MOJOK.CO – Berkat Megawati, kita tercerahkan. Paling tidak, kita jadi tahu politik pangan kita tidak lebih baik dari Indomie. Bahkan, minus.
Coba ketik di laman pencarian Google hari ini dengan kata kunci “Megawati+Rebus”. Google akan menyajikan 10 artikel pertama dengan tema Megawati vs everybody. Bu Mega seperti sendirian berhadapan dengan serbuan meme netizen, terutama mahasiswa, yang selama tiga tahun belakangan ini terus-menerus disuguhi drama politik yang berebut cuan.
Satu-satunya pembelaan justru datang dari tangan kanannya, Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Itu pun berformat press release. Normatif dan begitulah. Seakan-akan, partai nasionalis yang dipimpin Megawati sejak dahulu kala hingga Anda membaca tulisan ini, tidak lagi memiliki buzzer.
Baca saja kutipan ini: “Ibu Megawati sangat peduli dengan harga sembako, termasuk minyak goreng dan cabai. Sehingga saat HUT partai 10 Januari 2022 lalu pun beliau saat berpidato yang juga didengar oleh Presiden Jokowi sudah menyinggung soal kenaikan harga sembako.”
Satu-satunya yang menarik dari press release itu adalah frase ini: “HUT partai 10 Januari”. Ya, di “HUT partai 10 Januari” (2020) itu pernah ada sebuah drama gelembung politik yang melibatkan frase lain: “Hasto Kristiyanto” dan “Harun Masiku”. Di luar kedua frase itu, “HUT partai 10 Januari” menyajikan fenomena yang diam, terbungkus, dan tampaknya tidak menarik sama sekali dibahas, yang justru menjadi inti dari soal yang hari ini netizen menemukan celah untuk merebus habis-habisan Megawati seorang diri.
Apa itu?
Di goodie bag yang dibagikan ke ribuan peserta “HUT partai 10 Januari” (2020) dari seluruh daerah itu terdapat mutiara yang umumnya tidak menarik bagi politisi dan malah memberatkan bawaan. Yakni, kitab kuliner yang luar biasa tebalnya berjudul Mustika Rasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno. Mula-mula kitab 1.206 halaman itu diterbitkan ulang dengan nekat oleh Penerbit Komunitas Bambu (Kobam) dengan berbekal pada satu kepercayaan yang mantap bahwa buku ini harus terbit justru karena ia mestika tersembunyi yang hilang dari Sukarno Project.
Di benak pemilik Kobam, JJ Rizal, terbayang kerugian besar. Tapi, demi mestika bangsa, demi ide besar Sukarno di bidang politik pangan, dia nekat menerbitkannya. Lalu, terbitlah buah ambisi itu pada 2016 yang langsung menghantam cashflow penerbit.
Tak dinyana, “HUT partai 10 Januari” menjadi berkah bagi Kobam. Megawati memesan buku ini untuk dicetak lagi ribuan eksemplar. Demi, “HUT partai 10 Januari”. Di satu sisi, goodie bag “HUT partai 10 Januari” itu berkah bagi Kobam untuk mengarungi musim pageblug yang dimulai tiga bulan kemudian. Bahkan, masih ada sisa untuk bikin toko buku di Yogya. Setelah “HUT partai 10 Januari” itu nyaris tidak ada lagi yang membahas buku ini; sudah terdiam di rak semua petinggi partai.
Di sinilah Megawati mengungkit kembali perihal pentingnya Mustika Rasa itu. Bu Mega harus mengambil alih sendiri untuk meresensi buku pesanannya itu di saat kader-kadernya kemungkinan besar melupakan goodie bag “HUT partai 10 Januari” tersebut di tengah kelangkaan minyak goreng.
Sebab, yang diingat oleh “anak-anak bangsa” pada “HUT partai 10 Januari (2020)” melulu soal “korupsi”, melulu soal “Harun Masiku“. Apalagi, dalam soal per-goodie bag-an, partai yang dipimpinnya ini dicekik trauma yang selamanya tidak pernah hilang karena ini merupakan aib gigantis: korupsi goodie bag sembako Covid-19 karya salah satu kader terbaik Bu Mega, Menteri Sosial (Mensos) Juliari P. Batubara yang melibatkan perusahaan Sritex (SRIL) yang dikutuk habis-habisan dalam puisi pamflet Widji Thukul.
“Saya sampai mengelus dada, bukan urusan masalah nggak ada atau mahalnya minyak goreng, saya sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng sampai begitu rebutannya? Apa tidak ada cara untuk merebus, lalu mengukus, atau seperti rujak, apa tidak ada? Itu menu Indonesia, lho. Lha kok njelimet (rumit) gitu,” adalah rangkuman Bu Mega atas 1.206 halaman buku Mustika Rasa.
Saat Megawati mengeluarkan buah pikirnya itu, pegiat Warung Arsip/Radio Buku langsung ingat buku Mustika Rasa yang tidak pernah di-rak-kan, melainkan diletakkan terus-menerus di atas meja. Artinya, ini buku berjenis dinamis, selalu dilihat, disentuh, sekali-kali dipakai. Sunardi, Berryl Ilham, maupun Ageng Indra melakukan “perhitungan manual” untuk memvalidasi apakah pernyataan Bu Mega yang “ganas” itu asal bicara atau punya referensi yang kuat. Dan, tiada literatur yang bisa diperiksa, selain isi goodie bag “HUT partai 10 Januari”: Mustika Rasa.
Dari tiga metode utama memasak lauk-pauk–goreng, rebus/kukus, bakar–Mustika Rasa yang berisi lebih kurang 1.600 resep itu bersaksi, sebagaimana dicatat Sunardi, admin Warung Arsip:
– 125 resep lauk pauk gorengan
– 251 resep lauk pauk berkuah
– 463 resep lauk pauk basah tidak berkuah
– 70 resep lauk pauk bakar
– Sisanya rupa-rupa
Megawati benar dan presisi, tradisi kuliner kita puluhan tahun lampau lewat Sukarno Project berlabel Mustika Rasa didominasi rebus. Pengolahan dengan cara menggoreng hanya 125 dari 1.600 resep.
Megawati benar dan presisi pula mengeluarkan “resensi” atas buku Mustika Rasa berupa statemen yang menjadi viral di saat yang tepat. Bu Mega ulung dalam soal momentum dan posisi. Tiada momentum yang tepat memperkenalkan kembali isi goodie bag “HUT partai 10 Januari” itu selain waktu keluarga Indonesia disuguhkan drama kelangkaan minyak goreng (sawit).
Megawati ingin menandaskan dapur keluarga Indonesia telah kehilangan resep leluhurnya yang didominasi rebus dan tergantikan oleh goreng. Saat dapur ibu oleng oleh minyak goreng (sawit), Bu Mega datang, seorang diri, dan berteriak serak hingga tak terdengar oleh kader-kader muda haus kuasa: Hai, anak-anakku, baca Mustika Rasa dalam goodie bag yang sudah kubagikan agar dapur Indonesia tidak kehilangan kompas politik pangan yang bergantung kepada sawit.
Dan, dari politik rebus Megawati itu pula menguak pertanyaan yang selalu mengganggu tidur para pecandu “Indomie”: mengapa di bungkusnya tertulis jelas dan mentereng “goreng”, tetapi proses memasaknya justru direbus.
Ya, jika Megawati tidak kamu sukai karena kebijakan partai yang dieksekusi kader-kader mudanya yang sibuk berebut kuasa dan lupa petani dan masyarakat adat penghayat alam yang digasak perkebunan sawit dan lahan tambang, setidaknya kamu belajar dan berhikmat kepada indomie yang kamu makan tiga kali sehari-hari itu: tetap direbus, walau “goreng”.
Berkat Megawati, kita tercerahkan. Paling tidak, kita jadi tahu politik pangan kita tidak lebih baik dari Indomie. Bahkan, minus.
Pada akhirnya, saya jadi tahu bahwa hanya Indomie (goreng) yang konsisten bisa memahami pemikiran “politik rebus” Bu Mega. Itu.
BACA JUGA Megawati, Pemimpin Perempuan Paling Berkuasa dalam Sejarah Nusantara dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Yamadipati Seno