MOJOK.CO – Tetsu Nakamura, seorang Jepang yang merasa terpanggil untuk membantu penduduk Afganistan setelah dibombardir AS, tewas dibunuh oleh kelompok bersenjata.
Namanya Tetsu Nakamura, seorang dokter.
Dari namanya Anda tentu bisa menebak bahwa ia orang Jepang. Saya bertemu dengannya di akhir 2001 atau awal 2002, saya lupa persisnya, di Kumamoto, saat saya masih kuliah di sana.
Tak lama setelah serangan teror ke gedung WTC 11 September 2001, Amerika melakukan serangan ke Afganistan, yang dituduh Amerika sebagai basis Al-Qaeda, biang kerok serangan itu. Dalam hiruk pikuk serangan itu nama Nakamura muncul dalam pemberitaan, menyampaikan kritik terhadap serangan brutal Amerika itu.
Dalam suasana demikian saya mendapat informasi bahwa Tetsu Nakamura akan berkunjung ke Kumamoto, menyampaikan kuliah umum tentang situasi di Afganistan. Saya hadir di kuliah itu. Dari kuliah itu saya mengenal sepak terjang Nakamura dan Peshawar Kai, organisasi kemanusiaan yang ia pimpin.
Peshawar adalah wilayah Pakistan di perbatasan Afganistan yang menjadi basis kegiatan Nakamura dan kawan-kawannya. Dari Peshawar ia membantu rakyat Afganistan dalam berbagai kegiatan sosial di bidang kesehatan.
Dr. Nakamura adalah seorang Kristen yang taat. Dengan ajaran kasih yang ia yakini, ia melayani orang-orang Afganistan yang membutuhkan berbagai layanan kesehatan. Ia begitu menghormati orang-orang yang ia layani, mencoba memahami situasi dan latar belakang mereka. Ia bercerita bagaimana ia dengan susah payah memakai steteskop dari luar pakaian yang tertutup rapat saat memeriksa pasien yang memakai burqa karena tidak ingin membuat pasiennya tak nyaman kalau ia harus menyentuh kulit secara langsung.
Nakamura pertama kali ke Peshawar sebagai relawan yang dikirim oleh Misi Kerja Sama Kristen Jepang untuk memberikan pertolongan medis kepada pengungsi perang akibat invasi Uni Soviet. Tadinya ia berencana mengabdi selama 5 tahun saja. Tapi, sepertinya ia jatuh cinta pada Peshawar dan Afganistan. Ia tak berminat pulang.
Ia kemudian tak berhenti dengan memberikan pertolongan medis saja. Daerah operasinya adalah daerah rawan kekeringan. Kekeringan dengan mudah merenggut nyawa ratusan orang akibat kelaparan. Bagi Nakamura, pelayanan berupa usaha mengatasi kekeringan jauh lebih penting daripada pelayanan kesehatan.
Nakamura lalu memulai inisiatif membangun saluran irigasi. “Satu saluran irigasi lebih berharga daripada 100 dokter,” kata Nakamura. “Di rumah sakit kita melayani pasien satu per satu. Tapi dengan irigasi kita menyelamatkan orang satu desa.”
Ia membangun saluran irigasi di Distrik Khewa, memanfaatkan air dari Sungai Kunar. Saluran yang ia buat sepanjang 25 km. Saluran itu mengairi 16.000 hektare lahan, memberi penghidupan kepada 600 ribu orang, mengubah gurun pasir menjadi ladang gandum yang produktif.
Ia juga membangun beberapa bendungan. Nakamura yakin itulah cara terbaik untuk membangun Afganistan, dan berharap perdamaian akan tumbuh dari situ. “Senjata bukanlah solusi,” kata Nakamura.
Namanya Tetsu Nakamura, orang-orang Afganistan memanggilnya Kaka (paman) Murad, dan kini ia seorang insinyur teknik sipil.
Ia mendapat inspirasi membangun saluran irigasi dari saluran irigasi tradisional yang telah dibangun 200 tahun yang lalu di kampung halamannya di Fukuoka. Nakamura berubah peran, dari orang yang menyembuhkan menjadi orang yang memberi makan.
Tak semua orang berterima kasih padanya. Bagi pihak Barat, ia dianggap halangan bagi propaganda menumpas teroris karena ia bersuara keras terhadap serangan militer Amerika. Ia pernah dituduh sebagai pendukung fundamentalis Islam.
“Bagaimana mungkin saya ini mendukung fundamentalis sementara saya adalah seorang Kristen?” katanya dalam ceramahnya di Kumamoto waktu itu.
Sementara itu, bagi Taliban ia pun bukan sahabat. Ia hanyalah bagian dari misi kafir yang berbahaya.
Beberapa kali ia mendapat serangan yang mengancam nyawanya, tapi berhasil lolos. Tahun 2008 ia harus kehilangan sahabatnya, Kazuya Ito, ahli pertanian yang berjuang bersamanya dalam membangun saluran irigasi. Ito diculik saat sedang menginspeksi pembangunan saluran irigasi dan dibunuh oleh Taliban.
Nakamura tentu tahu betul risiko itu. Ia dengan tenang menghadapinya. “Saya akan bahagia mati di sini,” katanya.
Pada 4 Desember 2019, Nakamura beserta stafnya diserang oleh orang-orang bersenjata di Jalalabad. Nyawanya tak tertolong. Ia gugur saat hendak diterbangkan dari bandara Jalalabad. Kaka Murad, atau Uncle Murad, begitu orang Afganistan memanggilnya, telah pergi, mengakhiri tugasnya sebagai manusia.
Tugasnya diakhiri oleh orang-orang yang telah hilang kemanusiaannya. Nakamura tidak gugur dalam kecelakaan perang yang tak disengaja. Ia memang ditarget untuk dibunuh. Para penyerangnya terlihat sudah merencanakan pembunuhan terhadapnya, menyergap, menembaknya dengan puluhan peluru dari senapan otomatis. Lima orang yang menyertainya ikut gugur. Para penyerang datang untuk memastikan bahwa mereka telah membunuh Nakamura sebelum kabur.
Atas jasanya, Nakamura pernah memenangkan Ramon Magsaysay Award tahun 2003 dan diangkat sebagai warga kehormatan Afganistan. Masih ada sejumlah penghargaan lain yang ia terima.
Tapi, penghargaan sebenarnya telah ia menangkan dari 600 ribu lebih manusia yang ia tolong dan jutaan manusia lain yang memahami arti perjuangannya. Di mata pihak-pihak yang tak punya hal lain selain permusuhan, ia hanyalah musuh yang harus dibinasakan. Begitu mengerikan manusia-manusia yang telah kehilangan kemanusiaan. Alih-alih memberi bantuan, mereka malah memusuhi para pemberi bantuan.
Saya masih ingat betul wajah Nakamura, yang saya lihat dari dekat saat saya berbincang dengannya usai acara kuliah di musim dingin 18 tahun lalu itu. Ia masih tampak muda waktu itu. Suaranya lembut, selembut senyuman yang selalu ia tebar saat berbicara. Dari wajahnya hanya terpancar satu kesan: kasih sayang.
Selamat jalan, Nakamura sensei. Selamat jalan, Kaka Murad. Rest in peace.
BACA JUGA Salman Taseer dan Kasus Penistaan Agama yang Bermula dari Hal-hal Remeh atau esai HASANUDIN ABDURAKHMAN lainnya.