MOJOK.CO – Orang miskin punya seribu satu cara untuk bertahan hidup. Salah satunya dengan muslihat telur dadar yang membuat saya kagum ketika masih bocah.
Ketika kecil dulu, mungkin sekitar tahun 2000, saya pernah bermain ke rumah teman saya. Sebut saja namanya Wawan.
Rumah Wawan tidak besar dan cuma memiliki 2 kamar tidur serta 1 kamar mandi. Walau deskripsinya mirip dengan tipe rumah kebanyakan yang dijual developer properti di daerah pinggiran Jakarta, percayalah, konsep minimalis yang diterapkan sangat berbeda.
Kalau rumah minimalis dikonsep agar menjadi sederhana, fungsional, dan terkesan mewah. Nah, rumah teman saya ini konsepnya adalah “yang penting punya rumah”.
Pencahayaan buruk. Lantai rumahnya nir-keramik, full semen ekspose ala industrialis. Udaranya lembab dan berbau apak. Cat dinding rumah Wawan sudah kusam, belum lagi dapurnya yang kecil cuma muat 3 orang bila mau berdesak-desakan. Dan di dapur ini, saya melihat sendiri muslihat telur dadar sebagai cara mengakali beratnya kehidupan.
Cara keluarga Wawan bertahan hidup
Siang itu, hanya ada Wawan dan adiknya yang berumur 7 tahun, terpaut 5 tahun dari usia teman saya. Bapaknya sedang kerja (sampai sekarang saya tidak tahu apa kerja bapaknya). Ibunya sedang berjualan di luar.
Jadi, mau tidak mau, sebagai kakak, dia harus mengurus kebutuhan adiknya siang itu. Untuk makan siang, teman saya harus memasak sendiri.
Hari itu menjadi hari di mana saya melihat Wawan memasak. Menunya adalah telur dadar. Telurnya cuma satu butir.
Insting berbagi Wawan ini cukup besar. Makanya dia menawarkan saya juga untuk ikut makan.
Saya tentu saja menolak. Ya gimana, telur itu hanya ada satu butir untuk dia dan adiknya. Jatah makan yang saya rasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bocah SD untuk tumbuh dengan normal, waras, dan sehat. Sayang sekali, belum ada program makan siang gratis kala itu.
Mengakali telur dadar
Wawan hendak membagi telur dadar itu menjadi 3 dan saya tentu saja tidak tega. Ekonomi keluarga saya jauh lebih baik. Saya cukup paham bahwa saya tidak boleh meminta bagian makan siang di keluarga yang “kesusahan” seperti itu.
Namun Wawan berkeras. “Aku punya akal, walau cuma sebutir, kita bisa makan telur dadar yang besar.” Saya sedikit bingung. Bagaimana telur sekecil itu bisa memuaskan nafsu perut 3 orang?
Maka, saya mengikutinya ke dapur. Dapurnya mungil, gelap, dan cukup berantakan. Banyak peralatan dapur yang belum dibersihkan. Dia mulai memanaskan minyak goreng (hanya Tuhan yang tahu sudah berapa kali dipakai) di atas wajan.
Melihat gerakannya yang sudah cukup mahir, saya sedikit takjub. Ketika kecil, saya sendiri tidak pernah memasak, atau paling tidak mencoba memasak. Ibu saya cukup strict dengan daerah kekuasaannya (baca: dapur) di rumah sehingga saya tidak pernah punya pikiran untuk bermain masterchef-masterchef-an.
Nah, ketika minyak sudah cukup panas, Wawan melihat ke arah saya dengan muka penuh kebanggaan. Seolah-olah dia akan memberi tahu rahasia kuliner nusantara turunan keluarganya.
Dia mengeluarkan soda kue. Saya tahu soda kue. Tapi saya tidak pernah melihat cara penggunaannya seperti yang akan teman saya lakukan. Jadi, dia menaburkannya di telur dadar yang sudah dikocoknya. Dengan porsi di luar anjuran kesehatan yang membuat saya sempat kepikiran emang boleh?
Wawan lantas menuangkan adukan tersebut ke minyak yang panas dan tak lama telur dadar itu mengembang cukup besar. Telur dadar itu bisa mengembang melewati batas kewajaran. Dia tersenyum senang melihat saya terbelalak.
Setelah telur dadar dirasa sudah golden brown, dia memindahkannya ke piring dan memotongnya jadi tiga. Wawan lalu Mengambil nasi untuk kami dan membawanya ke ruang tengah untuk dinikmati bersama. Saya mengambil satu potongan telur dadar, setangkup nasi, tak lupa menuangkan kecap manis di atasnya. Telur dadar tanpa kecap manis, belum lengkap, bukan?
Lalu, apa rasanya?
Asin. Ada rongga-rongga di lapisan telur dadar yang saya makan. Luas penampang dadar itu mungkin lebih besar dari seharusnya tapi kepadatannya mengkhawatirkan.
Telur dadar itu mengembang karena gas karbon dioksida yang dipancing oleh natrium bikarbonat dari soda kue. Saya serasa makan sponge cuci piring yang ada asin-asinnya (untung tertolong oleh manisnya kecap; Tuhan memberkati pencipta kecap manis). Teman saya dan adiknya sangat menikmati telur dadar itu. Saya rasa mereka sudah terbiasa dengan makanan ini.
Selain perasaan aneh, saya juga merasa kagum dengan akal-akalan Wawan. Entah siapa yang mengajarinya. Mungkin ibunya. Atau bisa juga ayahnya.
Kamar mandi perjuangan
Sebelum pulang, saya izin memakai kamar mandinya untuk melegakan kandung kemih yang isinya belum dikeluarkan dari pagi. Kamar mandinya lebih horor dari dapur yang menjadi saksi muslihat telur dadar.
Redup, tanpa keramik dinding atau lantai, ada beberapa puntung rokok di hole drain. Ada bak kecil dari beton di sudut yang berlumut gelap. Toilet jongkoknya memiliki nasib yang tidak jauh lebih baik.
Saya berpikir bagaimana bisa keluarga ini berada di kamar mandi dengan nyaman? atau mungkin tidak nyaman juga malahan? Kecuali ayahnya yang merokok sambil buang air besar lama-lama.
Lalu, saya melihat sabun batang di kamar mandi itu. Sebuah sabun batangan yang sudah ditempelkan dengan sabun batangan lain yang lebih kecil. Bukan 2 sabun, tapi 3 sabun warna-warni ditempelkan satu sama lain untuk memperpanjang umur pemakaian. Sungguh efisien tapi saya tak berani menyentuhnya. Entah apa yang sudah dilalui oleh sabun-sabun itu selama tinggal di sini.
Kreativitas telur dadar, kreativitas orang miskin
Menjadi miskin bisa dipastikan memancing kreativitas luar biasa. Coba, siapa yang pertama kali punya ide mencampur air ke dalam botol sampo yang sudah mau habis? Atau mengikat hape yang sudah brodol dengan karet gelang? Membagi sebungkus Indomie untuk dimakan pagi dan malam? Menaburkan soda kue ke adonan telur dadar? Tentu saja, orang miskin.
Ini masih di taraf “miskin” lho ya, belum lagi ide-ide dari si “miskin ekstrem”. Semoga saja program Pengentasan Kemiskinan Ekstrem dari pemerintah bisa berhasil, biar bisa ngurang-ngurangi kata “ekstrem”. Minimal dari miskin ekstrem menjadi miskin eskrim (biar miskin masih bisa beli eskrim).
Pada akhirnya, hidup memang kadang seperti telur dadar dengan soda kue—mengembang besar, tapi kosong di dalam. Tapi justru di situlah seni bertahan hidup: memanfaatkan apa yang ada, berkreasi di tengah keterbatasan, dan tetap tersenyum walau kenyataan rasanya asin, eh, pahit.
Teman saya mengajarkan satu hal penting. Dalam hidup, kadang yang penting bukan kualitas, tapi kuantitas yang kelihatan lebih “gede” dari yang seharusnya. Dan mungkin, sesekali, kita semua butuh kecap manis untuk menyelamatkan situasi.
Penulis: Noa Salfhali
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 8 Olahan Telur Ceplok yang Enak dan Mudah Dibuat dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.