Surat untuk Mbak Octa Viantary

Surat untuk Mbak Octa Viantary

Surat untuk Mbak Octa Viantary

Halo, Mbak. Eh, ehm, seharusnya saya menyapa dengan ‘Dik’, karena secara usia–dan bukan kematangan–saya lebih tua dari Ibu Ketua RW. Logikanya gampang, pas Mbak Octa Viantary masuk kuliah di Universitas Sanata Dharma, saya sudah lulus dari kampus yang sama.

Namun, mengingat pada umumnya Ibu-Ibu Birokrat sungguh ingin dipanggil dengan layak dan pantas, maka saya panggil ‘Mbak’ saja. Adapun surat ini bukan untuk nembak Mbak Vian yang kata beberapa portal berita masih jomblo, padahal jelas-jelas bahwa Mbak Vian sudah punya kekasih hati. Surat ini semata-mata suara hati saya sebagai bagian dari keluarga Mbak Vian. Ingat kalimat pertama hymne Sanata Dharma “Seluruh Sanata Dharma satu keluarga…”.

Oh, ya, ihwal Mbak Vian adalah mahasiswa psikologi Sadhar itu sepenuhnya saya peroleh dari media mainstream. Saya sudah berusaha mengecek ke adek saya yang anak psikologi Sadhar juga dan ndilalah kok dia nggak ngerti, mungkin dia terlalu sibuk untuk cari pacar dan bikin makalah.

Jadi, kalau salah, sudah tentu saya yang salah, karena saya adalah lelaki, yang selalu salah. Mbak Vian yang budiman, Sungguhpun reformasi Indonesia semakin geje, namun sosok Mbak Vian adalah bukti bahwa reformasi itu punya hasil. Selain bakul mebel yang jadi Presiden, kita toh juga menemukan banyak anak-anak muda masa kini berhasil menjadi kepala daerah, sebagian diantaranya menggantikan bapaknya.

Hal semacam itu jangan harap bisa terjadi di orde baru. Pun dengan keberhasilan seorang gadis 23 tahun menjadi ketua RW, itu juga adalah produk reformasi dan manifestasi demokrasi sesungguhnya ketika si demos itu benar-benar bekerja. Kita mungkin juga harus bersyukur bahwa balada Pilkada DPRD berhasil tuntas secara mbelgedhes.

Kalau tidak, mungkin pemilihan ketua RW juga akan balik lagi ke era penak-jamanku-to dan, ya, tidak akan ada anak muda yang jadi ketua RW. Satu hal yang sudah pasti harus dilakoni oleh Mbak Vian adalah ngopeni warganya. Ngopeni warga sudah barang tentu bukan hal yang mudah, ngopeni bojo siji wae kadang sulit dan pelik–boleh tanya sama Om Nody Arizona.

Mbak Vian tentu sudah belajar dari ayahanda yang sudah malang melintang di ranah RT-RW-an. Akan ada dokumen-dokumen kependudukan yang harus dibaca serta ditandatangani oleh ketua RW. Pesan saya cuma satu, Mbak, tolong sebelum tanda tangan, semua dokumen dibaca dulu.

Bukan apa-apa, sekarang seluruh PNS yang salah tanda tangan surat telah berhasil mendapatkan alasan terbaik untuk asal tanda tangan tanpa membaca terlebih dahulu surat yang dibuat. Sekarang salah tanda tangan atau tanda tangan tanpa baca isi surat telah mendapatkan justifikasi, sama halnya para cokokan KPK meniru langkah Pak Polisi untuk praperadilan, kali-kali dapat yurisprudensi bernama Sarpin Effect.

Jangan sampai ketika ada warga yang dokumen kependudukannya salah, Mbak Vian malah bilang, “Loh, saya nggak ngerti. Itu kan harusnya yang ngecek Sekretaris”, padahal ada tanda tangan Mbak di dokumen itu. Selain itu, Mbak, ini yang paling penting, anak muda yang jelas-jelas generasi Y itu kurang disukai lho sama kalangan baby boomers. Generasi Y itu sering didamprat manja, tidak sopan, kurang ajar, nggak tahu aturan, nggak bisa menghormati, nggak mau melayani yang lebih tua, dan segala tetek bengek yang relevan.

Kebayang bagaimana Mbak Vian akan menghadapi para RT yang pasti seumuran ayahanda, atau para RW lainnya, hingga para lurah dan camat, berikut perangkatnya. Hati-hati, Mbak. Mungkin dalam menghadapi warga, pesona dan kedekatan Mbak Vian sudah moncer karena telah dibangun bertahun-tahun, namun menghadapi pria dan wanita ber-NIP mungkin lebih sulit bahkan bila dibandingkan dengan ujian Biopsikologi atau ujian skripsi. Sebagai enterpreneur, Mbak Vian juga pasti telah bertemu dengan banyak orang. Semoga hal itu benar-benar menjadi modal menghadapi kalangan baby boomers ini. Yang muda dan ingin maju serta bergerak itu banyak, Mbak, tapi kebanyakan mental ketika kepentok. Dah, yah, sebagian pada akhirnya ikut arus dan ujung-ujungnya tidak berubah.

Makanya negeri ini nggak maju-maju. Mbak Vian yang cerdas dan humanis, Sebagai remah-remah roti di dunia perbirokrasian yang pernah ditodong uang rokok sukarela di kelurahan, saya sadar bahwa ada banyak benang kusut di negeri ini. Dan untuk membenahi itu, tidak cukup sekadar mengganti Presiden atau Menteri.

Mengganti Menteri tapi pejabat hingga kroco penggerak di bawahnya mampet ya sama saja dengan pacaran tapi tidak cinta. Supra sistem negeri ini masih menyimpan banyak lubang untuk dibenahi dan pembenahan paling mendasar sejatinya justru di satuan terkecil masyarakat. Ya RT, ya RW.

Bagaimana masyarakat dibiasakan membuang sampah pada tempatnya, menghargai waktu, menaati peraturan dan hukum, menghargai perbedaan, semuanya itu pasti bisa disasar oleh Mbak Vian yang tentu sudah dididik sisi-sisi humanis selagi sekolah dan kuliah. Pernah sekolah di negeri dan swasta adalah bekal bagus, Mbak, untuk jadi pemimpin nan mumpuni. Sebagai mahasiswa psikologi yang baik, sudah tentu Mbak Vian tahu bahwa jomblo itu adalah problematika psikologi yang terkadang termanifestasi psikosomatis misalnya pura-pura opname cuma biar ada yang nungguin di Rumah Sakit.

Kalau sudah sampai semacam ini, bahkan RW pun harus bergerak, Mbak. Sungguh nggak kebayang kalau masalah sosial jombloisme ini menjadi semakin besar dan memungkinkan terjadinya revolusi. Kepada kaum minoritas seujung kuku saja negeri ini begitu takut akan menjadi benih-benih perusak agama dan tatanan masyarakat madani, apalagi kepada kaum jomblo yang jumlahnya jauh lebih mumpuni? Maka, peran RW tentu sangat penting dalam pengendalian kaum jomblo, termasuk upaya meminimalkan jomblo-jomblo baru dengan jalan merukunkan pasangan-pasangan yang bermasalah. Ini sepele tapi penting, lho, Mbak.

Satu hal lagi, Mbak. Sebagai ketua RW pasti akan menemukan mahasiswa-mahasiswa entah yang KKN, entah yang mau skripsi dengan survei. Tolonglah mereka-mereka ini dibantu, jangan lalu dicueki karena bukan satu kampus, ingat slogan keluarga kita yang Man For Others. Jangan juga ditemui, dijamu dengan senyuman, tahu-tahu ujug-ujug minta administrasi beberapa ribu.

Saya yakin integritas Mbak Vian tidak serendah itu karena pasti sudah diajari 7 Habits saat PPKM di semester 2. Dan sebagai sebuah teladan, kurang lebih setahun yang lalu di Jogja digelar Kejuaraan Kempo Piala Christina. Mbak Vian pasti kenal nama Christina di kejuaraan itu karena beliau adalah Christina Siwi Handayani, dosen yang pernah jadi dekan di Psikologi Sadhar.

Begitulah kiranya, Mbak, ketika seorang pemimpin perempuan lantas dikenal dan dikenang karena karya serta semangatnya. Selamat bekerja, Mbak RW! Tuhan memberkati.

Exit mobile version