Saya kok yakin, seyakin-yakinnya, kalau orang Indonesia itu adalah golongan orang-orang yang diberkati Tuhan dari sononya. Tuhan yang mana saja. Ya, yang mana saja, karena kata penulis ngawur dari Swedia, Jonas Jonasson, Tuhan itu bermasalah karena setidaknya dua hal: Dia tidak dipilih rakyat dan, karenanya, tidak bisa digulingkan. Orang bisa pindah agama, tapi Tuhan, di mana saja, yang mana saja, selalu sama.
Ketika Tuhan dari aliran Semit—yang menurunkan agama-agama paling berisik di dunia karena gak pernah bisa akur satu sama lain—memilih untuk menerima persembahan Habil dan mencampakkan Kain, sejatinya Beliau cuma ingin bilang bahwa anak-anak Adam itu seharusnya bertani, bukan berburu, mancing, apalagi nyari batu akik. Dari sinilah saya yakin, seyakin-yakinnya, bahwa orang Indonesia yang agraris adalah penerus sah Habil, anak Adam yang diberkati Tuhan.
Tapi puncak-puncak kesedihan petani Indonesia justu ditandai dengan: 1) paksaan menanam oleh bangsa yang bahkan harus dibantu oleh kincir angin untuk mempertahankan daratannya, dan 2) dibabat habis, setidaknya tiga juta orang, justru ketika para petani itu mau bikin partai. Kita lupakan saja fakta bahwa Habil akhirnya dibantai Kain sehingga tidak mungkin baginya untuk punya keturunan apalagi penerus.
Kain mungkin sakit hati persembahannya ditolak, tapi Tuhan juga lupa bahwa aksinya menerima persembahan Habil bisa menyebabkan Kain menjomblo di dunia yang waktu itu baru dihuni kurang dari sepuluh orang. Dan ancaman menjadi jomblo, kita semua tahu, kadang-kadang bisa membuat orang berpikir pendek.
Kembali ke masalah Habil dan keturunannya, dengan ilmu genetika paling dasar, kita tahu bahwa gen petani bisa saja ngendon di tubuh Kain—dengan sifatnya yang resesif. Tapi pada saatnya, pada waktu yang tepat, tempat yang pas, dan pasangan yang ohok-ohok, maka gen-gen resesif itu bisa berkumpul jadi satu, jadi dominan, seperti suporter Arema, seperti sepasang…. nganu… Duo Serigala, dan… voila! this is it: nenek moyang orang Indonesia. Petani. Atau ketika Prometheus mencuri api dari Olympus, saya yakin Titan Yunani itu memberikan api tersebut kepada orang-orang Indonesia.
Tapi celaka bagi Prom, orang Indonesia—melalui pejabat-pejabatnya—lebih memihak Zeus, bapak segala Tuhan. Kalau tidak percaya, coba lihat bagaimana perusahaan listrik negara mematikan daya secara bergilir di seluruh kota di Indonesia atas perintah Zeus. Atau mungkin cuma direktur utamanya. Prom menanggung hukuman dirantai di Gunung Kazbek, yang saya tidak tahu di mana tempatnya, dan jantungnya dicabik-cabik oleh rajawali setiap hari untuk kesalahannya.
Sementara pejabat-pejabat PLN menerima gaji, untuk menjual barang atau jasa yang tidak ada atau tidak sepenuhnya bisa mereka sediakan. Apa yang lebih nikmat daripada menarik uang dari orang lain untuk barang atau jasa yang tidak mampu disediakan negara? Terkutuk? Jangan lupa, pejabat-pejabat itu ada di pihak Zeus. Pejabat-pejabat negara kita, walaupun secara legal formal memeluk agama Semit, minimal di KTP-nya, tapi mereka tidak pernah benar-benar takut pada Tuhan dari aliran ini.
Kalau tidak kan dana haji tidak akan jadi rebutan orang partai? Kalau tidak kan dana pengadaan Al-Quran tidak akan jadi berita heboh? Jadi sekarang kita punya situasi yang rumit, di satu sisi adalah masyarakat yang dikasihi Tuhan dari Yahudi, di sisi yang lain adalah pejabat-pejabat negara yang dicintai Tuhan dari Yunani.
Tapi sampai sejauh ini kesimpulan saya kan tidak salah: orang Indonesia adalah orang-orang yang diberkati Tuhan! Tulisan ini akan semakin nggrambyang kalau saya tidak buru-buru memasukkan tokoh ke dalamnya. Bukan satu, saya berikan dua: Astuti dan Susi. Yang satu asisten rumah tangga, satu lagi menteri di kabinet kerja; yang satu rakyat jelata, satu lagi pejabat negara; yang satu teman saya, satu lagi sahabat media.
Saya rasa ini akan jadi perbandingan yang menarik. Saya bertemu Astuti ketika majikannya—seorang bule pensiunan asal Perancis—membutuhkan seorang arsitek untuk merenovasi rumahnya. Astuti berasal dari pesisir Jawa lalu mengganti namanya jadi Saroya di Bali. Biar keren, katanya.
Sampai sekarang saya tidak tahu di mana atau bagaimana persisnya nama Saroya bisa mengubah Astuti jadi lebih keren. Untuk kali pertama, Astuti inilah yang memberikan ujian pada keyakinan saya ketika dia menghidangkan acar yang ganjil, yang gak ada timunnya, buatan si bule kepada saya dan salah satu tukang saya. Warnanya agak gelap, sedikit kecokelatan, dalam mangkuk kecil berwarna merah.
Tidak banyak yang bisa saya kenali, mungkin sedikit tomat dan wortel, dan… suiran-suiran daging entah apa. Rasanya: masam. Cuka. “Itu ikan mentah,” kata Astuti begitu melihat mangkuk kami berdua mengkilat seperti kalsedon Pacitan. Tukang saya tidak menunggu lama untuk kabur ke belakang dan berusaha memuntahkan isi perutnya. Itu setelah dia berkata, “Cuk! dipadhakne kucing awake dewe, Mas.” (Sialan. Disamain sama kucing kita, Mas!). “Itu ikan mai-mai,” sambung si bule yang masuk ke dapur dengan logatnya yang mirip Cinta Laura, “ikan paling mahal. Tapi kuncinya bukan di ikannya, kuncinya justru di sausnya. Resep keluarga.”
Saya kira bule itu keliru, menurut saya kuncinya justru di ikannya. Yang mahal. Dan mentah. Iseng-iseng saya gugling juga yang namanya ikan mai-mai tadi. Ikan mahi-mahi (coryphaena hippurus) ternyata jelek sekali penampilannya. Jidatnya jenong seperti lou han, walaupun tubuhnya berwarna hijau mengkilat. Saya tidak tahu bagaimana ikan jelek yang dalam bahasa Indonesia disebut lemadang itu bisa berharga mahal. Mungkin karena bentuknya yang aneh.
Belakangan ini beberapa benda yang bentuknya aneh memang dihargai mahal. Saya lupa memeriksa apakah ikan tadi juga tembus kalau disenter dari bawah. “Itu ikan mahal, Cak!” kata saya untuk menghibur tukang saya. Tukang saya mengangkat tangannya, memandang saya sebentar, lalu kembali hoek-hoek. Sepertinya dia setuju dengan pendapat saya soal kunci. Di titik inilah keyakinan saya mulai goyah.
Orang Indonesia yang agraris itu seharusnya tidak makan ikan, mereka menanam, atau untuk kasus protein hewani, mereka seharusnya memelihara. Sapi atau kambing, atau ayam, seharusnya. Itu yang pertama. Yang kedua, sebagai orang yang sudah dibantu oleh Prometheus, orang Indonesia tidak bisa lepas dari api. PLN boleh curang, tapi orang Indonesia tidak pernah kekurangan akal.
Listrik mati, ublik langsung menyala; nemplok di dinding-dinding rumah rakyat jelata. Dalam soal kuliner, maka orang Indonesialah yang sudah menciptakan serangkaian siksa neraka untuk bahan makanan, mulai dari memanggang, membakar, me-nyunduk (lalu dibakar), merebus, mengukus, menanak, menggoreng, menggongseng, menyangrai, sampai memepes.
Semua itu dilakukan dengan api hadiah dari Prom. Maka makanan mentah adalah anomali dari Astuti sebagai rakyat jelata. Pikiran cepat tapi tidak jernih saya kemudian menuntun saya untuk mengambil satu kesimpulan, bahwa bule Perancis tadi pasti agen sepilis: sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme.
Dia datang dari jauh hanya untuk memisahkan orang Indonesia dari Tuhan-nya. Dan sayangnya, Astuti–yang lebih suka dipanggil Saroya–sudah berhasil dipengaruhinya. Ujian kedua pada keyakinan saya datang dari seorang yang tidak main-main, Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja Jokowi, Susi yang kebetulan nama belakangnya mengandung Astuti. Tapi saya tidak yakin dia mau mengganti namanya jadi Saroya.
Gebrakan pertama Susi begitu ditunjuk sebagai menteri adalah… merokok di istana negara, eh, maksud saya, membakar kapal-kapal asing yang melanggar wilayah Indonesia untuk mencuri ikan dan melarang alih muatan kapal di tengah laut. Konon gara-gara aksi heroiknya itu–dan poster besar yang dipasang di depan kantornya–industri perikanan negara-negara tetangga terpukul. Daerah Songkhla di Thailand konon sudah sepi, walikota General Santos menghina ABK Indonesia, dan duta besar Jepang menemui Susi. Saya kira inilah menteri di kabinet Jokowi yang paling moncer.
Menteri-menteri lain yang diharapkan berprestasi sama, seperti Baswedan dan Jonan untuk menyebut nama, malah seperti petasan banting masuk angin. Amem. Lalu bagaimana Susi, yang seperti umumnya pejabat Indonesia merupakan sekutu Zeus, yang mencegah ikan-ikan peliharaan Neptunus ditangkapi nelayan asing itu, bisa menguji keyakinan saya? Saya pikir jawaban atas pertanyaan yang akan saya jawab sendiri itu ada di data statistik.
Aksi heroik Susi, sayangnya, sepertinya tidak diikuti kebijakan dari teman-temannya sesama menteri untuk mendongkrak konsumsi ikan rakyat Indonesia. Konsumsi ikan kita yang cuma 35 kg/kapita/tahun, relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia 56,1 kg/kapita/tahun, Singapura 48,9 kg/kapita/tahun, atau Filipina 35,4 kg/kapita/tahun. Apalagi kalau dibandingkan dengan negara pemakan ikan seperti Jepang.
Atau, mungkin juga, Perancis. Saya tidak tahu menteri mana yang seharusnya meneruskan pekerjaan Susi. Mungkin Baswedan bisa mulai dengan mendidik anak-anak untuk suka makan ikan daripada cuma nungguin keributan ujian nasional. Atau Puan mungkin juga bisa mulai membangun manusia Republik Indonesia dengan memberi asupan asam lemak omega 3 kepada seluruh rakyat Indonesia, dengan menggalakkan budaya makan ikan.
Susi dan menteri-menteri Jokowi yang lain sepertinya malah berpikir bahwa mereka juga penerus Habil, bahwa mereka hanya boleh bertani dan memakan segala yang ditanam, bahwa ikan-ikan yang sekarang melimpah itu lebih baik dijual ke luar daripada ditingkatkan konsumsinya di dalam negeri. Kondisi kembali menjadi rumit buat saya. Astuti membuat saya dan tukang saya terpaksa melahap ikan mentah dari Perancis, sementara Susi, atau katakanlah teman-teman menterinya, tidak membantu kami berdua dengan perkara makan ikan ini.
Saya tidak mungkin menuduh Astuti sudah menukar Tuhan-nya dengan Zeus, dia mungkin bahkan belum pernah mendengar nama itu. Jadi satu-satunya kemungkinan adalah, pejabat-pejabat kita mulai beralih kepada Tuhan Semit. Saya rasa inilah alasan di balik sekitar 97% penduduk Indonesia yang menganut agama Semit menurut data Badan Pusat Statistik.
Untuk ikan-ikan yang gagal dibawa ke luar negeri secara ilegal, bolehlah kita berterima kasih kepada Susi. Tapi untuk ikan yang saya dan tukang saya makan, maka Susi seharusnya berterima kasih kepada Astuti. Kembali ke tragedi ikan mentah di tengah cerita saya tadi. Tepat satu tahun setelah peristiwa itu, saya akhirnya pulang ke Malang, meninggalkan Bali, tempat yang konon kata orang susah nyari makanan halal.
Saya merayakan kepulangan bersama pacar saya–kelak menjadi istri–di sebuah pusat jajanan di mal yang baru dibuka. Di antara Bakso Kota Cak Man dan Hot Cwie Mie, berdirilah stan makanan Jepang. Sushi, satu nama yang unik untuk sebuah makanan.
“Yang kiri itu yang matang, Pak, yang kanan…” Mak cleng! Saya tertegun, berhenti menatap daftar menu, mengangkat kepala, memandangi mbak-mbak penjaga stan itu, lalu berkata: “Kamu agen sepilis ya? Bedebah kamu!”