Tapera Adalah Wujud Kebijakan Nggak Asyik, dari Orang-orang Sok Asyik

Tapera Adalah Wujud Kebijakan Nggak Asyik, dari Orang-orang Sok Asyik MOJOK.CO

Ilustrasi Tapera Adalah Wujud Kebijakan Nggak Asyik, dari Orang-orang Sok Asyik. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKalau Tapera diibaratkan manusia, saya nggak mau temenan. Ia sok asyik di tongkrongan. Sebab yang seperti ini, biasanya bikin repot.

Halo, Bapak/Ibu Dewan yang terhormat. Perkenalkan, saya seorang pekerja ibu kota. Melalui tulisan ini, saya ingin curhat banyak sekali tentang masalah sekaligus dinamika yang terjadi di dunia kerja belakangan ini. Iya, rasanya mumet, ruwet, dan kusut sekali menghadapi persoalan yang ada. Selepas pemilu kemarin, rasanya, kok, masalah nggak uwis-uwis, Pak/Bu. Salah satunya Tapera yang sok asyik itu.

Saya akan coba mulai dari yang paling sederhana. Mengenai Gen Z yang, lagi dan lagi kena olok. Seakan mereka nggak becus dan nggak berhak melalui pahit-manisnya dunia kerja. Padahal, mereka juga sedang menjalani proses. 

Sebagaimana Gen X, Gen Y, yang pada masanya head to head dengan kerasnya dunia kerja. Bedanya, dulu belum ada media sosial saja. Sehingga, curhatan dilakukan secara offline. Bukan melalui akun base sambil meminta saran sana-sini.

Belum lagi masalah pengangguran yang kini, didominasi oleh para Gen Z. Malang betul nasib Gen Z ini. Diberi solusi berupa lapangan pekerjaan tidak, jadi bahan gunjingan tiada akhir, iya.

Jangan lupakan juga soal diskriminasi di dunia kerja yang banyak macamnya, Pak/Bu. Mulai dari usia, agama, gender, dan lain sebagainya. Juga, soal upah yang belum layak dan masih banyak lagi. Sebagai pekerja di bagian HRD, jujur saja, rasanya mulai mumet, Pak/Bu. Pengin rasanya bantu agar bisa meringankan tugas Bapak/Ibu dewan sekalian sebagai regulator, tapi, terpentok regulasi dan kepatuhan bekerja. Ya, layaknya pekerja pada umumnya: wewenang saya terbatas.

Tapera yang bahagia di atas penderitaan pekerja

Itu masih curhatan yang ringan, Pak/Bu. Kita lanjut ke yang lebih FYP friendly, ya. Soal Tapera. Iya, Tabungan Perumahan Rakyat itu. Yang berlandaskan semangat gotong royong, untuk membantu kaum pekerja memiliki rumah. Iya, yang potongannya 3% itu. 2,5% dari pekerja dan 0,5% dari pemberi kerja.

Sejak awal mengetahui wacana Tapera ini akan menjadi nyata dan diberlakukan bagi pekerja swasta yang upahnya minimal menyentuh UMR, pertanyaan saya dan rekan kerja lainnya sama. Urgensinya apa, ya, Pak/Bu?

Kenapa, ada apa, dan untuk siapa Tapera? Kan, tidak semua pekerja target jangka panjang maupun pendeknya langsung punya rumah. Kebutuhan, desakan, dan prioritas para pekerja kan, berbeda-beda, Pak/Bu. Coba, deh, ngobrol banyak dengan kelas pekerja. Niscaya, apa yang saya utarakan, benar adanya.

Pasalnya, saat ini saja kami, para pekerja, sudah menerima cukup banyak potongan dan diperuntukan untuk program pemerintah. BPJS, JHT, dan lain sebagainya. Dan tidak lama lagi, Tapera. Meski di pemberitaan, banyak sekali yang menentang. Bukan hanya dari kalangan pekerja, tapi juga pengusaha.

Baca halaman selanjutnya: Kebijakan sok asyik yang bikin muntah.

Kebijakan yang bikin muntah

Rasanya agak nganu saja, Pak/Bu. Di situasi yang sedang tidak pasti seperti sekarang ini, di satu sisi kami, para pekerja dan pengusaha, diminta bertahan. Tapi, di sisi lain kami malah dipaksa untuk menelan asupan yang, sudah jelas akan selalu kami muntahkan.

Ya, Tapera memang tidak akan membikin kami miskin mendadak. Inti persoalannya bukan itu dan tidak berhenti di situ. Jika landasannya adalah gotong royong dan tabungan, bukankah esensi dari 2 hal tersebut bersifat sukarela dan tidak memaksa? Ya, boleh jadi di waktu mendatang, kami akan melakukan hal tersebut. Tapi, pada akhirnya akan terpaksa, memang dipaksa, dan tanpa bisa melakukan perlawanan, kan?

Saya jadi deja vu, Pak/Bu. Pernah, saya bekerja dengan atasan yang memaksa tim untuk menggunakan sistem yang masih setengah jadi di perusahaan. Sistemnya masih belum rampung, tapi, dipaksa digunakan. Kami semua menolak dan menentang Tapera. Sebab, sistem yang masing setengah matang itu, bukannya mempermudah pekerjaan kami, malah mempersulit dan menambah pekerjaan.

Tapi, apa daya, dominasi keluhan dan seruan tolakan kami, tidak dihiraukan sama sekali. Keluhan kami serupa, “Urgensinya Tapera itu apa? Padahal, sebelum menggunakan sistem itu pun, kami baik-baik saja. Bahkan bisa bekerja lebih cepat.”

Harus dikaji ulang

Soal cerita tersebut dan kaitannya dengan Tapera, jelas harapan saya sebagai pekerja itu sama. Tolong dikaji ulang terlebih dahulu. Toh, cepat tak harus buru-buru, Pak/Bu.

Selain itu, transparansinya bagaimana dan seperti apa? Sebab, kami ingin belajar dari pengalaman dan kapok kecolongan. Itulah kenapa, alarm defense mechanism kami sebagai pekerja, ketika ada potongan atau program yang masih abu-abu dan tidak jelas, berdering sangat kencang.

Jika memang program Tapera ini dirasa akan memiliki nilai dan progres yang baik. Apalagi menyasar kalangan pekerja yang ingin memiliki rumah, saran saya, coba didata lebih dulu. Sasar yang memang butuh sekali dengan syarat dan pakem yang jelas. Khawatir ada ini dan itu? Untuk saling menguatkan, toh, bisa melalui kontrak yang disetujui bersama, bukan?

Maaf, Pak/Bu. Bukannya kami tidak percayaan, lho. Ya, kami khawatir dan was-was, sih. Tapi, melalui kontrak dan klausul yang jelas, paling tidak kekuatan kita akan sama kuat di mata hukum, ada pertanggungjawaban yang jelas.

Kami tidak percaya sama Tapera

Sejujurnya, keterlibatan PBNU dalam mempublikasikan artikel edukasi tentang Tapera, tidak serta merta membuat kami langsung percaya dan menerima. Bahwa program ini, akan baik untuk umat sekaligus diterima oleh banyak kalangan, Pak/Bu.

Sebetulnya, sebagai pekerja, saya sangat menyayangkan dan dibuat heran juga. Soal pembenahan regulasi di dunia kerja, terkait diskriminasi, ketersediaan lapangan kerja,  dan sebangsanya, kenapa terkesan ditunda atau agak lama, ya, Pak/Bu? Sedangkan untuk program potongan serupa Tapera, rasanya gercep sekali.

Tidak berlebihan dan bukan sesuatu yang mengherankan juga jika saat ini banyak kalangan dari luar istana, secara online maupun langsung, serempak menggonggong untuk menolak kebijakan ini. Sebab, kami memang keberatan dan merasa terbebani. Kami dipaksa untuk mematuhi regulasi yang serampangan, lagi dan lagi.

Oh, iya, sejak awal, saya sengaja tidak memberi kredit kepada siapa surat terbuka ini ditujukan, Pak/Bu. Sebab, saya, kami, kita para pekerja hanya bisa pasrah. Sekalipun saya sebut satu atau banyak nama, toh, curhatan ini hanya akan seperti angin lalu yang sembarang lewat, kan?

Terakhir, kalau Tapera diibaratkan manusia, sejujurnya saya nggak mau berteman dengan tipe yang seperti ini. Karena terkesan sok asyik di tongkrongan. Sebab yang seperti ini, biasanya bikin repot.

Penulis: Seto Wicaksono

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Tapera Bukti Nyata Kita Hidup di Negara yang Salah Urus dan analis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version