[MOJOK.CO] “Saya heran ketika ada yang menyebut bahwa saya sedang melakukan taubat ketika saya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin.”
Istilah taubat akhir-akhir ini sering digunakan secara salah kaprah dan kurang tepat. Seseorang yang sedang mengalami evolusi pikiran dari satu tahap ke tahap lain disebut bertaubat. Ini jelas tidak tepat.
Istilah “taubat”, bagi saya, jelas tak tepat dipakai dalam konteks evolusi gagasan. Taubat hanya tepat dalam konteks tindakan maksiat. Gagasan bukanlah tindakan maksiat. Gagasan bisa mengalami evolusi dan perkembangan. Itu menandakan bahwa gagasan tersebut dinamis. Gagasan yang tak berkembang adalah gagasan yang jumud. Apakah saat Imam Syafii berkembang idenya dari qaul qadim (pendapat lama) ke qaul jadid(pendapat baru), beliau sedang bertaubat?
Ketika di ujung hidupnya Imam Ghazali menempuh jalan sufi dan meninggalkan jalan-jalan pencarian kebenaran yang lain (yaitu jalan para teolog dan filsuf) yang pernah beliau cobai, apakah Imam Ghazali melakukan pertaubatan? Tidak sama sekali. Tak ada yang menggambarkan fase mistik Imam Ghazali di ujung hidupnya sebagai fase taubat.
Jika Anda dulu menjadi begal, maling, atau koruptor lalu menyesali tindakan itu semua dan menempuh hidup baru yang lebih bermoral dan meninggalkan kebiasaan sebelumnya, itu bisa disebut taubat.
Tetapi jika Anda adalah seorang pemikir lalu pemikiran Anda mengalami evolusi dari satu bentuk ke bentuk yang lain, itu bukanlah pertaubatan. Pikiran, di mana pun, berkembang. Evolusi pemikiran menandakan bahwa yang bersangkutan berproses, tidak jumud. Tetapi, evolusi pemikiran bukanlah pertaubatan.
Ketika seorang saintis mengubah teorinya karena data-data yang baru menyanggah hipotesis dia yang awal, dia tak bisa disebut bertaubat. Dia mengoreksi teorinya, tetapi dia tidak sedang bertaubat.
Ketika Prof. Harun Nasution, di ujung karir intelektualnya, menggeluti kajian tasawuf, kita tak bisa menyebut beliau bertaubat. Paling jauh kita hanya mengatakan, Prof. Harun memperluas cakrawala intelektualnya dengan memasuki bidang yang baru. Ketika beliau masuk ke kajian tasawuf, bukan berarti gagasan-gagasan beliau sebelumnya ditinggalkan. Sama sekali tidak.
Oleh karena itu, saya heran ketika ada yang menyebut bahwa saya sedang bertaubat ketika saya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin. Istilah ini mengandaikan bahwa dengan membaca Ihya’, saya meninggalkan gagasan-gagasan saya sebelumnya. Istilah “taubat” secara implisit menyarankan bahwa pikiran-pikiran saya sebelum mengaji kitab Ihya’ keliru semua dan telah saya tinggalkan.
Anggapan ini jelas keliru sama sekali. Saya tak meninggalkan sedikit pun gagasan-gagasan saya selama ini. Saya masih berpegang pada gagasan pokok yang saya “perjuangkan” selama ini: bahwa teks-teks Islam harus terus direkontekstualisasi dan dibaca secara baru sesuai dengan semangat zaman yang terus berubah.
Jika ada hal yang “berubah” pada diri saya, hanya dalam perkara berikut ini:
Kaum “pembaharu” yang melakukan kritik atas tradisi dalam Islam harus memiliki dimensi spiritualitas, atau “hikmah” dalam bahasa Qur’an. Inti hikmah adalah humility atau sikap rendah hati. Dalam membaca ulang tradisi, sebaiknya kita memiliki sikap humility ini. Sikap kritis terhadap tradisi tetap penting, tetapi kritik itu perlu dilakukan dengan sikap yang andhap asor, tawadu’. Inilah makna spiritualitas bagi saya. Tanpa sikap semacam ini, kita bisa terjebak pada arogansi, kadang malah permusuhan terhadap tradisi secara kurang proporsional.
Jujur saja, saya pernah mengalami fase “arogansi” semacam ini, sebagian besar karena pengaruh munculnya tendensi-tendensi pemikiran keagamaan yang radikal dan cenderung fundamentalistik yang membuat saya marah dan jengkel. Fase arogansi yang pernah menjangkiti saya ini mungkin dipengaruhi juga oleh semacam youth enthusiasm, semangat kemudaan yang menggebu-gebu – fase yang alamiah dalam perkembangan psikologi seseorang.
Di mata saya, melakukan kritik dan penafsiran ulang atas tradisi tidak mesti dipertentangkan dengan spiritualitas. Keduanya bisa jalan bersamaan. Spiritualitas adalah semangat yang seharusnya melandasi seluruh tindakan kita sehari-hari, dalam bidang apa pun.
Bagi saya, bukan tindakan yang hikmah dan “spiritual” saat kita melakukan “konfrontasi intelektual” terus-menerus dengan umat, sehingga konfrontasi itu terkesan seolah-olah menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Konfrontasi pada satu fase mungkin diperlukan, tetapi dia haruslah melayani tujuan lebih besar, yaitu transformasi kesadaran umat. Bukan mengalienasikan mereka.
Sekali lagi, saya memaknai spiritualitas sebagai “hikmah”, kebijaksanaan yang muncul karena kesadaran yang akut dan mendalam pada diri kita bahwa kita adalah makhluk yang daif, lemah, bisa berbuat salah; dan hanya Tuhanlah tempatnya segala kesempurnaan.
Kesadaran ini tidak langsung memupus usaha kita sebagai manusia. Kita tetap berusaha, mendayagunakan rasio dan intelektualitas kita untuk mengeksplorasi horizon kebenaran hingga batas-batas terjauh. Tapi, usaha ini tetap harus disertai oleh sikap tawadu’, kerendahhatian.
Salah satu inti spiritualitas adalah kemampuan untuk menggembosi gelembung ego kita yang bisa membesar, tanpa kontrol, hingga akhirnya merusak diri kita sendiri.
Berpikir rasional dan bersikap spiritual bukanlah dua hal yang bertentangan.
Apakah ini pertaubatan? Menurut saya tidak. Ini adalah evolusi pemikiran ke arah yang (semoga saya tak sedang “sombong” ketika mengatakan ini) lebih matang.