Surat Terbuka untuk Pemda Jogja: Saya Sudah Liburan di Rumah, Selanjutnya Bagaimana?

Mahasiswa UMY dan UII dibelikan rumah di Jogja.MOJOK.CO

Ilustrasi rumah mahasiswa UMY dan UII di Jogja(Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKalau warga seperti saya sudah manut, apa ya Pemda Jogja nggak tergerak hatinya? Mau saya laporkan ke Gubernur DIY? Kapok!

Selamat pagi Pemda Jogja. Sebagai warga Kabupaten Bantul yang baik, saya sudah menjalankan instruksi. Saya, dan keluarga, sudah di rumah saja selama liburan. Kami sudah ikhlas memberi kesempatan pelancong untuk menikmati kemacetan dan kesemrawutan alat transportasi di provinsi kita tersayang.

Iya, selama tahun baru, saya dan keluarga cuma bakar jagung di rumah. Selain itu, kami sangat menikmati parade kembang api yang meletup sekali dua doang. Setelah itu, sebagai warga Kabupaten yang baik, kami beranjak tidur. Karena dengan tidur, kami sementara lupa dengan segala masalah yang ada. Lantas, setelah itu semua, selanjutnya bagaimana, Pemda Jogja?

Maksud saya, apa pertanggungjawaban Pemda Jogja setelah masa liburan usai? Saya sudah menjalankan kewajiban dari anjuran yang sangat manis dari kalian. Saya dan keluarga sudah tidak berkontribusi kepada kemacetan selama libur akhir tahun. Adil kan kalau sekarang giliran saya menuntut hak untuk mendapatkan gerakan nyata dari Pemda Jogja untuk mengatasi kemacetan? Adil, dong.

Rakyat sudah menurut, selanjutnya gimana?

Ketika banyak warga Jogja yang kesal karena harus di rumah selama liburan, nggak boleh menghabiskan uang tak seberapa hanya untuk menengok Tugu Pal Putih, saya sudah menurut. Saya tetap full senyum dan tidak mengeluh sesuai perintah dari Raja Jogja yang Terkasih. 

Ya memang, kemarin saya sempat misuh lewat tulisan. Mengkritik anjuran aneh dari Pemda Jogja. Ah, tapi sekarang kalian semua pasti sudah lupa sama tulisan saya yang kemarin. Kan lupa sama sesuatu itu sudah jadi nama tengah dari provinsi yang gemah ripah loh mengkelke ati ini, kan.

Saya nggak masalah menghabiskan masa liburan di rumah. Tapi, sebagai warga Kabupaten Bantul yang baik, jika nanti usai liburan, wajar kalau berharap Jogja nggak macet banget. Toh kalau warga asli Jogja seperti saya yang liburan, nggak bakalan nglarisi bisnis hotel, mal, dan taman bermain milik Kanjeng Sultan yang Baik Hati. 

Paling saya cuma jajan tahu sama bolang-baling, sembari mengagumi gumuk pasir di Alun-Alun Utara. Indah sekali ada gumuk pasir di tengah kota. Kelak bisa buat latihan manasik haji, sih. Siapa saja yang punya ide nguruk Alun-Alun Utara pakai pasir itu layak naik gaji. Iya, naik gaji, kira-kira bisa dilakukan 100 tahun lagi, lah.

Duit rakyat DIY memang cekak. Masak nggak paham alasannya?

Makanya, Pemda Jogja, artinya, jika saya liburan di rumah, nggak akan mempengaruhi pemasukan kantong Pak Sultan, kan. Ayolah, jangan sok kaget gitu. Nggak masalah, kok, buat saya. Lagian berharap apa sama warganya yang hanya bergaji di bawah dua juta rupiah per bulan.

Jajan di Burjo Borneo saja rasanya sudah mewah buat saya. Apalagi menghabiskan uang di Malioboro untuk sekadar makan, duh. Dompet saya kalo bisa ngomong, pasti sudah tapa pepe. Pak Sultan masih ingat tapa pepe nggak, ya? 

Makanya, Pemda Jogja, saya itu sadar diri, liburan nggak ke mana-mana. Saya jelas nggak mau ikut meramaikan kemacetan, ditambah nggak memberi pemasukan untuk Pak Sultan yang Berbudi. Durhaka sekali saya ini. Nah, kan raup cuan sudah usai, sekarang mulai serius urus kemacetan di Jogja, yuk?

Jangan dikira liburan usai, kemacetan lantas minggat. Sudah dua hari liburan berlalu, kok ya kemacetan di Jalan Imogiri Timur saban pagi nggak kunjung mereda, ya? Bahkan beberapa sektor di simpang Parangtritis juga sesak-sesak terus. Macet area utara ketika jam pulang kerja juga rasanya nggak kunjung menurun, tuh. Eh, nggak di jam kerja saja Jalan Kaliurang tetap macet.

Mumpung belum libur Lebaran

Supaya nggak jadi masalah menahun, mumpung libur Lebaran belum datang, diurus dulu masalah kemacetan, Pemda Jogja. Perbanyak ide dan pikiran. Ambil referensi dari kota luar. Jangan malu hire orang luar Jogja untuk ambil bagian. Tapi ingat, mereka jangan ditanya soal KTP. Jelas KTP mereka bukan KTP Mantrijeron atau Seyegan. 

Percayalah, walau nggak tinggal di Jogja, yang namanya orang pinter ya bakalan riset. Nggak hanya modal keluarkan pernyataan aneh bin wagu yang menyuruh warganya untuk liburan di rumah. Itu tugas Pemda Jogja saja. Eh, para akademisi yang ahli di bidangnya juga bisa diajak. Mereka nggak bakalan mengurus masalah kemacetan hanya dengan menutup jalan, mengubahnya arusnya, dan menyuruh warga tetap di rumah selama liburan.

Jogja punya UMY, UGM, UII, UNY, UIN Suka, UAD, dan kampus hebat lainnya, lho. Kita transfer para pemikir untuk jadi gubernur di daerah lain. Mulai dari Jakarta sampai Jawa Tengah. Iya, saya tahu, jadi gubernur di kota ini nggak mungkin, tapi bukan berarti kota dan provinsi ini mempertahankan pikiran dan ide-ide kolot, kan?

Para wisatawan yang datang jangan hanya dicekoki oleh embel-embel istimewa. Ketika datang ke sini justru habis waktu di jalanan kota, ya apanya yang istimewa? Yang ada mereka kapok, menyebar ulasan buruk dan ogah balik lagi. Lawan pakai otak, hapus kemacetan, bukan malah memperbanyak video romantisasi dengan embel-embel, “Tiap sudut Jogja adalah kenangan.”

Baca halaman selanjutnya….

Trans Jogja itu bagian dari masalah

Pemda Jogja yang cemerlang otaknya, tentu saja saya menunggu ide tentang transportasi yang jelas. Trans Jogja, kalau boleh jujur, itu sudah nggak ketolong. Maksudnya, apa strategi mereka untuk menggaet penumpang baru? Bus yang hanya terisi puluhan itu bukan sebuah prestasi, malah itu sebuah celah yang harusnya diperbaiki.

Tanya saja berapa wisatawan yang sudi naik Trans Jogja. Berapa orang yang rela waktunya hilang di sebuah halte yang nggak jelas kapan bus tiba dan berangkat. Halte yang bagus di beberapa titik doang, sisanya kalau hujan ya kehujanan, kalau panas ya kepanasan.

Apakah transportasi massa seperti ini masih bisa diselamatkan, Pemda Jogja? Enggak. Kota kita terlalu mudah mendapatkan izin untuk membangun bangunan seperti hotel, namun enggak mudah untuk memperbaiki sektor transportasi. Mau mengubah nama jadi Teman Bus sampai Bestie Bus sekalian, kalau masih saja konsepnya sama, ya nggak akan mengubah apa-apa.

Saya tunggu solusinya, Pemda Jogja!

Dengan jalanan yang kecil dan padat, transportasi macam apa yang cocok untuk Jogja? Duh, apa, ya? Kano, mungkin. Atau gantole sekalian. Mengingat kalau hujan deras, Jogja juga banjir, kok.

Eh, aduh, ngapain saya mikirin ini sedangkan Pemda Jogja masih sibuk ngitungin jumlah pelancong yang masuk, kan? Ya biar kalian saja yang mikir. Sesekali gitu, bikin kebijakan yang tepat guna.

Kalau warga seperti saya sudah manut, apa ya Pemda Jogja nggak tergerak hatinya? Mau saya laporkan ke Gubernur? Pasti Gubernur DIY bisa memberi solusi sampai ke akar-akarnya. Biar hati kita tetap hening dan selalu manutan.

Sekian surat cinta ini.

BACA JUGA Turis Membunuh Jogja dan surat cinta lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Gusti Aditya

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version