai daun. Itu diambil dari pajak negara.
Oleh karena itu, untuk memenangkan perang darat, mustahil Dishub memenangkannya, kecuali dengan modal sangat besar yang bakal membikin kas pemerintah yang dipimpin Pak Sultan bisa babak belur.
Kalaupun modal besar pun tersedia, itu juga belum cukup. Mesti ada aturan pembatasan kendaraan bermotor atau pengenaan pajak yang mahal dan bikin kapok yang punya. Hal itu tentu saja berkait dengan tarung drajat DPR dan pengusaha otomotif. Padahal, berharap ada tarung drajat itu saja adalah ilusi brengsek yang mestinya sudah harus dibuang jauh dari kepala.
Nggak mungkin banget. Jalan perusahaan bernama tol sepanjang-panjang itu emangnya mau diisi apa kalau animo untuk punya turangga dengan “mudah, murah, nyaman” alias muaaaman itu menurun drastis.
Ya, jika dalam demokrasi dan ekonomi liberal seperti saat ini, alih-alih berbicara memenangkan hati konsumen, asal Dinas Perhubungan nggak dilikuidasi saja dari neomenklatur birokrasi pemerintah di Jogja itu saja sudah adem.
Karena, kenyataan bekerja lebih progresif dari hayalan pemikir transportasi dan tata ruang yang dipekerjakan negara, Revolusi Leasing ini ditunggangi lagi “transportasi privat” yang tampak lebih “merakyat”: ojol.
Pilihan konsumen pun terbagi atas dua; kalau nggak mau ribet dengan kasak-kusuk parkir yang nggak uwes-uwes ributnya, simpan di rumah kendaraan pribadi, naik ojol lebih ntap. Mahal nggak apa, asal nggak Dishub. Dishub dengan Trans Jogja sama sekali di luar pilihan.
Sekali lagi, sekarang dan nanti, di mata “konsumen” pengguna jalan raya, Trans Jogja itu bukan lagi moda pilihan buruk. Lebih dari itu. Kalau buruk masih mendingan, berarti masih dihitung. Ia bukan lagi pilihan buruk, melainkan di luar pilihan. Nggak dianggap.
Ntap, kan.
Dulu, Dishub diuntungkan oleh Disdik yang “mewajibkan” anak sekolah naik Trans Jogja. Jikapun tidak naik sepeda pancal. Motor dilarang masuk gerbang sekolah. Sekarang, nostalgia itu kini tinggal kenangan. Ditambah lagi pandemi yang awalnya menerbitkan optimisme warga kota berkegiatan dengan sepeda, tetapi kemudian padam. Jikapun ada, ya, sekadar hobi.
Ya, di Jogja, situasi angkutan umum macam Trans Jogja ini terancam tak lebih sekadar hobi. Yang menaikinya adalah mereka yang coba-coba dan bosan saja naik ojol atau motor/mobil sendiri.
Jika dikalkulasi kembali, minusnya sudah ribuan persen dan nggak ada harapan lagi buat menyelamatkan cita-cita mulia mengapa ia mesti ada dan diadakan, bukan tidak mungkin angkutan umum Trans Jogja ini (di)mati(kan).
Kata Roem Topatimasang dalam Sekolah Itu Candu, sesuatu itu disebut mati jika tidak lagi berfungsi. Bola lampu disebut mati karena tidak bisa lagi menerangi.
Jika tak lagi menjadi faktor primer bisa mengurangi kotornya udara, pemakaian BBM yang rakus, dan kemacetan, lantas karena melimpahnya kendaraan yang bersifat privat di jalanan Jogja, sesungguhnya angkutan umum itu sudah mati.
Saya kadang ngelangut dalam kesendirian di Trans Jogja jalur Kasihan—Ngabean dengan tujuan akhir Jogja National Museum (JNM) bersama anak bungsu saya, Jati Kaili Panuluh (kami berdua saja penumpangnya), apakah kami berdua menaiki bus angkutan umum yang nyata atau bus hantu, bus jadi-jadian, bus arwah? Itu.
BACA JUGA Mati Tua di Jalanan Yogyakarta dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Yamadipati Seno