Biar kekinian dan kuminggris, sesungguhnya saya ingin sekali menggunakan istilah “start-up” dalam tulisan ini. Tapi karena istilah tersebut muncul dari dunia digital, sementara jenis usaha yang saya maksud tidak melulu dari lingkup itu, maka saya urungkan. Istilah yang lebih akrab dengan saya sesungguhnya adalah “babat alas”. Hanya saja terdengar sangat jadul. Akhirnya saya pun memilih istilah “rintisan”. Usaha rintisan. Oke, aman.
Nah, dalam setiap usaha rintisan, kamu tentu memerlukan iklan untuk mengenalkan produkmu ke khalayak, membujuk mereka untuk membelinya, sekaligus untuk membangun image perusahaanmu. Masalahnya, modalmu cekak untuk membuat iklan. Bagaimana jalan keluarnya?
Saya yakin, jawabanmu pasti media sosial dan berbagai aplikasi pesan. Karena murah dan mudah, modalmu cukup gawai berbaterai penuh, kuota internet yang cukup, sinyal kuat, dan jempol tangan yang bebas cidera.
Terkait hal tersebut, saya telah melakukan survei dengan melibatkan banyak responden dan memakan waktu cukup lama: Dua hari. Adapun para respodennya adalah istri saya, adik istri saya, suami adik istri saya, adik saya, dan calon istri adik saya. Jangan khawatir, survei ini terjamin independensinya karena saya danai sendiri, bukan dari lembaga donor, apalagi duit parpol, dan prosesnya pun diawasi secara ketat oleh ibu mertua serta kakak ipar saya.
Dari survei super kredibel tersebut, saya mendapatkan fakta mencengangkan: Para responden tadi ternyata muak dengan cara beriklan pengusaha rintisan yang seringkali kelewat bersemangat. Selain itu, mereka juga merasa terganggu karena secara membabi-buta ‘ditandai’ dan dikirimi pesan di akun medsos mereka, termasuk ‘broadcast message’ rutin yang muncul tiap hari.
“Bayangin, Mas, sehari lima kali. Nyaris sama agresifnya dengan mantan pacar saya dulu. Eh, Mas, yang soal mantan tadi jangan cemburu, ya,” ujar salah seorang responden yang tentu bisa kamu tebak siapa dia.
Meskipun jauh lebih memuakkan drama ‘papa minta saham’, namun nyatanya para responden menyetarakan derajat kemuakan mereka tersebut dengan rasa ilfil mereka terhadap sms penipuan ‘makelar tanah minta transfer’, ‘mama minta pulsa’, sms promosi operator selular, ajakan ngegame yang sporadis di akun fesbuk, serta pesan rayuan gombal dari aktivis MLM dan timses calon bupati.
Dan kalau saja mereka pernah mengalami, saya yakin mereka menambahkan satu lagi. Yakni kemuakan para pengelola situs-web yang, tanpa seijin mereka, situs-webnya ditumpangi iklan dari operator selular.
Apalagi isinya itu-itu saja, selalu sama. Misalnya, “Selamat siang, sebelum melanjutkan aktifitas, mari mamam dulu di Warung Tempo Doeloe Mak Lampir. Ada menu spesial Sambal Tumpang Torpedo Grandong dan Gudeg Tengkuk Kuntilanak” diikuti dengan rentetan gambar yang diedit menggunakan aplikasi Paint. Pagi atau malam, pokoknya “selamat siang”.
Saking jengkelnya, salah seorang responden lain–yang lagi-lagi nanti bisa kamu tebak siapa dia–juga sempat curhat panjang. Saya tulis versi ringkasnya saja.
“Ketika itu saya tak bisa menahan diri,” ujarnya sambil menahan laju ingus karena habis menangis.
“Anak saya sedang panas dan kami hanya di rumah berdua. Gawai saya cetang-ceting berkali-kali. Tanda pesan masuk. Saya kira dari istri saya yang sedang bekerja di luar kota. Eh, ternyata broadcast dari seorang kawan yang baru buka bengkel mobil.”
“Sampai broadcast ke delapan saya masih bisa bersabar. Tapi broadcast ke sembilan saya benar-benar muntab. Sudah anak sakit, istri sulit dihubungi, direweli iklan bengkel mobil pula. Sementara saya punya mobil juga nggak. Itu artinya, sudah jatuh masih dicemplungin ke jumbleng kakus, Mas!”
Saya mengangguk saja.
“Saya lalu memutar kampung untuk mengumpulkan semua hewan yang ada. Anjing, kucing, ayam, merpati, truwelu, kelinci. Semua saya karungi. Terkumpul delapan karung. Delapan karung hewan itu lalu saya ikat jadi satu. Saya berencana melampirkannya di aplikasi pesan, lalu mengirimkannya ke kawan saya tadi. Biar dia dicakar, digigit, dijilat, dipatuk, dan diklabruk hewan-hewan tersebut,” ia tampak geram sekali.
“Terkirim?” tak sadar saya menyela. Saking penasarannya.
Ia menggeleng. “Kuota saya pas habis.”
Jiangkrik, batin saya. Padahal kalau semua hewan tadi dapat terkirim, tentu itu bisa menjadi satu bahasan menarik yang menggegerkan jagat sains: santet di era informatika.
Begitulah. Dari hasil survei tadi dapat disimpulkan bahwa tindakan para pengusaha rintisan yang kelewat bersemangat itu malah kontra revolusi. Ya, Tuhan, maaf saya keliru. Maksud saya, kontra produktif. Sebab bukannya menarik calon pembeli, tapi malah membuat mereka jengkel.
Tak mau dicap sebagai tukang bacot tanpa solusi, saya lantas menghubungi seorang pakar periklanan yang tak terkenal namun kenal saya. Kami bertemu di beranda depan rumahnya.
Menurut sang pakar yang enggan disebutkan namanya (karena ketika dia menanyakan amplop, saya cuma bisa melongo), tak masalah beriklan menggunakan fasilitas medsos atau memakai aplikasi pesan. Tapi, sebaiknya menggunakan kalimat yang personal dan kontekstual, bukan pesan template. Ia lantas memberi contoh pesan pengusaha kafe kepada kawannya yang jomblo:
“Mblo, kalau ingin mulutmu lanyah ketika nyepik, mampir dong ke kafe baruku. Ada menu spesial buat kamu: Steak Lidah Buaya.”
Lalu ke kawannya lain yang suka ngebir:
“Nyet, masih doyan bir? Aku buka kafe, ‘nih. Daripada pusing nyari bir sampai lubang gangsir, mampir ‘gih. Minum satu krat, gratis satu sendok sirup batuk.”
Saya paham, di contoh kedua tadi sebenarnya dia sedang memberi kode minta bir. Untung saya masih bawa uang arisan bapak-bapak RT. Saya pun segera pergi ke warung jamu langganan dan membeli satu krat bir. Sial, kata-kata si pakar malah tambah melantur seiring tegukan demi tegukan.
“Tapi lebih aman beriklan di medsos ‘tanpa menandai’. Kalaupun ‘menandai’, ‘tandai’ orang-orang yang berhubungan dengan usaha.”
“Misalnya status di fesbuk: ’50 teman yang beruntung akan mendapatkan paket menarik dari perusahaan servis peniti saya. Silakan tulis komentar di status ini. Yang dalam kota akan segera kami kunjungi, sementara yang luar kota tunggu kami dapat tumpangan dari alien,” lanjutnya.
Wah, mabuk berat orang ini, batin saya. Kian kemari kata-katanya kian ambyar. Tapi ia masih mengambil satu botol lagi. Dan entah hendak pamer merek odol yang dipakainya atau ingin menunjukkan bahwa ia sedang hobi main reog, ia mencungkil tutup botol menggunakan giginya. Pembuka botol dibiarkan tergeletak di meja. Aneh, kali ini omongannya mendadak waras.
“Kalau mau langsung ngiklan untuk semua orang malah lebih bagus. Bisa dengan membuat tulisan bernarasi, gambar, animasi, atau video pendek.”
“Intinya adalah konten. Semakin kreatif dan menarik, semakin gampang menjadi viral. Itu kunci pemasaran di internet. Apalagi era internet adalah era ingatan yang cekak. Kalau iklanmu biasa-biasa saja, akan segera dilibas oleh waktu.”
“Lha sumber dayanya? ‘Kan tidak semua orang bisa bikin yang semacam itu,” saya mencoba memancing. Mumpung dia waras.
“Ya belajar,” ia malah menyahut dengan nada meledek.
“Kalau tidak sempat? Namanya juga pengusaha, pasti sibuk banget.”
“Kalau alasannya tidak sempat, ya, jangan buka usaha. Mending daftar Satpol PP atau ikut kursus sepakbola di SSB.”
Ia ganti bertanya, “Buka usaha itu ‘kan kepenginnya lancar, jangan sampai bangkrut. Benar?”
Saya mengangguk.
Mendadak ia berdiri, tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan menuding-nuding, sambil berteriak, “Ingat, usaha berjalan lancar bukan hanya karena niat pelakunya, tetapi juga karena ada kerja keras dan keuletan! Waspadalah! Waspadalah!”
Ealah, tambah bosok ini.
“Sak cangkem-cangkemmu, Ndes!” balas saya kepada si pakar sambil melipir pulang.