Tahu Tempe, Kedaulatan Pangan, dan Reza Rahadian

Tahu Tempe, Kedaulatan Pangan, dan Reza Rahardian

Tahu Tempe, Kedaulatan Pangan, dan Reza Rahardian

MOJOK.CO – Tahu tempe lenyap tak tahu diri beberapa hari ini. Hm, kayak persoalan sepele ya? Padahal tidak sama sekali. Ini problem serius.

Ini memang awal tahun yang penuh keprihatinan. Dalam situasi pandemi yang belum kelihatan ujungnya ini, supplier utama protein nabati anak negeri, tahu tempe, sempat-sempatnya melenyapkan diri. 

Padahal dalam perang melawan pandemi, suplai protein dan rasa gembira menyantapnya itu sangat penting untuk membangun daya tahan tubuh melawan virus. Kedelai naik tinggi, tempe tak terbeli. Begitulah. Yang langsung nyanyi berarti fans Iwan Fals, dan tentu sudah tua.

Harga kedelai yang tak terkendali dalam sebulan terakhir membuat produsen tahu tempe menjerit protes dengan mogok produksi. Ini dilakukan untuk meminta pemerintah mengintervensi harga kedelai agar lebih stabil dan terjangkau. 

Per hari ini, empat hari berlalu sejak mogok produksi berakhir 3 Januari lalu, harga kedelai masih tetap tinggi. Beberapa produsen kecil memutuskan untuk henti produksi karena tak ada keuntungan sama sekali. So sad.

Supply and demand kedelai impor memang mengikuti situasi internasional. Konon di China sebagai importir kedelai terbesar dunia, permintaan kedelai saat ini naik dua kali lipat sehingga sebagian besar suplai dunia terserap ke sana. Itu hasil penelusuran yang bisa terlacak di internet. 

Bahwa ternyata ada the invisible hand yang bermain ya wallahua’lam. Pemerintah saja tak bisa menjangkau mereka, apakah lagi saya, netizen tiada daya.

Krisis kedelai seperti juga krisis bawang, terigu, dan berbagai bahan makanan yang impor lainnya jelas bukan hal baru. Ini sudah kejadian yang berulang nyaris setiap tahun. Memang globalisasi membuat ketersediaan bahan pangan di meja makan kita menjadi tidak sesederhana tampaknya. Segala yang tersaji di sana adalah orkestrasi dari berbagai komoditas dari negeri antah berantah.

Tahu dan tempe sekarang, resepnya saja yang masih tradisional, bahan bakunya sudah lama sangat internasional. Kedelai yang dipakai kalo nggak dari Amerika, Kanada, Brasil, Prancis, paling dekat ya Malaysia. 

Nggak ada lokal-lokalnya sama sekali. Kedelai lokal sudah lama kalah pamor dari kedelai impor yang putih nyempluk ginuk-ginuk itu. Petani kedelai, setidaknya di tempat saya, lebih suka memanen kedelai muda untuk dijual sebagai kudapan kedelai rebus yang eksotis itu. Lebih cepat jadi duit karena lebih mudah dijual daripada menunggu dia jadi biji kedelai tua. Ya kecuali kalo dia Malika, yang dirawat seperti anak sendiri dengan penuh cinta. Itu lain cerita.

Melonjaknya harga kedelai mestinya menyadarkan kita akan rentannya ketergantungan pada impor bahan pangan dan urgensi menegakkan kedaulatan pangan. Sebagai pihak yang terkena imbas paling parah dari kenaikan harga ini, rakyat jelata mesti mengambil bagian dalam kerja besar menegakkan kedaulatan pangan itu. Tapi segala yang mesti-mesti itu biasanya berat. Tak terkecuali ini.

Krisis kedelai menunjukkan juga bahwa Pemerintah belum berhasil mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan, sesuai amanat UU 18/2012 tentang Pangan. Pasal 46 UU ini menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan sampai tingkat perseorangan. 

Presiden Jokowi dalam kampanyenya yang pertama dulu bahkan menjanjikan akan membuat Indonesia swasembada pangan dan meniadakan impor bahan pangan sama sekali. Melihat bahwa di periode kedua ini pun impor bahan pangan masih berlangsung dengan gegap gempita, janji itu tampaknya jauh panggang dari api. Hidup memang belum lengkap kalo belum pernah ditipu politisi.

Krisis ini mestinya juga menyadarkan kita bahwa kenyamanan berupa murah dan nyempluknya kedelai impor, harus dibayar mahal dengan hilangnya produksi kedelai dalam negeri. Harga lain yang harus dibayar juga adalah berupa kerentanan harga ketika stok dimainkan spekulan internasional. 

Dengan kebutuhan sekitar 2,6 juta ton kedelai per tahun Indonesia adalah pasar kedelai impor terbesar ketujuh di seluruh dunia. Pasar yang sangat menggiurkan. Tak heran jika banyak pihak yang menginginkan ketergantungan ini berkelanjutan. Ada cuan besar dan gampang di situ.

Kebutuhan sebesar dan serutin ini mestinya bisa mendorong pemerintah mengusahakan segala instrumen kebijakan dan stimulus untuk mendorong petani lokal menanam kedelai. Tapi entah benang sekusut apa yang melingkupi dunia produksi pertanian kita sehingga pasar sebesar itu tak cukup menggerakkan. 

Kebutuhannya ada, pasarnya ada, tinggal mau apa tidak kerja kerja kerja. Konon begitu harusnya. Tapi untuk kasus kedelai ini sepertinya kerja itu berarti ngimpor. Ya kita bisa apa.

Ketergantungan apalagi soal pangan, selalu rentan goncangan. Oleh karena itu, menegakkan kedaulatan pangan adalah urgensi yang tak bisa ditawar. Mestinya.

Tapi di tengah jargon globalisasi, kedaulatan pangan itu seperti wacana utopis yang idealis dan kesepian. Ide pasar bebas membius negara dunia ketiga untuk percaya bahwa persaingan di pasar bebas terjadi pada “ruang hampa” yang memungkinkan siapa pun menjadi pemenangnya.

Padahal yang terjadi dalam globalisasi sektor pertanian sebenarnya adalah surplus produksi yang berlebihan dari negara maju setelah proteksi dan subsidi besar-besaran terhadap sektor pertanian mereka, membuat mereka harus mencari pasar baru. Artinya tidak ada “ruang hampa”, yang ada adalah tempat sarat kepentingan.

Lalu, diserbulah pasar dunia ketiga dengan produk pertanian negara maju, yang karena subsidi besar-besaran itu membuatnya menjadi murah. Masuklah Indonesia ke dalam “food trap“. Kita telanjur mencintai pangan murah yang tidak diproduksi di dalam negeri. Termasuk kedelai nyempluk ini. Akibatnya terjebaklah kita dalam ketergantungan 100% terhadap impor, dan nyaris tanpa daya tawar, kita membeli berapa pun harganya.

Pertanian modern negara maju, menghadapi pertanian tradisional negara berkembang seperti Indonesia, adalah ibarat senapan otomatis melawan ketapel. 

Dalam globalisasi pangan, negara dunia ketiga digiring pada produksi monokultur yang berorientasi industri dan ekspor. Interkoneksitas antar-negara jadi lebih kuat, sekaligus lebih rentan. Karena pertanian monokultur menggerus potensi biodiversitas pangan lokal dan meningkatkan ketergantungan pada pihak luar.

Gerakan sederhana yang bisa kita lakukan adalah dengan menghargai pangan yang berakar pada biodiversitas lokal. Dalam soal tempe, kita harus mulai membiasakan kembali dengan tempe kedelai hitam dan kedelai putih yang mungil-mungil itu. 

Kita harus sadar, bahwa jika dunia mengalami kerawanan pangan, maka emas pun bisa tak berharga. Sang pemenang adalah produsen pangan. Emas dan uang tak bisa dimakan. Metabolisme manusia belum berevolusi secanggih itu.

Melawan rezim pasar bebas memerlukan kepemimpinan politik yang kuat, cerdas, kohesif dan visioner. Ini karena sebagai pasar yang sangat besar, Indonesia menggiurkan bagi produsen manapun. 

Segala cara bisa dilakukan agar tak muncul kemandirian. Inisiatif lokal sebisa mungkin dimatikan karena mengancam pasar. Tanpa kepemimpinan politik yang kuat, kohesif dan visioner, tidak mungkin melawan kekuatan neoliberal yang menggurita dan bisa meminjam mulut sekaligus membungkam mulut siapa saja untuk memenangkan kepentingannya.

Waduh ngomongin tahu tempe aja kok bisa sampai sini yaaa? Hehe. Segala sesuatu di dunia ini emang berjalin berkelindan. Ada yang jalinannya bisa diurai ada yang cuma bisa dipandang. Saking ruwetnya.

Semoga saja krisis kedelai ini segera teratasi. Jadi tahu tempe tetap akan tersaji di meja makan kita. Membayangkan tahu tempe lenyap dari meja makan itu seperti membayangkan film Indonesia tanpa Reza Rahadian. Menyedihkan.

BACA JUGA Pelecehan Mendoan di Tukang Gorengan Harus Dihentikan, Warga Banyumasan Bersatulah! dan tulisan Siti Maryamah lainnya.

Exit mobile version